DINASTI KEPEMIMPINAN DALAM PEMILU KADA
Oleh : Ki Sonhaji Mutiallah, M. MPd
Pemilihan umum kepala daerah (pemilukada), telah berlangsung di beberapa daerah di Indonesia. Ada kurang lebih 244 daerah yang akan mengggelar pemilukada, Baik itu memilih Gubernur, Bupati, Walikota dan wakilnya. Beberapa problem teknis dalam pemilukada selalu saja terjadi, mulai dari pembentukan penyelenggara pemilu (Panwas dan KPU) yang tidak transparan dan di kondisikan oleh salah satu penguasa, mahalnya pendanaan pilkada, persoalan DPT, money politics, pilkada ulang, kini bertambah lagi satu permasalahan yang sangat ironis sekali di tengah-tengah bangsa Indonesia sedang membangun Demokrasi yang terbuka. Yakni munculnya kerabat penguasa(incumbent) yang ikut dalam pemilukada baik pemilu gubernur, bupati dan walikota, dengan tujuan melestarikan posisi dan kedudukan keluarga besar dari tergusurnya dinasti politik keluarga di ’kerajaan’ daerah.
Munculnya calon-calon kepala daerah yang berasal dari ikatan satu darah atau keluarga dengan pejabat incumbent, tentu akan membawa dampak bagi keberlangsungan pelaksanaan pemilukada di daerah. Lihat faktanya, di Bali Eka Wiryastuti (anak Bupati Tabanan Bali Adi Wiryatama) berkompetisi dalam pemilukada menggantikan bapaknya. Di Lampung Rycko Menoza(anak Gubernur Lampung Sjachroedin) menjadi calon Bupati Lampung Selatan. Di Kabupaten Way Kanan ( putra Bupati Way Kanan Agung Ilmu Mangku negara) mencalonkan diri menggantikan ayahnya. Kemudian Arisandi Dharmawan(anak Bupati Tulang Bawang ) mencalonkan diri menjadi bupati Pesawaran. Di Kota Bandar Lampung Heru Sambodo, (anak Ketua Golkar Lampung Alzier Dianis Tabrani ) membidik kursi wali kota. Di Kepulauan Riau, Aida Nasution (istri Gubernur Ismeth Abdullah) mencalonkan diri menggantikan kursi suaminya. Di Yogyakarta Sri Suryawidati(Istri Bupati Bantul Idham Samawi) tak mau kalah ketinggalan maju menjadi calon bupati meneruskan kursi suami. Di Kalimantan Timur, Awang Ferdian Hidayat, putra gubernur Awang Farouk, mencalonkan diri jadi Bupati Kutai Kartanegara (Kukar), bersaing dengan Rita Widyasari anak mantan Bupati Kukar Syaukani, yang pernah dipenjara karena kasus korupsi yang kemudian dibebaskan karena dianggap mengidap sakit permanen. Pembebasan ini kemudian menuai kontroversi.
Di Propinsi Jawa timur juga terjadi calon kepala daerah yang juga berasal dari ikatan keluarga dengan pejabat penguasa., misalnya di Sidoarjo, mantan Bupati Win Hendarso yang sebelumnya menyiapkan orang dekatnya , Bambang Julianto ( Kepala Dinas PU dan Bina Marga Sidoarjo) maju menjadi cabub menggantikan dirinya. Tapi , Win kelimpungan ketika Bambang meninggal. Akhirnya Win memunculkan nama istrinya sebagai calon yang di jagokan, meskipun istrinya tidak kredibel dan tidak pernah terjun ke politik, akhirnya masyarakat Sidoarjo tidak menjatuhkan pilihan pada istri Bupati, maka gagalah istri bupati memegang tahta kepemimpinan di kabupaten Sidoarjo.
Di kabupaten Kediri ada dua istri (istri tua vs istri muda) yang berebut kursi bupati menggantikan suaminya. Mereka adalah Haryanti dan Nurlaila. Haryanti adalah istri sah dari Bupati Kediri Sutrisno. Dengan statusnya ini Haryati lebih beruntung dari pada Nurlaila, karena lebih banyak dukungan dari suami. Keduanya memang bersaing untuk mencari perhatian sang suami, kalau dulu persaingan dalam merebutkan kasur sedang dalam pemilukada yang direbutkan adalah jabatan bupati. Dalam persaingan kasur tentu bupati lebih memilih Nurlaila karena lebih mudah dan masih kinyis-kinyis, tapi dalam persaingan politik untuk menduduki tahta di Kabupaten Kediri sang suami tidak main-main beliau lebih memilih yang berpengalaman dan kredibel yaitu Istri tuanya, akhirnya Haryantilah yang jadi pemenang pemegang tahta kepemimpinan di Kabupaten kediri.
Di Kabupaten tetangga kita Probolinggo ,sedang berlangsung Pemilukada yang diikuti oleh Istri dari Hasan Aminuddin, Bupati Probolinggo periode 2007 -20012. Hasan memunculkan istrinya , Puput Tantriana Sari atau sering dikenal dengan Tantri Hasan Aminuddin sebagai bakal calon (balon) bupati, begitu juga kakak kandungnya Hafidz Aminuddin ketua DPC PKB Probolinggo maju sebagai balon bupati, sehingga masyarakat Probolinggo menjuluki ”Dinasti Aminuddin”. Majunya istri dan kakak kandung Hasan Aminuddin menjadi perhatian publik di Probolinggo. Dari pengamatan saya munculnya dua candidat bacabup Probolinggo, Istri Hasan Aminuddin dan kakak kandungnya Hafidz Aminuddin akan menguntungkan dan melanggengkan ”Dinasti Aminuddin”, karena bisa memecah suara pemilih di Probolinggo, dan ini adalah bagian dari strategi politik. Tapi, kalau keduanya sama –sama berambisi untuk menjadi yang terkuat, Istri bupati, Tantri Hasan Aminuddin masih yang lebih unggul bila dibandingkan dengan Kakak iparnya. Sebab istri bupati sudah punya dua poin diatas kakak iparnya. karena sudah banyak dikenal di seluruh wilayah probolinggo, selain menjadi ketua Tim penggerak Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Kabupaten Probolinggo, kemanapun suaminya pergi beliaunya selalu mengikuti sehingga penampakan wajahnya sudah tidak asing bagi masyarakat di Probolinggo inilah Promosi “gratis” ini poin pertama. Selain itu trek rekord sang suami sudah tidak di ragukan lagi . Dua kali putaran memimpin Kabupaten Probolinggo dan membawa kemajuan yang cukup pesat bagi Kabupaten Probolinggo. Masyarakat kita masih berpandangan bahwa kesuksesan suami ”Hasan Aminuddin” tidak lepas dari pendampingan sang Istri, inilah poin kedua, yang di kantongi oleh Tantri Hasan Aminudin . Dibandingkan dengan sang Kakak ipar yang masih di bilang pendatang baru, walupun menjadi ketua DPC PKB Probolinggo. Tapi, Hasan Aminuddin harus belajar dari Pemilu kada Kabupaten Pasuruan periode 2008-2013, dimana kuda hitam pasangan Dade Angga –Edy Paripurna (DAdi), yang di dukung oleh Partai PDIP dan partai gurem atau dalam barisan PERISAI yang memenangkan pemilu. Mengalahkan Dua Pasangan, Jusbakir-Joko Cahyono (JUJUR) dan pasangan Muzammil – Jubaidi (JA-DI) . Perlu diketahui bahwa, Jusbakir, Joko, Muzammil, dan Jubaidi adalah tokok sentral di partai PKB, akibatnya dalam Pemilukada 2008-20013, suara PKB pecah jadi dua, maka menanglah si kuda hitam Pasangan Dade Angga- Edy Paripurna. Apakah kasus di pasuruan akan terulang di Kabupaten Probolinggo?. Masyarakat Probolinggo masih mengakui, “Hasan Aminuddin” sebagai Tokoh dari Partai PKB Kabupaten Probolinggo, dan dua kali menjadi bupati Kabupaten Probolinggo juga di berangkatkan dari partai PKB. Walaupun sekarang sudah menjadi ketua NASDEM Propinsi Jawa Timur, beliaunya masih tetap di tokoh kan oleh orang-orang PKB di sana. Tapi, sekarang belianya memunculkan dua orang dekatnya, maka bingunglah masyarakat pemilih yang dulu menggap Hasan Aminuddin itu orang PKB. Mau pilih Kakaknya Hafidz yang merupakan Ketua DPC PKB atau memilih istrinya . Jelas suara masyarakat yang fanatik dengan Bupati Hasan Aminuddin akan terbelah menjadi dua, maka yang di untungkan adalah kuda hitam, yaitu cabub lain.
JABATAN TURUNAN
Fenomena majunya calon kepala daerah yang mempunyai hubungan keluarga dengan pejabat sebelumnya atau incumbent sebenarnya sangat ironis. Hal ini menandakan bahwa kursi kepala daerah adalah jabatan yang menguntungkan, membawa berkah dan bisa dijadikan sarana untuk mengeruk kekayaan serta melanggengkan kekuasaan untuk diturunkan kepada istri, saudara hingga anak-cucu. Karena strategi ini cukup ampuh untuk mempertahankan kekuasaan, sebab bupati yang sudah menjabat dua periode tidak bisa mencalonkan diri lagi karena dibatasi oleh aturan. Maka, jauh-jauh hari sebelum dirinya lengser harus menyiapkan ”penggantinya”. Sebenarnya tidak ada larangan keluarga pejabat incumbent yang ikut dalam bursa pencalonan Gubernur, bupati, walikota, asal kredibel dan kualified . Tapi yang dikhawatirkan adanya penyalahgunaan wewenang dan fasilitas negara untuk tujuan sang calon yang notabene mempunyai hubungan yang sangat erat dengan pejabat incumbent.
Pemilukada saat ini penuh misteri. Di satu sisi , rakyat kian apatis dan tidak peduli sehingga tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilukada cenderung turun. Apatisme masyarakat ini justru dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu meraih jabatan dan kekayaan. Mereka adalah orang-orang yang ingin melanggengkan kekayaan dan kekuasaan agar tetap jatuh kepada garis keluarganya. Ini merupakan problem teknik pemilukada selain, problem transparansi pembentukan penyelenggara pemilu, persoalan DPT, money politik, pilkada ulang dan juga pendanaan dalam pemilu kada. Persaingan antara aristokrat (kerabat penguasa) dalam melestarikan posisi dan kedudukan keluarga besar dari tergusurnya dinasti politik keluarga incumbent.
Regenerasi kepemimpinan politik lokal yang berbasis pada kekerabatan ini lambat tapi pasti akan menggeser isu demokrasi ke aristokrasi. Wacana politik akan kian elitis karena tak ada lagi kompetisi yang seimbang dan fair antara calon orang biasa dan ” orang luar biasa”. Calon yang mempunyai hubungan keluarga dengan incumbent pasti akan lebih diuntungkan ketimbang calon lain.
Menurut Eisenstadt dan Roniger (1984) dalam bukunya Patrons, Clients and Friends: Interpersonal Relations and the structure of trust in Society, ada empat alasan utama mengapa politik kekerabatan lebih disukai elite-elite politik di suatu negara.
Pertama, kepercayaan (trusty) ini lebih disebabkan karena kerabat lebih dipercaya dan tak mungkin berkhianat seperti lazim dilakukan politikus pemburu kekuasaan. Kedua, loyalitas (loyality) kerabat akan jauh memiliki loyalitas tinggi dalam konteks menjalankan semua tugas politik terutama dalam hal menjaga wibawa dan kehormatan kerabat besar ketimbang orang lain. Ketiga, solidaritas (solidarity) kerabat dipastikan jauh memiliki tingkat solidaritas yang tangguh terutama dalam menolong keluarga besar dari kebangkrutan kekuasaan dan kekayaan ketimbang mereka yang bukan dari kalangan kerabat. Keempat, proteksi (protection) ini terkait dengan model mempertahankan gengsi dan kehormatan keluarga besar. Mereka yang berasal dari keluarga yang sama akan cenderung mampu menjaga apa yang telah dimiliki keluarga ketimbang orang lain.
Mewariskan jabatan atau kekuasaan politik secara prosedural melalui pelaksanaan pemilukada, apakah itu kursi gubernur, bupati atau walikota kepada istri, anak, menantu atau saudara yang hanya berputar di kalangan kerabat penguasa (incumbent) tidaklah melanggar hukum, karena tidak diatur dalam UU No. 32 tahun 2004 juncto UU No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur tentang pemilukada. Namun praktek ini jelas melanggar etika politik, kepatuhan, dan norma umum. Karena model ini jelas akan menyumbat regenerasi calon pemimpin politik lokal berdasar pada kompetisi yang fair yang seharusnya bertumpu pada rekam jejak keilmuan, kemampuan dan integritas moral. Jangan sampai pemilukada hanya menjadi ritual demokrasi prosedural untuk melestarikan aristokrasi yang melahirkan raja-raja kecil di ”kerajaan ” daerah.
Diperlukan Proteksi
Untuk itu perlu adanya aturan larangan secara formal, bahwa anggota keluarga, terutama istri dan anak petahana(incumbent) maju mencalonkan diri menjadi gubernur, bupati, walikota dan wakilnya dalam pemilu kada. Pelarangan ini sudah ditegaskan presiden SBY dalam konteks pilkada (jawa pos, 25/6). Pemerintah juga mengusulkan melalui RUU pilkada, tentang pembatasan bagi kerabat petahana untuk maju menjadi calon kepala daerah. Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada akan diatur tegas tentang politik dinasti atau politik kekerabatan. ” Dalam RUU Pilkada, pemerintah ingin mewujudkan suatu kompetisi pilkada yang dinamis, namun tetap mengaktualisasikan nilai-nilai kesetaraan, dimana perlu adanya pembatasan bagi seorang calon yang merupakan keturunan atau terdapat ikatan perkawinan dengan kepala daerah petahana,” Dikatakan Menteri Dalam Negeri, Gumawan Fauzi, di Jakarta, (12/6). Gumawan, mampu menjamin suatu kompetisi yang setara, dimana seorang kepala daerah tidak memobilisasi jajaran pemerintah daerah untuk kepentingan dukungan bagi calon yang memiliki darah ” atau punya hubungan perkawinan dengan yang bersangkutan ” . Sementara itu, pengamat politik Universitas Gadjah Mada (UGM), Arie Sudjito, menilai politik dinasti telah merusak regenerasi. Apalagi, bila politik dinasti itu tak mempertimbangkan kapasitas dan kapabilitas.
Penulis adalah Ex-Panwas pilkada 2008, Panwaslu Pileg & Pilpres 2009.
Kabupaten Pasuruan.
Alamat : Jl. Mawar 02 Ledug Prigen Pasuruan
Hp : 081333954053.
DINASTI KEPEMIMPINAN DALAM PEMILU KADA
Oleh : Ki Sonhaji Mutiallah, M. MPd
Pemilihan umum kepala daerah (pemilukada), telah berlangsung di beberapa daerah di Indonesia. Ada kurang lebih 244 daerah yang akan mengggelar pemilukada, Baik itu memilih Gubernur, Bupati, Walikota dan wakilnya. Beberapa problem teknis dalam pemilukada selalu saja terjadi, mulai dari pembentukan penyelenggara pemilu (Panwas dan KPU) yang tidak transparan dan di kondisikan oleh salah satu penguasa, mahalnya pendanaan pilkada, persoalan DPT, money politics, pilkada ulang, kini bertambah lagi satu permasalahan yang sangat ironis sekali di tengah-tengah bangsa Indonesia sedang membangun Demokrasi yang terbuka. Yakni munculnya kerabat penguasa(incumbent) yang ikut dalam pemilukada baik pemilu gubernur, bupati dan walikota, dengan tujuan melestarikan posisi dan kedudukan keluarga besar dari tergusurnya dinasti politik keluarga di ’kerajaan’ daerah.
Munculnya calon-calon kepala daerah yang berasal dari ikatan satu darah atau keluarga dengan pejabat incumbent, tentu akan membawa dampak bagi keberlangsungan pelaksanaan pemilukada di daerah. Lihat faktanya, di Bali Eka Wiryastuti (anak Bupati Tabanan Bali Adi Wiryatama) berkompetisi dalam pemilukada menggantikan bapaknya. Di Lampung Rycko Menoza(anak Gubernur Lampung Sjachroedin) menjadi calon Bupati Lampung Selatan. Di Kabupaten Way Kanan ( putra Bupati Way Kanan Agung Ilmu Mangku negara) mencalonkan diri menggantikan ayahnya. Kemudian Arisandi Dharmawan(anak Bupati Tulang Bawang ) mencalonkan diri menjadi bupati Pesawaran. Di Kota Bandar Lampung Heru Sambodo, (anak Ketua Golkar Lampung Alzier Dianis Tabrani ) membidik kursi wali kota. Di Kepulauan Riau, Aida Nasution (istri Gubernur Ismeth Abdullah) mencalonkan diri menggantikan kursi suaminya. Di Yogyakarta Sri Suryawidati(Istri Bupati Bantul Idham Samawi) tak mau kalah ketinggalan maju menjadi calon bupati meneruskan kursi suami. Di Kalimantan Timur, Awang Ferdian Hidayat, putra gubernur Awang Farouk, mencalonkan diri jadi Bupati Kutai Kartanegara (Kukar), bersaing dengan Rita Widyasari anak mantan Bupati Kukar Syaukani, yang pernah dipenjara karena kasus korupsi yang kemudian dibebaskan karena dianggap mengidap sakit permanen. Pembebasan ini kemudian menuai kontroversi.
Di Propinsi Jawa timur juga terjadi calon kepala daerah yang juga berasal dari ikatan keluarga dengan pejabat penguasa., misalnya di Sidoarjo, mantan Bupati Win Hendarso yang sebelumnya menyiapkan orang dekatnya , Bambang Julianto ( Kepala Dinas PU dan Bina Marga Sidoarjo) maju menjadi cabub menggantikan dirinya. Tapi , Win kelimpungan ketika Bambang meninggal. Akhirnya Win memunculkan nama istrinya sebagai calon yang di jagokan, meskipun istrinya tidak kredibel dan tidak pernah terjun ke politik, akhirnya masyarakat Sidoarjo tidak menjatuhkan pilihan pada istri Bupati, maka gagalah istri bupati memegang tahta kepemimpinan di kabupaten Sidoarjo.
Di kabupaten Kediri ada dua istri (istri tua vs istri muda) yang berebut kursi bupati menggantikan suaminya. Mereka adalah Haryanti dan Nurlaila. Haryanti adalah istri sah dari Bupati Kediri Sutrisno. Dengan statusnya ini Haryati lebih beruntung dari pada Nurlaila, karena lebih banyak dukungan dari suami. Keduanya memang bersaing untuk mencari perhatian sang suami, kalau dulu persaingan dalam merebutkan kasur sedang dalam pemilukada yang direbutkan adalah jabatan bupati. Dalam persaingan kasur tentu bupati lebih memilih Nurlaila karena lebih mudah dan masih kinyis-kinyis, tapi dalam persaingan politik untuk menduduki tahta di Kabupaten Kediri sang suami tidak main-main beliau lebih memilih yang berpengalaman dan kredibel yaitu Istri tuanya, akhirnya Haryantilah yang jadi pemenang pemegang tahta kepemimpinan di Kabupaten kediri.
Di Kabupaten tetangga kita Probolinggo ,sedang berlangsung Pemilukada yang diikuti oleh Istri dari Hasan Aminuddin, Bupati Probolinggo periode 2007 -20012. Hasan memunculkan istrinya , Puput Tantriana Sari atau sering dikenal dengan Tantri Hasan Aminuddin sebagai bakal calon (balon) bupati, begitu juga kakak kandungnya Hafidz Aminuddin ketua DPC PKB Probolinggo maju sebagai balon bupati, sehingga masyarakat Probolinggo menjuluki ”Dinasti Aminuddin”. Majunya istri dan kakak kandung Hasan Aminuddin menjadi perhatian publik di Probolinggo. Dari pengamatan saya munculnya dua candidat bacabup Probolinggo, Istri Hasan Aminuddin dan kakak kandungnya Hafidz Aminuddin akan menguntungkan dan melanggengkan ”Dinasti Aminuddin”, karena bisa memecah suara pemilih di Probolinggo, dan ini adalah bagian dari strategi politik. Tapi, kalau keduanya sama –sama berambisi untuk menjadi yang terkuat, Istri bupati, Tantri Hasan Aminuddin masih yang lebih unggul bila dibandingkan dengan Kakak iparnya. Sebab istri bupati sudah punya dua poin diatas kakak iparnya. karena sudah banyak dikenal di seluruh wilayah probolinggo, selain menjadi ketua Tim penggerak Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Kabupaten Probolinggo, kemanapun suaminya pergi beliaunya selalu mengikuti sehingga penampakan wajahnya sudah tidak asing bagi masyarakat di Probolinggo inilah Promosi “gratis” ini poin pertama. Selain itu trek rekord sang suami sudah tidak di ragukan lagi . Dua kali putaran memimpin Kabupaten Probolinggo dan membawa kemajuan yang cukup pesat bagi Kabupaten Probolinggo. Masyarakat kita masih berpandangan bahwa kesuksesan suami ”Hasan Aminuddin” tidak lepas dari pendampingan sang Istri, inilah poin kedua, yang di kantongi oleh Tantri Hasan Aminudin . Dibandingkan dengan sang Kakak ipar yang masih di bilang pendatang baru, walupun menjadi ketua DPC PKB Probolinggo. Tapi, Hasan Aminuddin harus belajar dari Pemilu kada Kabupaten Pasuruan periode 2008-2013, dimana kuda hitam pasangan Dade Angga –Edy Paripurna (DAdi), yang di dukung oleh Partai PDIP dan partai gurem atau dalam barisan PERISAI yang memenangkan pemilu. Mengalahkan Dua Pasangan, Jusbakir-Joko Cahyono (JUJUR) dan pasangan Muzammil – Jubaidi (JA-DI) . Perlu diketahui bahwa, Jusbakir, Joko, Muzammil, dan Jubaidi adalah tokok sentral di partai PKB, akibatnya dalam Pemilukada 2008-20013, suara PKB pecah jadi dua, maka menanglah si kuda hitam Pasangan Dade Angga- Edy Paripurna. Apakah kasus di pasuruan akan terulang di Kabupaten Probolinggo?. Masyarakat Probolinggo masih mengakui, “Hasan Aminuddin” sebagai Tokoh dari Partai PKB Kabupaten Probolinggo, dan dua kali menjadi bupati Kabupaten Probolinggo juga di berangkatkan dari partai PKB. Walaupun sekarang sudah menjadi ketua NASDEM Propinsi Jawa Timur, beliaunya masih tetap di tokoh kan oleh orang-orang PKB di sana. Tapi, sekarang belianya memunculkan dua orang dekatnya, maka bingunglah masyarakat pemilih yang dulu menggap Hasan Aminuddin itu orang PKB. Mau pilih Kakaknya Hafidz yang merupakan Ketua DPC PKB atau memilih istrinya . Jelas suara masyarakat yang fanatik dengan Bupati Hasan Aminuddin akan terbelah menjadi dua, maka yang di untungkan adalah kuda hitam, yaitu cabub lain.
JABATAN TURUNAN
Fenomena majunya calon kepala daerah yang mempunyai hubungan keluarga dengan pejabat sebelumnya atau incumbent sebenarnya sangat ironis. Hal ini menandakan bahwa kursi kepala daerah adalah jabatan yang menguntungkan, membawa berkah dan bisa dijadikan sarana untuk mengeruk kekayaan serta melanggengkan kekuasaan untuk diturunkan kepada istri, saudara hingga anak-cucu. Karena strategi ini cukup ampuh untuk mempertahankan kekuasaan, sebab bupati yang sudah menjabat dua periode tidak bisa mencalonkan diri lagi karena dibatasi oleh aturan. Maka, jauh-jauh hari sebelum dirinya lengser harus menyiapkan ”penggantinya”. Sebenarnya tidak ada larangan keluarga pejabat incumbent yang ikut dalam bursa pencalonan Gubernur, bupati, walikota, asal kredibel dan kualified . Tapi yang dikhawatirkan adanya penyalahgunaan wewenang dan fasilitas negara untuk tujuan sang calon yang notabene mempunyai hubungan yang sangat erat dengan pejabat incumbent.
Pemilukada saat ini penuh misteri. Di satu sisi , rakyat kian apatis dan tidak peduli sehingga tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilukada cenderung turun. Apatisme masyarakat ini justru dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu meraih jabatan dan kekayaan. Mereka adalah orang-orang yang ingin melanggengkan kekayaan dan kekuasaan agar tetap jatuh kepada garis keluarganya. Ini merupakan problem teknik pemilukada selain, problem transparansi pembentukan penyelenggara pemilu, persoalan DPT, money politik, pilkada ulang dan juga pendanaan dalam pemilu kada. Persaingan antara aristokrat (kerabat penguasa) dalam melestarikan posisi dan kedudukan keluarga besar dari tergusurnya dinasti politik keluarga incumbent.
Regenerasi kepemimpinan politik lokal yang berbasis pada kekerabatan ini lambat tapi pasti akan menggeser isu demokrasi ke aristokrasi. Wacana politik akan kian elitis karena tak ada lagi kompetisi yang seimbang dan fair antara calon orang biasa dan ” orang luar biasa”. Calon yang mempunyai hubungan keluarga dengan incumbent pasti akan lebih diuntungkan ketimbang calon lain.
Menurut Eisenstadt dan Roniger (1984) dalam bukunya Patrons, Clients and Friends: Interpersonal Relations and the structure of trust in Society, ada empat alasan utama mengapa politik kekerabatan lebih disukai elite-elite politik di suatu negara.
Pertama, kepercayaan (trusty) ini lebih disebabkan karena kerabat lebih dipercaya dan tak mungkin berkhianat seperti lazim dilakukan politikus pemburu kekuasaan. Kedua, loyalitas (loyality) kerabat akan jauh memiliki loyalitas tinggi dalam konteks menjalankan semua tugas politik terutama dalam hal menjaga wibawa dan kehormatan kerabat besar ketimbang orang lain. Ketiga, solidaritas (solidarity) kerabat dipastikan jauh memiliki tingkat solidaritas yang tangguh terutama dalam menolong keluarga besar dari kebangkrutan kekuasaan dan kekayaan ketimbang mereka yang bukan dari kalangan kerabat. Keempat, proteksi (protection) ini terkait dengan model mempertahankan gengsi dan kehormatan keluarga besar. Mereka yang berasal dari keluarga yang sama akan cenderung mampu menjaga apa yang telah dimiliki keluarga ketimbang orang lain.
Mewariskan jabatan atau kekuasaan politik secara prosedural melalui pelaksanaan pemilukada, apakah itu kursi gubernur, bupati atau walikota kepada istri, anak, menantu atau saudara yang hanya berputar di kalangan kerabat penguasa (incumbent) tidaklah melanggar hukum, karena tidak diatur dalam UU No. 32 tahun 2004 juncto UU No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur tentang pemilukada. Namun praktek ini jelas melanggar etika politik, kepatuhan, dan norma umum. Karena model ini jelas akan menyumbat regenerasi calon pemimpin politik lokal berdasar pada kompetisi yang fair yang seharusnya bertumpu pada rekam jejak keilmuan, kemampuan dan integritas moral. Jangan sampai pemilukada hanya menjadi ritual demokrasi prosedural untuk melestarikan aristokrasi yang melahirkan raja-raja kecil di ”kerajaan ” daerah.
Diperlukan Proteksi
Untuk itu perlu adanya aturan larangan secara formal, bahwa anggota keluarga, terutama istri dan anak petahana(incumbent) maju mencalonkan diri menjadi gubernur, bupati, walikota dan wakilnya dalam pemilu kada. Pelarangan ini sudah ditegaskan presiden SBY dalam konteks pilkada (jawa pos, 25/6). Pemerintah juga mengusulkan melalui RUU pilkada, tentang pembatasan bagi kerabat petahana untuk maju menjadi calon kepala daerah. Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada akan diatur tegas tentang politik dinasti atau politik kekerabatan. ” Dalam RUU Pilkada, pemerintah ingin mewujudkan suatu kompetisi pilkada yang dinamis, namun tetap mengaktualisasikan nilai-nilai kesetaraan, dimana perlu adanya pembatasan bagi seorang calon yang merupakan keturunan atau terdapat ikatan perkawinan dengan kepala daerah petahana,” Dikatakan Menteri Dalam Negeri, Gumawan Fauzi, di Jakarta, (12/6). Gumawan, mampu menjamin suatu kompetisi yang setara, dimana seorang kepala daerah tidak memobilisasi jajaran pemerintah daerah untuk kepentingan dukungan bagi calon yang memiliki darah ” atau punya hubungan perkawinan dengan yang bersangkutan ” . Sementara itu, pengamat politik Universitas Gadjah Mada (UGM), Arie Sudjito, menilai politik dinasti telah merusak regenerasi. Apalagi, bila politik dinasti itu tak mempertimbangkan kapasitas dan kapabilitas.
Penulis adalah Ex-Panwas pilkada 2008, Panwaslu Pileg & Pilpres 2009.
Kabupaten Pasuruan.
Alamat : Jl. Mawar 02 Ledug Prigen Pasuruan
Hp : 081333954053.
DINASTI KEPEMIMPINAN DALAM PEMILU KADA
Oleh : Ki Sonhaji Mutiallah, M. MPd
Pemilihan umum kepala daerah (pemilukada), telah berlangsung di beberapa daerah di Indonesia. Ada kurang lebih 244 daerah yang akan mengggelar pemilukada, Baik itu memilih Gubernur, Bupati, Walikota dan wakilnya. Beberapa problem teknis dalam pemilukada selalu saja terjadi, mulai dari pembentukan penyelenggara pemilu (Panwas dan KPU) yang tidak transparan dan di kondisikan oleh salah satu penguasa, mahalnya pendanaan pilkada, persoalan DPT, money politics, pilkada ulang, kini bertambah lagi satu permasalahan yang sangat ironis sekali di tengah-tengah bangsa Indonesia sedang membangun Demokrasi yang terbuka. Yakni munculnya kerabat penguasa(incumbent) yang ikut dalam pemilukada baik pemilu gubernur, bupati dan walikota, dengan tujuan melestarikan posisi dan kedudukan keluarga besar dari tergusurnya dinasti politik keluarga di ’kerajaan’ daerah.
Munculnya calon-calon kepala daerah yang berasal dari ikatan satu darah atau keluarga dengan pejabat incumbent, tentu akan membawa dampak bagi keberlangsungan pelaksanaan pemilukada di daerah. Lihat faktanya, di Bali Eka Wiryastuti (anak Bupati Tabanan Bali Adi Wiryatama) berkompetisi dalam pemilukada menggantikan bapaknya. Di Lampung Rycko Menoza(anak Gubernur Lampung Sjachroedin) menjadi calon Bupati Lampung Selatan. Di Kabupaten Way Kanan ( putra Bupati Way Kanan Agung Ilmu Mangku negara) mencalonkan diri menggantikan ayahnya. Kemudian Arisandi Dharmawan(anak Bupati Tulang Bawang ) mencalonkan diri menjadi bupati Pesawaran. Di Kota Bandar Lampung Heru Sambodo, (anak Ketua Golkar Lampung Alzier Dianis Tabrani ) membidik kursi wali kota. Di Kepulauan Riau, Aida Nasution (istri Gubernur Ismeth Abdullah) mencalonkan diri menggantikan kursi suaminya. Di Yogyakarta Sri Suryawidati(Istri Bupati Bantul Idham Samawi) tak mau kalah ketinggalan maju menjadi calon bupati meneruskan kursi suami. Di Kalimantan Timur, Awang Ferdian Hidayat, putra gubernur Awang Farouk, mencalonkan diri jadi Bupati Kutai Kartanegara (Kukar), bersaing dengan Rita Widyasari anak mantan Bupati Kukar Syaukani, yang pernah dipenjara karena kasus korupsi yang kemudian dibebaskan karena dianggap mengidap sakit permanen. Pembebasan ini kemudian menuai kontroversi.
Di Propinsi Jawa timur juga terjadi calon kepala daerah yang juga berasal dari ikatan keluarga dengan pejabat penguasa., misalnya di Sidoarjo, mantan Bupati Win Hendarso yang sebelumnya menyiapkan orang dekatnya , Bambang Julianto ( Kepala Dinas PU dan Bina Marga Sidoarjo) maju menjadi cabub menggantikan dirinya. Tapi , Win kelimpungan ketika Bambang meninggal. Akhirnya Win memunculkan nama istrinya sebagai calon yang di jagokan, meskipun istrinya tidak kredibel dan tidak pernah terjun ke politik, akhirnya masyarakat Sidoarjo tidak menjatuhkan pilihan pada istri Bupati, maka gagalah istri bupati memegang tahta kepemimpinan di kabupaten Sidoarjo.
Di kabupaten Kediri ada dua istri (istri tua vs istri muda) yang berebut kursi bupati menggantikan suaminya. Mereka adalah Haryanti dan Nurlaila. Haryanti adalah istri sah dari Bupati Kediri Sutrisno. Dengan statusnya ini Haryati lebih beruntung dari pada Nurlaila, karena lebih banyak dukungan dari suami. Keduanya memang bersaing untuk mencari perhatian sang suami, kalau dulu persaingan dalam merebutkan kasur sedang dalam pemilukada yang direbutkan adalah jabatan bupati. Dalam persaingan kasur tentu bupati lebih memilih Nurlaila karena lebih mudah dan masih kinyis-kinyis, tapi dalam persaingan politik untuk menduduki tahta di Kabupaten Kediri sang suami tidak main-main beliau lebih memilih yang berpengalaman dan kredibel yaitu Istri tuanya, akhirnya Haryantilah yang jadi pemenang pemegang tahta kepemimpinan di Kabupaten kediri.
Di Kabupaten tetangga kita Probolinggo ,sedang berlangsung Pemilukada yang diikuti oleh Istri dari Hasan Aminuddin, Bupati Probolinggo periode 2007 -20012. Hasan memunculkan istrinya , Puput Tantriana Sari atau sering dikenal dengan Tantri Hasan Aminuddin sebagai bakal calon (balon) bupati, begitu juga kakak kandungnya Hafidz Aminuddin ketua DPC PKB Probolinggo maju sebagai balon bupati, sehingga masyarakat Probolinggo menjuluki ”Dinasti Aminuddin”. Majunya istri dan kakak kandung Hasan Aminuddin menjadi perhatian publik di Probolinggo. Dari pengamatan saya munculnya dua candidat bacabup Probolinggo, Istri Hasan Aminuddin dan kakak kandungnya Hafidz Aminuddin akan menguntungkan dan melanggengkan ”Dinasti Aminuddin”, karena bisa memecah suara pemilih di Probolinggo, dan ini adalah bagian dari strategi politik. Tapi, kalau keduanya sama –sama berambisi untuk menjadi yang terkuat, Istri bupati, Tantri Hasan Aminuddin masih yang lebih unggul bila dibandingkan dengan Kakak iparnya. Sebab istri bupati sudah punya dua poin diatas kakak iparnya. karena sudah banyak dikenal di seluruh wilayah probolinggo, selain menjadi ketua Tim penggerak Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Kabupaten Probolinggo, kemanapun suaminya pergi beliaunya selalu mengikuti sehingga penampakan wajahnya sudah tidak asing bagi masyarakat di Probolinggo inilah Promosi “gratis” ini poin pertama. Selain itu trek rekord sang suami sudah tidak di ragukan lagi . Dua kali putaran memimpin Kabupaten Probolinggo dan membawa kemajuan yang cukup pesat bagi Kabupaten Probolinggo. Masyarakat kita masih berpandangan bahwa kesuksesan suami ”Hasan Aminuddin” tidak lepas dari pendampingan sang Istri, inilah poin kedua, yang di kantongi oleh Tantri Hasan Aminudin . Dibandingkan dengan sang Kakak ipar yang masih di bilang pendatang baru, walupun menjadi ketua DPC PKB Probolinggo. Tapi, Hasan Aminuddin harus belajar dari Pemilu kada Kabupaten Pasuruan periode 2008-2013, dimana kuda hitam pasangan Dade Angga –Edy Paripurna (DAdi), yang di dukung oleh Partai PDIP dan partai gurem atau dalam barisan PERISAI yang memenangkan pemilu. Mengalahkan Dua Pasangan, Jusbakir-Joko Cahyono (JUJUR) dan pasangan Muzammil – Jubaidi (JA-DI) . Perlu diketahui bahwa, Jusbakir, Joko, Muzammil, dan Jubaidi adalah tokok sentral di partai PKB, akibatnya dalam Pemilukada 2008-20013, suara PKB pecah jadi dua, maka menanglah si kuda hitam Pasangan Dade Angga- Edy Paripurna. Apakah kasus di pasuruan akan terulang di Kabupaten Probolinggo?. Masyarakat Probolinggo masih mengakui, “Hasan Aminuddin” sebagai Tokoh dari Partai PKB Kabupaten Probolinggo, dan dua kali menjadi bupati Kabupaten Probolinggo juga di berangkatkan dari partai PKB. Walaupun sekarang sudah menjadi ketua NASDEM Propinsi Jawa Timur, beliaunya masih tetap di tokoh kan oleh orang-orang PKB di sana. Tapi, sekarang belianya memunculkan dua orang dekatnya, maka bingunglah masyarakat pemilih yang dulu menggap Hasan Aminuddin itu orang PKB. Mau pilih Kakaknya Hafidz yang merupakan Ketua DPC PKB atau memilih istrinya . Jelas suara masyarakat yang fanatik dengan Bupati Hasan Aminuddin akan terbelah menjadi dua, maka yang di untungkan adalah kuda hitam, yaitu cabub lain.
JABATAN TURUNAN
Fenomena majunya calon kepala daerah yang mempunyai hubungan keluarga dengan pejabat sebelumnya atau incumbent sebenarnya sangat ironis. Hal ini menandakan bahwa kursi kepala daerah adalah jabatan yang menguntungkan, membawa berkah dan bisa dijadikan sarana untuk mengeruk kekayaan serta melanggengkan kekuasaan untuk diturunkan kepada istri, saudara hingga anak-cucu. Karena strategi ini cukup ampuh untuk mempertahankan kekuasaan, sebab bupati yang sudah menjabat dua periode tidak bisa mencalonkan diri lagi karena dibatasi oleh aturan. Maka, jauh-jauh hari sebelum dirinya lengser harus menyiapkan ”penggantinya”. Sebenarnya tidak ada larangan keluarga pejabat incumbent yang ikut dalam bursa pencalonan Gubernur, bupati, walikota, asal kredibel dan kualified . Tapi yang dikhawatirkan adanya penyalahgunaan wewenang dan fasilitas negara untuk tujuan sang calon yang notabene mempunyai hubungan yang sangat erat dengan pejabat incumbent.
Pemilukada saat ini penuh misteri. Di satu sisi , rakyat kian apatis dan tidak peduli sehingga tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilukada cenderung turun. Apatisme masyarakat ini justru dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu meraih jabatan dan kekayaan. Mereka adalah orang-orang yang ingin melanggengkan kekayaan dan kekuasaan agar tetap jatuh kepada garis keluarganya. Ini merupakan problem teknik pemilukada selain, problem transparansi pembentukan penyelenggara pemilu, persoalan DPT, money politik, pilkada ulang dan juga pendanaan dalam pemilu kada. Persaingan antara aristokrat (kerabat penguasa) dalam melestarikan posisi dan kedudukan keluarga besar dari tergusurnya dinasti politik keluarga incumbent.
Regenerasi kepemimpinan politik lokal yang berbasis pada kekerabatan ini lambat tapi pasti akan menggeser isu demokrasi ke aristokrasi. Wacana politik akan kian elitis karena tak ada lagi kompetisi yang seimbang dan fair antara calon orang biasa dan ” orang luar biasa”. Calon yang mempunyai hubungan keluarga dengan incumbent pasti akan lebih diuntungkan ketimbang calon lain.
Menurut Eisenstadt dan Roniger (1984) dalam bukunya Patrons, Clients and Friends: Interpersonal Relations and the structure of trust in Society, ada empat alasan utama mengapa politik kekerabatan lebih disukai elite-elite politik di suatu negara.
Pertama, kepercayaan (trusty) ini lebih disebabkan karena kerabat lebih dipercaya dan tak mungkin berkhianat seperti lazim dilakukan politikus pemburu kekuasaan. Kedua, loyalitas (loyality) kerabat akan jauh memiliki loyalitas tinggi dalam konteks menjalankan semua tugas politik terutama dalam hal menjaga wibawa dan kehormatan kerabat besar ketimbang orang lain. Ketiga, solidaritas (solidarity) kerabat dipastikan jauh memiliki tingkat solidaritas yang tangguh terutama dalam menolong keluarga besar dari kebangkrutan kekuasaan dan kekayaan ketimbang mereka yang bukan dari kalangan kerabat. Keempat, proteksi (protection) ini terkait dengan model mempertahankan gengsi dan kehormatan keluarga besar. Mereka yang berasal dari keluarga yang sama akan cenderung mampu menjaga apa yang telah dimiliki keluarga ketimbang orang lain.
Mewariskan jabatan atau kekuasaan politik secara prosedural melalui pelaksanaan pemilukada, apakah itu kursi gubernur, bupati atau walikota kepada istri, anak, menantu atau saudara yang hanya berputar di kalangan kerabat penguasa (incumbent) tidaklah melanggar hukum, karena tidak diatur dalam UU No. 32 tahun 2004 juncto UU No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur tentang pemilukada. Namun praktek ini jelas melanggar etika politik, kepatuhan, dan norma umum. Karena model ini jelas akan menyumbat regenerasi calon pemimpin politik lokal berdasar pada kompetisi yang fair yang seharusnya bertumpu pada rekam jejak keilmuan, kemampuan dan integritas moral. Jangan sampai pemilukada hanya menjadi ritual demokrasi prosedural untuk melestarikan aristokrasi yang melahirkan raja-raja kecil di ”kerajaan ” daerah.
Diperlukan Proteksi
Untuk itu perlu adanya aturan larangan secara formal, bahwa anggota keluarga, terutama istri dan anak petahana(incumbent) maju mencalonkan diri menjadi gubernur, bupati, walikota dan wakilnya dalam pemilu kada. Pelarangan ini sudah ditegaskan presiden SBY dalam konteks pilkada (jawa pos, 25/6). Pemerintah juga mengusulkan melalui RUU pilkada, tentang pembatasan bagi kerabat petahana untuk maju menjadi calon kepala daerah. Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada akan diatur tegas tentang politik dinasti atau politik kekerabatan. ” Dalam RUU Pilkada, pemerintah ingin mewujudkan suatu kompetisi pilkada yang dinamis, namun tetap mengaktualisasikan nilai-nilai kesetaraan, dimana perlu adanya pembatasan bagi seorang calon yang merupakan keturunan atau terdapat ikatan perkawinan dengan kepala daerah petahana,” Dikatakan Menteri Dalam Negeri, Gumawan Fauzi, di Jakarta, (12/6). Gumawan, mampu menjamin suatu kompetisi yang setara, dimana seorang kepala daerah tidak memobilisasi jajaran pemerintah daerah untuk kepentingan dukungan bagi calon yang memiliki darah ” atau punya hubungan perkawinan dengan yang bersangkutan ” . Sementara itu, pengamat politik Universitas Gadjah Mada (UGM), Arie Sudjito, menilai politik dinasti telah merusak regenerasi. Apalagi, bila politik dinasti itu tak mempertimbangkan kapasitas dan kapabilitas.
Penulis adalah Ex-Panwas pilkada 2008, Panwaslu Pileg & Pilpres 2009.
Kabupaten Pasuruan.
Alamat : Jl. Mawar 02 Ledug Prigen Pasuruan
Hp : 081333954053.
DINASTI KEPEMIMPINAN DALAM PEMILU KADA
Oleh : Ki Sonhaji Mutiallah, M. MPd
Pemilihan umum kepala daerah (pemilukada), telah berlangsung di beberapa daerah di Indonesia. Ada kurang lebih 244 daerah yang akan mengggelar pemilukada, Baik itu memilih Gubernur, Bupati, Walikota dan wakilnya. Beberapa problem teknis dalam pemilukada selalu saja terjadi, mulai dari pembentukan penyelenggara pemilu (Panwas dan KPU) yang tidak transparan dan di kondisikan oleh salah satu penguasa, mahalnya pendanaan pilkada, persoalan DPT, money politics, pilkada ulang, kini bertambah lagi satu permasalahan yang sangat ironis sekali di tengah-tengah bangsa Indonesia sedang membangun Demokrasi yang terbuka. Yakni munculnya kerabat penguasa(incumbent) yang ikut dalam pemilukada baik pemilu gubernur, bupati dan walikota, dengan tujuan melestarikan posisi dan kedudukan keluarga besar dari tergusurnya dinasti politik keluarga di ’kerajaan’ daerah.
Munculnya calon-calon kepala daerah yang berasal dari ikatan satu darah atau keluarga dengan pejabat incumbent, tentu akan membawa dampak bagi keberlangsungan pelaksanaan pemilukada di daerah. Lihat faktanya, di Bali Eka Wiryastuti (anak Bupati Tabanan Bali Adi Wiryatama) berkompetisi dalam pemilukada menggantikan bapaknya. Di Lampung Rycko Menoza(anak Gubernur Lampung Sjachroedin) menjadi calon Bupati Lampung Selatan. Di Kabupaten Way Kanan ( putra Bupati Way Kanan Agung Ilmu Mangku negara) mencalonkan diri menggantikan ayahnya. Kemudian Arisandi Dharmawan(anak Bupati Tulang Bawang ) mencalonkan diri menjadi bupati Pesawaran. Di Kota Bandar Lampung Heru Sambodo, (anak Ketua Golkar Lampung Alzier Dianis Tabrani ) membidik kursi wali kota. Di Kepulauan Riau, Aida Nasution (istri Gubernur Ismeth Abdullah) mencalonkan diri menggantikan kursi suaminya. Di Yogyakarta Sri Suryawidati(Istri Bupati Bantul Idham Samawi) tak mau kalah ketinggalan maju menjadi calon bupati meneruskan kursi suami. Di Kalimantan Timur, Awang Ferdian Hidayat, putra gubernur Awang Farouk, mencalonkan diri jadi Bupati Kutai Kartanegara (Kukar), bersaing dengan Rita Widyasari anak mantan Bupati Kukar Syaukani, yang pernah dipenjara karena kasus korupsi yang kemudian dibebaskan karena dianggap mengidap sakit permanen. Pembebasan ini kemudian menuai kontroversi.
Di Propinsi Jawa timur juga terjadi calon kepala daerah yang juga berasal dari ikatan keluarga dengan pejabat penguasa., misalnya di Sidoarjo, mantan Bupati Win Hendarso yang sebelumnya menyiapkan orang dekatnya , Bambang Julianto ( Kepala Dinas PU dan Bina Marga Sidoarjo) maju menjadi cabub menggantikan dirinya. Tapi , Win kelimpungan ketika Bambang meninggal. Akhirnya Win memunculkan nama istrinya sebagai calon yang di jagokan, meskipun istrinya tidak kredibel dan tidak pernah terjun ke politik, akhirnya masyarakat Sidoarjo tidak menjatuhkan pilihan pada istri Bupati, maka gagalah istri bupati memegang tahta kepemimpinan di kabupaten Sidoarjo.
Di kabupaten Kediri ada dua istri (istri tua vs istri muda) yang berebut kursi bupati menggantikan suaminya. Mereka adalah Haryanti dan Nurlaila. Haryanti adalah istri sah dari Bupati Kediri Sutrisno. Dengan statusnya ini Haryati lebih beruntung dari pada Nurlaila, karena lebih banyak dukungan dari suami. Keduanya memang bersaing untuk mencari perhatian sang suami, kalau dulu persaingan dalam merebutkan kasur sedang dalam pemilukada yang direbutkan adalah jabatan bupati. Dalam persaingan kasur tentu bupati lebih memilih Nurlaila karena lebih mudah dan masih kinyis-kinyis, tapi dalam persaingan politik untuk menduduki tahta di Kabupaten Kediri sang suami tidak main-main beliau lebih memilih yang berpengalaman dan kredibel yaitu Istri tuanya, akhirnya Haryantilah yang jadi pemenang pemegang tahta kepemimpinan di Kabupaten kediri.
Di Kabupaten tetangga kita Probolinggo ,sedang berlangsung Pemilukada yang diikuti oleh Istri dari Hasan Aminuddin, Bupati Probolinggo periode 2007 -20012. Hasan memunculkan istrinya , Puput Tantriana Sari atau sering dikenal dengan Tantri Hasan Aminuddin sebagai bakal calon (balon) bupati, begitu juga kakak kandungnya Hafidz Aminuddin ketua DPC PKB Probolinggo maju sebagai balon bupati, sehingga masyarakat Probolinggo menjuluki ”Dinasti Aminuddin”. Majunya istri dan kakak kandung Hasan Aminuddin menjadi perhatian publik di Probolinggo. Dari pengamatan saya munculnya dua candidat bacabup Probolinggo, Istri Hasan Aminuddin dan kakak kandungnya Hafidz Aminuddin akan menguntungkan dan melanggengkan ”Dinasti Aminuddin”, karena bisa memecah suara pemilih di Probolinggo, dan ini adalah bagian dari strategi politik. Tapi, kalau keduanya sama –sama berambisi untuk menjadi yang terkuat, Istri bupati, Tantri Hasan Aminuddin masih yang lebih unggul bila dibandingkan dengan Kakak iparnya. Sebab istri bupati sudah punya dua poin diatas kakak iparnya. karena sudah banyak dikenal di seluruh wilayah probolinggo, selain menjadi ketua Tim penggerak Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Kabupaten Probolinggo, kemanapun suaminya pergi beliaunya selalu mengikuti sehingga penampakan wajahnya sudah tidak asing bagi masyarakat di Probolinggo inilah Promosi “gratis” ini poin pertama. Selain itu trek rekord sang suami sudah tidak di ragukan lagi . Dua kali putaran memimpin Kabupaten Probolinggo dan membawa kemajuan yang cukup pesat bagi Kabupaten Probolinggo. Masyarakat kita masih berpandangan bahwa kesuksesan suami ”Hasan Aminuddin” tidak lepas dari pendampingan sang Istri, inilah poin kedua, yang di kantongi oleh Tantri Hasan Aminudin . Dibandingkan dengan sang Kakak ipar yang masih di bilang pendatang baru, walupun menjadi ketua DPC PKB Probolinggo. Tapi, Hasan Aminuddin harus belajar dari Pemilu kada Kabupaten Pasuruan periode 2008-2013, dimana kuda hitam pasangan Dade Angga –Edy Paripurna (DAdi), yang di dukung oleh Partai PDIP dan partai gurem atau dalam barisan PERISAI yang memenangkan pemilu. Mengalahkan Dua Pasangan, Jusbakir-Joko Cahyono (JUJUR) dan pasangan Muzammil – Jubaidi (JA-DI) . Perlu diketahui bahwa, Jusbakir, Joko, Muzammil, dan Jubaidi adalah tokok sentral di partai PKB, akibatnya dalam Pemilukada 2008-20013, suara PKB pecah jadi dua, maka menanglah si kuda hitam Pasangan Dade Angga- Edy Paripurna. Apakah kasus di pasuruan akan terulang di Kabupaten Probolinggo?. Masyarakat Probolinggo masih mengakui, “Hasan Aminuddin” sebagai Tokoh dari Partai PKB Kabupaten Probolinggo, dan dua kali menjadi bupati Kabupaten Probolinggo juga di berangkatkan dari partai PKB. Walaupun sekarang sudah menjadi ketua NASDEM Propinsi Jawa Timur, beliaunya masih tetap di tokoh kan oleh orang-orang PKB di sana. Tapi, sekarang belianya memunculkan dua orang dekatnya, maka bingunglah masyarakat pemilih yang dulu menggap Hasan Aminuddin itu orang PKB. Mau pilih Kakaknya Hafidz yang merupakan Ketua DPC PKB atau memilih istrinya . Jelas suara masyarakat yang fanatik dengan Bupati Hasan Aminuddin akan terbelah menjadi dua, maka yang di untungkan adalah kuda hitam, yaitu cabub lain.
JABATAN TURUNAN
Fenomena majunya calon kepala daerah yang mempunyai hubungan keluarga dengan pejabat sebelumnya atau incumbent sebenarnya sangat ironis. Hal ini menandakan bahwa kursi kepala daerah adalah jabatan yang menguntungkan, membawa berkah dan bisa dijadikan sarana untuk mengeruk kekayaan serta melanggengkan kekuasaan untuk diturunkan kepada istri, saudara hingga anak-cucu. Karena strategi ini cukup ampuh untuk mempertahankan kekuasaan, sebab bupati yang sudah menjabat dua periode tidak bisa mencalonkan diri lagi karena dibatasi oleh aturan. Maka, jauh-jauh hari sebelum dirinya lengser harus menyiapkan ”penggantinya”. Sebenarnya tidak ada larangan keluarga pejabat incumbent yang ikut dalam bursa pencalonan Gubernur, bupati, walikota, asal kredibel dan kualified . Tapi yang dikhawatirkan adanya penyalahgunaan wewenang dan fasilitas negara untuk tujuan sang calon yang notabene mempunyai hubungan yang sangat erat dengan pejabat incumbent.
Pemilukada saat ini penuh misteri. Di satu sisi , rakyat kian apatis dan tidak peduli sehingga tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilukada cenderung turun. Apatisme masyarakat ini justru dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu meraih jabatan dan kekayaan. Mereka adalah orang-orang yang ingin melanggengkan kekayaan dan kekuasaan agar tetap jatuh kepada garis keluarganya. Ini merupakan problem teknik pemilukada selain, problem transparansi pembentukan penyelenggara pemilu, persoalan DPT, money politik, pilkada ulang dan juga pendanaan dalam pemilu kada. Persaingan antara aristokrat (kerabat penguasa) dalam melestarikan posisi dan kedudukan keluarga besar dari tergusurnya dinasti politik keluarga incumbent.
Regenerasi kepemimpinan politik lokal yang berbasis pada kekerabatan ini lambat tapi pasti akan menggeser isu demokrasi ke aristokrasi. Wacana politik akan kian elitis karena tak ada lagi kompetisi yang seimbang dan fair antara calon orang biasa dan ” orang luar biasa”. Calon yang mempunyai hubungan keluarga dengan incumbent pasti akan lebih diuntungkan ketimbang calon lain.
Menurut Eisenstadt dan Roniger (1984) dalam bukunya Patrons, Clients and Friends: Interpersonal Relations and the structure of trust in Society, ada empat alasan utama mengapa politik kekerabatan lebih disukai elite-elite politik di suatu negara.
Pertama, kepercayaan (trusty) ini lebih disebabkan karena kerabat lebih dipercaya dan tak mungkin berkhianat seperti lazim dilakukan politikus pemburu kekuasaan. Kedua, loyalitas (loyality) kerabat akan jauh memiliki loyalitas tinggi dalam konteks menjalankan semua tugas politik terutama dalam hal menjaga wibawa dan kehormatan kerabat besar ketimbang orang lain. Ketiga, solidaritas (solidarity) kerabat dipastikan jauh memiliki tingkat solidaritas yang tangguh terutama dalam menolong keluarga besar dari kebangkrutan kekuasaan dan kekayaan ketimbang mereka yang bukan dari kalangan kerabat. Keempat, proteksi (protection) ini terkait dengan model mempertahankan gengsi dan kehormatan keluarga besar. Mereka yang berasal dari keluarga yang sama akan cenderung mampu menjaga apa yang telah dimiliki keluarga ketimbang orang lain.
Mewariskan jabatan atau kekuasaan politik secara prosedural melalui pelaksanaan pemilukada, apakah itu kursi gubernur, bupati atau walikota kepada istri, anak, menantu atau saudara yang hanya berputar di kalangan kerabat penguasa (incumbent) tidaklah melanggar hukum, karena tidak diatur dalam UU No. 32 tahun 2004 juncto UU No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur tentang pemilukada. Namun praktek ini jelas melanggar etika politik, kepatuhan, dan norma umum. Karena model ini jelas akan menyumbat regenerasi calon pemimpin politik lokal berdasar pada kompetisi yang fair yang seharusnya bertumpu pada rekam jejak keilmuan, kemampuan dan integritas moral. Jangan sampai pemilukada hanya menjadi ritual demokrasi prosedural untuk melestarikan aristokrasi yang melahirkan raja-raja kecil di ”kerajaan ” daerah.
Diperlukan Proteksi
Untuk itu perlu adanya aturan larangan secara formal, bahwa anggota keluarga, terutama istri dan anak petahana(incumbent) maju mencalonkan diri menjadi gubernur, bupati, walikota dan wakilnya dalam pemilu kada. Pelarangan ini sudah ditegaskan presiden SBY dalam konteks pilkada (jawa pos, 25/6). Pemerintah juga mengusulkan melalui RUU pilkada, tentang pembatasan bagi kerabat petahana untuk maju menjadi calon kepala daerah. Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada akan diatur tegas tentang politik dinasti atau politik kekerabatan. ” Dalam RUU Pilkada, pemerintah ingin mewujudkan suatu kompetisi pilkada yang dinamis, namun tetap mengaktualisasikan nilai-nilai kesetaraan, dimana perlu adanya pembatasan bagi seorang calon yang merupakan keturunan atau terdapat ikatan perkawinan dengan kepala daerah petahana,” Dikatakan Menteri Dalam Negeri, Gumawan Fauzi, di Jakarta, (12/6). Gumawan, mampu menjamin suatu kompetisi yang setara, dimana seorang kepala daerah tidak memobilisasi jajaran pemerintah daerah untuk kepentingan dukungan bagi calon yang memiliki darah ” atau punya hubungan perkawinan dengan yang bersangkutan ” . Sementara itu, pengamat politik Universitas Gadjah Mada (UGM), Arie Sudjito, menilai politik dinasti telah merusak regenerasi. Apalagi, bila politik dinasti itu tak mempertimbangkan kapasitas dan kapabilitas.
Penulis adalah Ex-Panwas pilkada 2008, Panwaslu Pileg & Pilpres 2009.
Kabupaten Pasuruan.
Alamat : Jl. Mawar 02 Ledug Prigen Pasuruan
Hp : 081333954053.
DINASTI KEPEMIMPINAN DALAM PEMILU KADA
Oleh : Ki Sonhaji Mutiallah, M. MPd
Pemilihan umum kepala daerah (pemilukada), telah berlangsung di beberapa daerah di Indonesia. Ada kurang lebih 244 daerah yang akan mengggelar pemilukada, Baik itu memilih Gubernur, Bupati, Walikota dan wakilnya. Beberapa problem teknis dalam pemilukada selalu saja terjadi, mulai dari pembentukan penyelenggara pemilu (Panwas dan KPU) yang tidak transparan dan di kondisikan oleh salah satu penguasa, mahalnya pendanaan pilkada, persoalan DPT, money politics, pilkada ulang, kini bertambah lagi satu permasalahan yang sangat ironis sekali di tengah-tengah bangsa Indonesia sedang membangun Demokrasi yang terbuka. Yakni munculnya kerabat penguasa(incumbent) yang ikut dalam pemilukada baik pemilu gubernur, bupati dan walikota, dengan tujuan melestarikan posisi dan kedudukan keluarga besar dari tergusurnya dinasti politik keluarga di ’kerajaan’ daerah.
Munculnya calon-calon kepala daerah yang berasal dari ikatan satu darah atau keluarga dengan pejabat incumbent, tentu akan membawa dampak bagi keberlangsungan pelaksanaan pemilukada di daerah. Lihat faktanya, di Bali Eka Wiryastuti (anak Bupati Tabanan Bali Adi Wiryatama) berkompetisi dalam pemilukada menggantikan bapaknya. Di Lampung Rycko Menoza(anak Gubernur Lampung Sjachroedin) menjadi calon Bupati Lampung Selatan. Di Kabupaten Way Kanan ( putra Bupati Way Kanan Agung Ilmu Mangku negara) mencalonkan diri menggantikan ayahnya. Kemudian Arisandi Dharmawan(anak Bupati Tulang Bawang ) mencalonkan diri menjadi bupati Pesawaran. Di Kota Bandar Lampung Heru Sambodo, (anak Ketua Golkar Lampung Alzier Dianis Tabrani ) membidik kursi wali kota. Di Kepulauan Riau, Aida Nasution (istri Gubernur Ismeth Abdullah) mencalonkan diri menggantikan kursi suaminya. Di Yogyakarta Sri Suryawidati(Istri Bupati Bantul Idham Samawi) tak mau kalah ketinggalan maju menjadi calon bupati meneruskan kursi suami. Di Kalimantan Timur, Awang Ferdian Hidayat, putra gubernur Awang Farouk, mencalonkan diri jadi Bupati Kutai Kartanegara (Kukar), bersaing dengan Rita Widyasari anak mantan Bupati Kukar Syaukani, yang pernah dipenjara karena kasus korupsi yang kemudian dibebaskan karena dianggap mengidap sakit permanen. Pembebasan ini kemudian menuai kontroversi.
Di Propinsi Jawa timur juga terjadi calon kepala daerah yang juga berasal dari ikatan keluarga dengan pejabat penguasa., misalnya di Sidoarjo, mantan Bupati Win Hendarso yang sebelumnya menyiapkan orang dekatnya , Bambang Julianto ( Kepala Dinas PU dan Bina Marga Sidoarjo) maju menjadi cabub menggantikan dirinya. Tapi , Win kelimpungan ketika Bambang meninggal. Akhirnya Win memunculkan nama istrinya sebagai calon yang di jagokan, meskipun istrinya tidak kredibel dan tidak pernah terjun ke politik, akhirnya masyarakat Sidoarjo tidak menjatuhkan pilihan pada istri Bupati, maka gagalah istri bupati memegang tahta kepemimpinan di kabupaten Sidoarjo.
Di kabupaten Kediri ada dua istri (istri tua vs istri muda) yang berebut kursi bupati menggantikan suaminya. Mereka adalah Haryanti dan Nurlaila. Haryanti adalah istri sah dari Bupati Kediri Sutrisno. Dengan statusnya ini Haryati lebih beruntung dari pada Nurlaila, karena lebih banyak dukungan dari suami. Keduanya memang bersaing untuk mencari perhatian sang suami, kalau dulu persaingan dalam merebutkan kasur sedang dalam pemilukada yang direbutkan adalah jabatan bupati. Dalam persaingan kasur tentu bupati lebih memilih Nurlaila karena lebih mudah dan masih kinyis-kinyis, tapi dalam persaingan politik untuk menduduki tahta di Kabupaten Kediri sang suami tidak main-main beliau lebih memilih yang berpengalaman dan kredibel yaitu Istri tuanya, akhirnya Haryantilah yang jadi pemenang pemegang tahta kepemimpinan di Kabupaten kediri.
Di Kabupaten tetangga kita Probolinggo ,sedang berlangsung Pemilukada yang diikuti oleh Istri dari Hasan Aminuddin, Bupati Probolinggo periode 2007 -20012. Hasan memunculkan istrinya , Puput Tantriana Sari atau sering dikenal dengan Tantri Hasan Aminuddin sebagai bakal calon (balon) bupati, begitu juga kakak kandungnya Hafidz Aminuddin ketua DPC PKB Probolinggo maju sebagai balon bupati, sehingga masyarakat Probolinggo menjuluki ”Dinasti Aminuddin”. Majunya istri dan kakak kandung Hasan Aminuddin menjadi perhatian publik di Probolinggo. Dari pengamatan saya munculnya dua candidat bacabup Probolinggo, Istri Hasan Aminuddin dan kakak kandungnya Hafidz Aminuddin akan menguntungkan dan melanggengkan ”Dinasti Aminuddin”, karena bisa memecah suara pemilih di Probolinggo, dan ini adalah bagian dari strategi politik. Tapi, kalau keduanya sama –sama berambisi untuk menjadi yang terkuat, Istri bupati, Tantri Hasan Aminuddin masih yang lebih unggul bila dibandingkan dengan Kakak iparnya. Sebab istri bupati sudah punya dua poin diatas kakak iparnya. karena sudah banyak dikenal di seluruh wilayah probolinggo, selain menjadi ketua Tim penggerak Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Kabupaten Probolinggo, kemanapun suaminya pergi beliaunya selalu mengikuti sehingga penampakan wajahnya sudah tidak asing bagi masyarakat di Probolinggo inilah Promosi “gratis” ini poin pertama. Selain itu trek rekord sang suami sudah tidak di ragukan lagi . Dua kali putaran memimpin Kabupaten Probolinggo dan membawa kemajuan yang cukup pesat bagi Kabupaten Probolinggo. Masyarakat kita masih berpandangan bahwa kesuksesan suami ”Hasan Aminuddin” tidak lepas dari pendampingan sang Istri, inilah poin kedua, yang di kantongi oleh Tantri Hasan Aminudin . Dibandingkan dengan sang Kakak ipar yang masih di bilang pendatang baru, walupun menjadi ketua DPC PKB Probolinggo. Tapi, Hasan Aminuddin harus belajar dari Pemilu kada Kabupaten Pasuruan periode 2008-2013, dimana kuda hitam pasangan Dade Angga –Edy Paripurna (DAdi), yang di dukung oleh Partai PDIP dan partai gurem atau dalam barisan PERISAI yang memenangkan pemilu. Mengalahkan Dua Pasangan, Jusbakir-Joko Cahyono (JUJUR) dan pasangan Muzammil – Jubaidi (JA-DI) . Perlu diketahui bahwa, Jusbakir, Joko, Muzammil, dan Jubaidi adalah tokok sentral di partai PKB, akibatnya dalam Pemilukada 2008-20013, suara PKB pecah jadi dua, maka menanglah si kuda hitam Pasangan Dade Angga- Edy Paripurna. Apakah kasus di pasuruan akan terulang di Kabupaten Probolinggo?. Masyarakat Probolinggo masih mengakui, “Hasan Aminuddin” sebagai Tokoh dari Partai PKB Kabupaten Probolinggo, dan dua kali menjadi bupati Kabupaten Probolinggo juga di berangkatkan dari partai PKB. Walaupun sekarang sudah menjadi ketua NASDEM Propinsi Jawa Timur, beliaunya masih tetap di tokoh kan oleh orang-orang PKB di sana. Tapi, sekarang belianya memunculkan dua orang dekatnya, maka bingunglah masyarakat pemilih yang dulu menggap Hasan Aminuddin itu orang PKB. Mau pilih Kakaknya Hafidz yang merupakan Ketua DPC PKB atau memilih istrinya . Jelas suara masyarakat yang fanatik dengan Bupati Hasan Aminuddin akan terbelah menjadi dua, maka yang di untungkan adalah kuda hitam, yaitu cabub lain.
JABATAN TURUNAN
Fenomena majunya calon kepala daerah yang mempunyai hubungan keluarga dengan pejabat sebelumnya atau incumbent sebenarnya sangat ironis. Hal ini menandakan bahwa kursi kepala daerah adalah jabatan yang menguntungkan, membawa berkah dan bisa dijadikan sarana untuk mengeruk kekayaan serta melanggengkan kekuasaan untuk diturunkan kepada istri, saudara hingga anak-cucu. Karena strategi ini cukup ampuh untuk mempertahankan kekuasaan, sebab bupati yang sudah menjabat dua periode tidak bisa mencalonkan diri lagi karena dibatasi oleh aturan. Maka, jauh-jauh hari sebelum dirinya lengser harus menyiapkan ”penggantinya”. Sebenarnya tidak ada larangan keluarga pejabat incumbent yang ikut dalam bursa pencalonan Gubernur, bupati, walikota, asal kredibel dan kualified . Tapi yang dikhawatirkan adanya penyalahgunaan wewenang dan fasilitas negara untuk tujuan sang calon yang notabene mempunyai hubungan yang sangat erat dengan pejabat incumbent.
Pemilukada saat ini penuh misteri. Di satu sisi , rakyat kian apatis dan tidak peduli sehingga tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilukada cenderung turun. Apatisme masyarakat ini justru dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu meraih jabatan dan kekayaan. Mereka adalah orang-orang yang ingin melanggengkan kekayaan dan kekuasaan agar tetap jatuh kepada garis keluarganya. Ini merupakan problem teknik pemilukada selain, problem transparansi pembentukan penyelenggara pemilu, persoalan DPT, money politik, pilkada ulang dan juga pendanaan dalam pemilu kada. Persaingan antara aristokrat (kerabat penguasa) dalam melestarikan posisi dan kedudukan keluarga besar dari tergusurnya dinasti politik keluarga incumbent.
Regenerasi kepemimpinan politik lokal yang berbasis pada kekerabatan ini lambat tapi pasti akan menggeser isu demokrasi ke aristokrasi. Wacana politik akan kian elitis karena tak ada lagi kompetisi yang seimbang dan fair antara calon orang biasa dan ” orang luar biasa”. Calon yang mempunyai hubungan keluarga dengan incumbent pasti akan lebih diuntungkan ketimbang calon lain.
Menurut Eisenstadt dan Roniger (1984) dalam bukunya Patrons, Clients and Friends: Interpersonal Relations and the structure of trust in Society, ada empat alasan utama mengapa politik kekerabatan lebih disukai elite-elite politik di suatu negara.
Pertama, kepercayaan (trusty) ini lebih disebabkan karena kerabat lebih dipercaya dan tak mungkin berkhianat seperti lazim dilakukan politikus pemburu kekuasaan. Kedua, loyalitas (loyality) kerabat akan jauh memiliki loyalitas tinggi dalam konteks menjalankan semua tugas politik terutama dalam hal menjaga wibawa dan kehormatan kerabat besar ketimbang orang lain. Ketiga, solidaritas (solidarity) kerabat dipastikan jauh memiliki tingkat solidaritas yang tangguh terutama dalam menolong keluarga besar dari kebangkrutan kekuasaan dan kekayaan ketimbang mereka yang bukan dari kalangan kerabat. Keempat, proteksi (protection) ini terkait dengan model mempertahankan gengsi dan kehormatan keluarga besar. Mereka yang berasal dari keluarga yang sama akan cenderung mampu menjaga apa yang telah dimiliki keluarga ketimbang orang lain.
Mewariskan jabatan atau kekuasaan politik secara prosedural melalui pelaksanaan pemilukada, apakah itu kursi gubernur, bupati atau walikota kepada istri, anak, menantu atau saudara yang hanya berputar di kalangan kerabat penguasa (incumbent) tidaklah melanggar hukum, karena tidak diatur dalam UU No. 32 tahun 2004 juncto UU No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur tentang pemilukada. Namun praktek ini jelas melanggar etika politik, kepatuhan, dan norma umum. Karena model ini jelas akan menyumbat regenerasi calon pemimpin politik lokal berdasar pada kompetisi yang fair yang seharusnya bertumpu pada rekam jejak keilmuan, kemampuan dan integritas moral. Jangan sampai pemilukada hanya menjadi ritual demokrasi prosedural untuk melestarikan aristokrasi yang melahirkan raja-raja kecil di ”kerajaan ” daerah.
Diperlukan Proteksi
Untuk itu perlu adanya aturan larangan secara formal, bahwa anggota keluarga, terutama istri dan anak petahana(incumbent) maju mencalonkan diri menjadi gubernur, bupati, walikota dan wakilnya dalam pemilu kada. Pelarangan ini sudah ditegaskan presiden SBY dalam konteks pilkada (jawa pos, 25/6). Pemerintah juga mengusulkan melalui RUU pilkada, tentang pembatasan bagi kerabat petahana untuk maju menjadi calon kepala daerah. Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada akan diatur tegas tentang politik dinasti atau politik kekerabatan. ” Dalam RUU Pilkada, pemerintah ingin mewujudkan suatu kompetisi pilkada yang dinamis, namun tetap mengaktualisasikan nilai-nilai kesetaraan, dimana perlu adanya pembatasan bagi seorang calon yang merupakan keturunan atau terdapat ikatan perkawinan dengan kepala daerah petahana,” Dikatakan Menteri Dalam Negeri, Gumawan Fauzi, di Jakarta, (12/6). Gumawan, mampu menjamin suatu kompetisi yang setara, dimana seorang kepala daerah tidak memobilisasi jajaran pemerintah daerah untuk kepentingan dukungan bagi calon yang memiliki darah ” atau punya hubungan perkawinan dengan yang bersangkutan ” . Sementara itu, pengamat politik Universitas Gadjah Mada (UGM), Arie Sudjito, menilai politik dinasti telah merusak regenerasi. Apalagi, bila politik dinasti itu tak mempertimbangkan kapasitas dan kapabilitas.
Penulis adalah Ex-Panwas pilkada 2008, Panwaslu Pileg & Pilpres 2009.
Kabupaten Pasuruan.
Alamat : Jl. Mawar 02 Ledug Prigen Pasuruan
Hp : 081333954053.
DINASTI KEPEMIMPINAN DALAM PEMILU KADA
Oleh : Ki Sonhaji Mutiallah, M. MPd
Pemilihan umum kepala daerah (pemilukada), telah berlangsung di beberapa daerah di Indonesia. Ada kurang lebih 244 daerah yang akan mengggelar pemilukada, Baik itu memilih Gubernur, Bupati, Walikota dan wakilnya. Beberapa problem teknis dalam pemilukada selalu saja terjadi, mulai dari pembentukan penyelenggara pemilu (Panwas dan KPU) yang tidak transparan dan di kondisikan oleh salah satu penguasa, mahalnya pendanaan pilkada, persoalan DPT, money politics, pilkada ulang, kini bertambah lagi satu permasalahan yang sangat ironis sekali di tengah-tengah bangsa Indonesia sedang membangun Demokrasi yang terbuka. Yakni munculnya kerabat penguasa(incumbent) yang ikut dalam pemilukada baik pemilu gubernur, bupati dan walikota, dengan tujuan melestarikan posisi dan kedudukan keluarga besar dari tergusurnya dinasti politik keluarga di ’kerajaan’ daerah.
Munculnya calon-calon kepala daerah yang berasal dari ikatan satu darah atau keluarga dengan pejabat incumbent, tentu akan membawa dampak bagi keberlangsungan pelaksanaan pemilukada di daerah. Lihat faktanya, di Bali Eka Wiryastuti (anak Bupati Tabanan Bali Adi Wiryatama) berkompetisi dalam pemilukada menggantikan bapaknya. Di Lampung Rycko Menoza(anak Gubernur Lampung Sjachroedin) menjadi calon Bupati Lampung Selatan. Di Kabupaten Way Kanan ( putra Bupati Way Kanan Agung Ilmu Mangku negara) mencalonkan diri menggantikan ayahnya. Kemudian Arisandi Dharmawan(anak Bupati Tulang Bawang ) mencalonkan diri menjadi bupati Pesawaran. Di Kota Bandar Lampung Heru Sambodo, (anak Ketua Golkar Lampung Alzier Dianis Tabrani ) membidik kursi wali kota. Di Kepulauan Riau, Aida Nasution (istri Gubernur Ismeth Abdullah) mencalonkan diri menggantikan kursi suaminya. Di Yogyakarta Sri Suryawidati(Istri Bupati Bantul Idham Samawi) tak mau kalah ketinggalan maju menjadi calon bupati meneruskan kursi suami. Di Kalimantan Timur, Awang Ferdian Hidayat, putra gubernur Awang Farouk, mencalonkan diri jadi Bupati Kutai Kartanegara (Kukar), bersaing dengan Rita Widyasari anak mantan Bupati Kukar Syaukani, yang pernah dipenjara karena kasus korupsi yang kemudian dibebaskan karena dianggap mengidap sakit permanen. Pembebasan ini kemudian menuai kontroversi.
Di Propinsi Jawa timur juga terjadi calon kepala daerah yang juga berasal dari ikatan keluarga dengan pejabat penguasa., misalnya di Sidoarjo, mantan Bupati Win Hendarso yang sebelumnya menyiapkan orang dekatnya , Bambang Julianto ( Kepala Dinas PU dan Bina Marga Sidoarjo) maju menjadi cabub menggantikan dirinya. Tapi , Win kelimpungan ketika Bambang meninggal. Akhirnya Win memunculkan nama istrinya sebagai calon yang di jagokan, meskipun istrinya tidak kredibel dan tidak pernah terjun ke politik, akhirnya masyarakat Sidoarjo tidak menjatuhkan pilihan pada istri Bupati, maka gagalah istri bupati memegang tahta kepemimpinan di kabupaten Sidoarjo.
Di kabupaten Kediri ada dua istri (istri tua vs istri muda) yang berebut kursi bupati menggantikan suaminya. Mereka adalah Haryanti dan Nurlaila. Haryanti adalah istri sah dari Bupati Kediri Sutrisno. Dengan statusnya ini Haryati lebih beruntung dari pada Nurlaila, karena lebih banyak dukungan dari suami. Keduanya memang bersaing untuk mencari perhatian sang suami, kalau dulu persaingan dalam merebutkan kasur sedang dalam pemilukada yang direbutkan adalah jabatan bupati. Dalam persaingan kasur tentu bupati lebih memilih Nurlaila karena lebih mudah dan masih kinyis-kinyis, tapi dalam persaingan politik untuk menduduki tahta di Kabupaten Kediri sang suami tidak main-main beliau lebih memilih yang berpengalaman dan kredibel yaitu Istri tuanya, akhirnya Haryantilah yang jadi pemenang pemegang tahta kepemimpinan di Kabupaten kediri.
Di Kabupaten tetangga kita Probolinggo ,sedang berlangsung Pemilukada yang diikuti oleh Istri dari Hasan Aminuddin, Bupati Probolinggo periode 2007 -20012. Hasan memunculkan istrinya , Puput Tantriana Sari atau sering dikenal dengan Tantri Hasan Aminuddin sebagai bakal calon (balon) bupati, begitu juga kakak kandungnya Hafidz Aminuddin ketua DPC PKB Probolinggo maju sebagai balon bupati, sehingga masyarakat Probolinggo menjuluki ”Dinasti Aminuddin”. Majunya istri dan kakak kandung Hasan Aminuddin menjadi perhatian publik di Probolinggo. Dari pengamatan saya munculnya dua candidat bacabup Probolinggo, Istri Hasan Aminuddin dan kakak kandungnya Hafidz Aminuddin akan menguntungkan dan melanggengkan ”Dinasti Aminuddin”, karena bisa memecah suara pemilih di Probolinggo, dan ini adalah bagian dari strategi politik. Tapi, kalau keduanya sama –sama berambisi untuk menjadi yang terkuat, Istri bupati, Tantri Hasan Aminuddin masih yang lebih unggul bila dibandingkan dengan Kakak iparnya. Sebab istri bupati sudah punya dua poin diatas kakak iparnya. karena sudah banyak dikenal di seluruh wilayah probolinggo, selain menjadi ketua Tim penggerak Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Kabupaten Probolinggo, kemanapun suaminya pergi beliaunya selalu mengikuti sehingga penampakan wajahnya sudah tidak asing bagi masyarakat di Probolinggo inilah Promosi “gratis” ini poin pertama. Selain itu trek rekord sang suami sudah tidak di ragukan lagi . Dua kali putaran memimpin Kabupaten Probolinggo dan membawa kemajuan yang cukup pesat bagi Kabupaten Probolinggo. Masyarakat kita masih berpandangan bahwa kesuksesan suami ”Hasan Aminuddin” tidak lepas dari pendampingan sang Istri, inilah poin kedua, yang di kantongi oleh Tantri Hasan Aminudin . Dibandingkan dengan sang Kakak ipar yang masih di bilang pendatang baru, walupun menjadi ketua DPC PKB Probolinggo. Tapi, Hasan Aminuddin harus belajar dari Pemilu kada Kabupaten Pasuruan periode 2008-2013, dimana kuda hitam pasangan Dade Angga –Edy Paripurna (DAdi), yang di dukung oleh Partai PDIP dan partai gurem atau dalam barisan PERISAI yang memenangkan pemilu. Mengalahkan Dua Pasangan, Jusbakir-Joko Cahyono (JUJUR) dan pasangan Muzammil – Jubaidi (JA-DI) . Perlu diketahui bahwa, Jusbakir, Joko, Muzammil, dan Jubaidi adalah tokok sentral di partai PKB, akibatnya dalam Pemilukada 2008-20013, suara PKB pecah jadi dua, maka menanglah si kuda hitam Pasangan Dade Angga- Edy Paripurna. Apakah kasus di pasuruan akan terulang di Kabupaten Probolinggo?. Masyarakat Probolinggo masih mengakui, “Hasan Aminuddin” sebagai Tokoh dari Partai PKB Kabupaten Probolinggo, dan dua kali menjadi bupati Kabupaten Probolinggo juga di berangkatkan dari partai PKB. Walaupun sekarang sudah menjadi ketua NASDEM Propinsi Jawa Timur, beliaunya masih tetap di tokoh kan oleh orang-orang PKB di sana. Tapi, sekarang belianya memunculkan dua orang dekatnya, maka bingunglah masyarakat pemilih yang dulu menggap Hasan Aminuddin itu orang PKB. Mau pilih Kakaknya Hafidz yang merupakan Ketua DPC PKB atau memilih istrinya . Jelas suara masyarakat yang fanatik dengan Bupati Hasan Aminuddin akan terbelah menjadi dua, maka yang di untungkan adalah kuda hitam, yaitu cabub lain.
JABATAN TURUNAN
Fenomena majunya calon kepala daerah yang mempunyai hubungan keluarga dengan pejabat sebelumnya atau incumbent sebenarnya sangat ironis. Hal ini menandakan bahwa kursi kepala daerah adalah jabatan yang menguntungkan, membawa berkah dan bisa dijadikan sarana untuk mengeruk kekayaan serta melanggengkan kekuasaan untuk diturunkan kepada istri, saudara hingga anak-cucu. Karena strategi ini cukup ampuh untuk mempertahankan kekuasaan, sebab bupati yang sudah menjabat dua periode tidak bisa mencalonkan diri lagi karena dibatasi oleh aturan. Maka, jauh-jauh hari sebelum dirinya lengser harus menyiapkan ”penggantinya”. Sebenarnya tidak ada larangan keluarga pejabat incumbent yang ikut dalam bursa pencalonan Gubernur, bupati, walikota, asal kredibel dan kualified . Tapi yang dikhawatirkan adanya penyalahgunaan wewenang dan fasilitas negara untuk tujuan sang calon yang notabene mempunyai hubungan yang sangat erat dengan pejabat incumbent.
Pemilukada saat ini penuh misteri. Di satu sisi , rakyat kian apatis dan tidak peduli sehingga tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilukada cenderung turun. Apatisme masyarakat ini justru dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu meraih jabatan dan kekayaan. Mereka adalah orang-orang yang ingin melanggengkan kekayaan dan kekuasaan agar tetap jatuh kepada garis keluarganya. Ini merupakan problem teknik pemilukada selain, problem transparansi pembentukan penyelenggara pemilu, persoalan DPT, money politik, pilkada ulang dan juga pendanaan dalam pemilu kada. Persaingan antara aristokrat (kerabat penguasa) dalam melestarikan posisi dan kedudukan keluarga besar dari tergusurnya dinasti politik keluarga incumbent.
Regenerasi kepemimpinan politik lokal yang berbasis pada kekerabatan ini lambat tapi pasti akan menggeser isu demokrasi ke aristokrasi. Wacana politik akan kian elitis karena tak ada lagi kompetisi yang seimbang dan fair antara calon orang biasa dan ” orang luar biasa”. Calon yang mempunyai hubungan keluarga dengan incumbent pasti akan lebih diuntungkan ketimbang calon lain.
Menurut Eisenstadt dan Roniger (1984) dalam bukunya Patrons, Clients and Friends: Interpersonal Relations and the structure of trust in Society, ada empat alasan utama mengapa politik kekerabatan lebih disukai elite-elite politik di suatu negara.
Pertama, kepercayaan (trusty) ini lebih disebabkan karena kerabat lebih dipercaya dan tak mungkin berkhianat seperti lazim dilakukan politikus pemburu kekuasaan. Kedua, loyalitas (loyality) kerabat akan jauh memiliki loyalitas tinggi dalam konteks menjalankan semua tugas politik terutama dalam hal menjaga wibawa dan kehormatan kerabat besar ketimbang orang lain. Ketiga, solidaritas (solidarity) kerabat dipastikan jauh memiliki tingkat solidaritas yang tangguh terutama dalam menolong keluarga besar dari kebangkrutan kekuasaan dan kekayaan ketimbang mereka yang bukan dari kalangan kerabat. Keempat, proteksi (protection) ini terkait dengan model mempertahankan gengsi dan kehormatan keluarga besar. Mereka yang berasal dari keluarga yang sama akan cenderung mampu menjaga apa yang telah dimiliki keluarga ketimbang orang lain.
Mewariskan jabatan atau kekuasaan politik secara prosedural melalui pelaksanaan pemilukada, apakah itu kursi gubernur, bupati atau walikota kepada istri, anak, menantu atau saudara yang hanya berputar di kalangan kerabat penguasa (incumbent) tidaklah melanggar hukum, karena tidak diatur dalam UU No. 32 tahun 2004 juncto UU No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur tentang pemilukada. Namun praktek ini jelas melanggar etika politik, kepatuhan, dan norma umum. Karena model ini jelas akan menyumbat regenerasi calon pemimpin politik lokal berdasar pada kompetisi yang fair yang seharusnya bertumpu pada rekam jejak keilmuan, kemampuan dan integritas moral. Jangan sampai pemilukada hanya menjadi ritual demokrasi prosedural untuk melestarikan aristokrasi yang melahirkan raja-raja kecil di ”kerajaan ” daerah.
Diperlukan Proteksi
Untuk itu perlu adanya aturan larangan secara formal, bahwa anggota keluarga, terutama istri dan anak petahana(incumbent) maju mencalonkan diri menjadi gubernur, bupati, walikota dan wakilnya dalam pemilu kada. Pelarangan ini sudah ditegaskan presiden SBY dalam konteks pilkada (jawa pos, 25/6). Pemerintah juga mengusulkan melalui RUU pilkada, tentang pembatasan bagi kerabat petahana untuk maju menjadi calon kepala daerah. Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada akan diatur tegas tentang politik dinasti atau politik kekerabatan. ” Dalam RUU Pilkada, pemerintah ingin mewujudkan suatu kompetisi pilkada yang dinamis, namun tetap mengaktualisasikan nilai-nilai kesetaraan, dimana perlu adanya pembatasan bagi seorang calon yang merupakan keturunan atau terdapat ikatan perkawinan dengan kepala daerah petahana,” Dikatakan Menteri Dalam Negeri, Gumawan Fauzi, di Jakarta, (12/6). Gumawan, mampu menjamin suatu kompetisi yang setara, dimana seorang kepala daerah tidak memobilisasi jajaran pemerintah daerah untuk kepentingan dukungan bagi calon yang memiliki darah ” atau punya hubungan perkawinan dengan yang bersangkutan ” . Sementara itu, pengamat politik Universitas Gadjah Mada (UGM), Arie Sudjito, menilai politik dinasti telah merusak regenerasi. Apalagi, bila politik dinasti itu tak mempertimbangkan kapasitas dan kapabilitas.
Penulis adalah Ex-Panwas pilkada 2008, Panwaslu Pileg & Pilpres 2009.
Kabupaten Pasuruan.
Alamat : Jl. Mawar 02 Ledug Prigen Pasuruan
Hp : 081333954053.
DINASTI KEPEMIMPINAN DALAM PEMILU KADA
Oleh : Ki Sonhaji Mutiallah, M. MPd
Pemilihan umum kepala daerah (pemilukada), telah berlangsung di beberapa daerah di Indonesia. Ada kurang lebih 244 daerah yang akan mengggelar pemilukada, Baik itu memilih Gubernur, Bupati, Walikota dan wakilnya. Beberapa problem teknis dalam pemilukada selalu saja terjadi, mulai dari pembentukan penyelenggara pemilu (Panwas dan KPU) yang tidak transparan dan di kondisikan oleh salah satu penguasa, mahalnya pendanaan pilkada, persoalan DPT, money politics, pilkada ulang, kini bertambah lagi satu permasalahan yang sangat ironis sekali di tengah-tengah bangsa Indonesia sedang membangun Demokrasi yang terbuka. Yakni munculnya kerabat penguasa(incumbent) yang ikut dalam pemilukada baik pemilu gubernur, bupati dan walikota, dengan tujuan melestarikan posisi dan kedudukan keluarga besar dari tergusurnya dinasti politik keluarga di ’kerajaan’ daerah.
Munculnya calon-calon kepala daerah yang berasal dari ikatan satu darah atau keluarga dengan pejabat incumbent, tentu akan membawa dampak bagi keberlangsungan pelaksanaan pemilukada di daerah. Lihat faktanya, di Bali Eka Wiryastuti (anak Bupati Tabanan Bali Adi Wiryatama) berkompetisi dalam pemilukada menggantikan bapaknya. Di Lampung Rycko Menoza(anak Gubernur Lampung Sjachroedin) menjadi calon Bupati Lampung Selatan. Di Kabupaten Way Kanan ( putra Bupati Way Kanan Agung Ilmu Mangku negara) mencalonkan diri menggantikan ayahnya. Kemudian Arisandi Dharmawan(anak Bupati Tulang Bawang ) mencalonkan diri menjadi bupati Pesawaran. Di Kota Bandar Lampung Heru Sambodo, (anak Ketua Golkar Lampung Alzier Dianis Tabrani ) membidik kursi wali kota. Di Kepulauan Riau, Aida Nasution (istri Gubernur Ismeth Abdullah) mencalonkan diri menggantikan kursi suaminya. Di Yogyakarta Sri Suryawidati(Istri Bupati Bantul Idham Samawi) tak mau kalah ketinggalan maju menjadi calon bupati meneruskan kursi suami. Di Kalimantan Timur, Awang Ferdian Hidayat, putra gubernur Awang Farouk, mencalonkan diri jadi Bupati Kutai Kartanegara (Kukar), bersaing dengan Rita Widyasari anak mantan Bupati Kukar Syaukani, yang pernah dipenjara karena kasus korupsi yang kemudian dibebaskan karena dianggap mengidap sakit permanen. Pembebasan ini kemudian menuai kontroversi.
Di Propinsi Jawa timur juga terjadi calon kepala daerah yang juga berasal dari ikatan keluarga dengan pejabat penguasa., misalnya di Sidoarjo, mantan Bupati Win Hendarso yang sebelumnya menyiapkan orang dekatnya , Bambang Julianto ( Kepala Dinas PU dan Bina Marga Sidoarjo) maju menjadi cabub menggantikan dirinya. Tapi , Win kelimpungan ketika Bambang meninggal. Akhirnya Win memunculkan nama istrinya sebagai calon yang di jagokan, meskipun istrinya tidak kredibel dan tidak pernah terjun ke politik, akhirnya masyarakat Sidoarjo tidak menjatuhkan pilihan pada istri Bupati, maka gagalah istri bupati memegang tahta kepemimpinan di kabupaten Sidoarjo.
Di kabupaten Kediri ada dua istri (istri tua vs istri muda) yang berebut kursi bupati menggantikan suaminya. Mereka adalah Haryanti dan Nurlaila. Haryanti adalah istri sah dari Bupati Kediri Sutrisno. Dengan statusnya ini Haryati lebih beruntung dari pada Nurlaila, karena lebih banyak dukungan dari suami. Keduanya memang bersaing untuk mencari perhatian sang suami, kalau dulu persaingan dalam merebutkan kasur sedang dalam pemilukada yang direbutkan adalah jabatan bupati. Dalam persaingan kasur tentu bupati lebih memilih Nurlaila karena lebih mudah dan masih kinyis-kinyis, tapi dalam persaingan politik untuk menduduki tahta di Kabupaten Kediri sang suami tidak main-main beliau lebih memilih yang berpengalaman dan kredibel yaitu Istri tuanya, akhirnya Haryantilah yang jadi pemenang pemegang tahta kepemimpinan di Kabupaten kediri.
Di Kabupaten tetangga kita Probolinggo ,sedang berlangsung Pemilukada yang diikuti oleh Istri dari Hasan Aminuddin, Bupati Probolinggo periode 2007 -20012. Hasan memunculkan istrinya , Puput Tantriana Sari atau sering dikenal dengan Tantri Hasan Aminuddin sebagai bakal calon (balon) bupati, begitu juga kakak kandungnya Hafidz Aminuddin ketua DPC PKB Probolinggo maju sebagai balon bupati, sehingga masyarakat Probolinggo menjuluki ”Dinasti Aminuddin”. Majunya istri dan kakak kandung Hasan Aminuddin menjadi perhatian publik di Probolinggo. Dari pengamatan saya munculnya dua candidat bacabup Probolinggo, Istri Hasan Aminuddin dan kakak kandungnya Hafidz Aminuddin akan menguntungkan dan melanggengkan ”Dinasti Aminuddin”, karena bisa memecah suara pemilih di Probolinggo, dan ini adalah bagian dari strategi politik. Tapi, kalau keduanya sama –sama berambisi untuk menjadi yang terkuat, Istri bupati, Tantri Hasan Aminuddin masih yang lebih unggul bila dibandingkan dengan Kakak iparnya. Sebab istri bupati sudah punya dua poin diatas kakak iparnya. karena sudah banyak dikenal di seluruh wilayah probolinggo, selain menjadi ketua Tim penggerak Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Kabupaten Probolinggo, kemanapun suaminya pergi beliaunya selalu mengikuti sehingga penampakan wajahnya sudah tidak asing bagi masyarakat di Probolinggo inilah Promosi “gratis” ini poin pertama. Selain itu trek rekord sang suami sudah tidak di ragukan lagi . Dua kali putaran memimpin Kabupaten Probolinggo dan membawa kemajuan yang cukup pesat bagi Kabupaten Probolinggo. Masyarakat kita masih berpandangan bahwa kesuksesan suami ”Hasan Aminuddin” tidak lepas dari pendampingan sang Istri, inilah poin kedua, yang di kantongi oleh Tantri Hasan Aminudin . Dibandingkan dengan sang Kakak ipar yang masih di bilang pendatang baru, walupun menjadi ketua DPC PKB Probolinggo. Tapi, Hasan Aminuddin harus belajar dari Pemilu kada Kabupaten Pasuruan periode 2008-2013, dimana kuda hitam pasangan Dade Angga –Edy Paripurna (DAdi), yang di dukung oleh Partai PDIP dan partai gurem atau dalam barisan PERISAI yang memenangkan pemilu. Mengalahkan Dua Pasangan, Jusbakir-Joko Cahyono (JUJUR) dan pasangan Muzammil – Jubaidi (JA-DI) . Perlu diketahui bahwa, Jusbakir, Joko, Muzammil, dan Jubaidi adalah tokok sentral di partai PKB, akibatnya dalam Pemilukada 2008-20013, suara PKB pecah jadi dua, maka menanglah si kuda hitam Pasangan Dade Angga- Edy Paripurna. Apakah kasus di pasuruan akan terulang di Kabupaten Probolinggo?. Masyarakat Probolinggo masih mengakui, “Hasan Aminuddin” sebagai Tokoh dari Partai PKB Kabupaten Probolinggo, dan dua kali menjadi bupati Kabupaten Probolinggo juga di berangkatkan dari partai PKB. Walaupun sekarang sudah menjadi ketua NASDEM Propinsi Jawa Timur, beliaunya masih tetap di tokoh kan oleh orang-orang PKB di sana. Tapi, sekarang belianya memunculkan dua orang dekatnya, maka bingunglah masyarakat pemilih yang dulu menggap Hasan Aminuddin itu orang PKB. Mau pilih Kakaknya Hafidz yang merupakan Ketua DPC PKB atau memilih istrinya . Jelas suara masyarakat yang fanatik dengan Bupati Hasan Aminuddin akan terbelah menjadi dua, maka yang di untungkan adalah kuda hitam, yaitu cabub lain.
JABATAN TURUNAN
Fenomena majunya calon kepala daerah yang mempunyai hubungan keluarga dengan pejabat sebelumnya atau incumbent sebenarnya sangat ironis. Hal ini menandakan bahwa kursi kepala daerah adalah jabatan yang menguntungkan, membawa berkah dan bisa dijadikan sarana untuk mengeruk kekayaan serta melanggengkan kekuasaan untuk diturunkan kepada istri, saudara hingga anak-cucu. Karena strategi ini cukup ampuh untuk mempertahankan kekuasaan, sebab bupati yang sudah menjabat dua periode tidak bisa mencalonkan diri lagi karena dibatasi oleh aturan. Maka, jauh-jauh hari sebelum dirinya lengser harus menyiapkan ”penggantinya”. Sebenarnya tidak ada larangan keluarga pejabat incumbent yang ikut dalam bursa pencalonan Gubernur, bupati, walikota, asal kredibel dan kualified . Tapi yang dikhawatirkan adanya penyalahgunaan wewenang dan fasilitas negara untuk tujuan sang calon yang notabene mempunyai hubungan yang sangat erat dengan pejabat incumbent.
Pemilukada saat ini penuh misteri. Di satu sisi , rakyat kian apatis dan tidak peduli sehingga tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilukada cenderung turun. Apatisme masyarakat ini justru dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu meraih jabatan dan kekayaan. Mereka adalah orang-orang yang ingin melanggengkan kekayaan dan kekuasaan agar tetap jatuh kepada garis keluarganya. Ini merupakan problem teknik pemilukada selain, problem transparansi pembentukan penyelenggara pemilu, persoalan DPT, money politik, pilkada ulang dan juga pendanaan dalam pemilu kada. Persaingan antara aristokrat (kerabat penguasa) dalam melestarikan posisi dan kedudukan keluarga besar dari tergusurnya dinasti politik keluarga incumbent.
Regenerasi kepemimpinan politik lokal yang berbasis pada kekerabatan ini lambat tapi pasti akan menggeser isu demokrasi ke aristokrasi. Wacana politik akan kian elitis karena tak ada lagi kompetisi yang seimbang dan fair antara calon orang biasa dan ” orang luar biasa”. Calon yang mempunyai hubungan keluarga dengan incumbent pasti akan lebih diuntungkan ketimbang calon lain.
Menurut Eisenstadt dan Roniger (1984) dalam bukunya Patrons, Clients and Friends: Interpersonal Relations and the structure of trust in Society, ada empat alasan utama mengapa politik kekerabatan lebih disukai elite-elite politik di suatu negara.
Pertama, kepercayaan (trusty) ini lebih disebabkan karena kerabat lebih dipercaya dan tak mungkin berkhianat seperti lazim dilakukan politikus pemburu kekuasaan. Kedua, loyalitas (loyality) kerabat akan jauh memiliki loyalitas tinggi dalam konteks menjalankan semua tugas politik terutama dalam hal menjaga wibawa dan kehormatan kerabat besar ketimbang orang lain. Ketiga, solidaritas (solidarity) kerabat dipastikan jauh memiliki tingkat solidaritas yang tangguh terutama dalam menolong keluarga besar dari kebangkrutan kekuasaan dan kekayaan ketimbang mereka yang bukan dari kalangan kerabat. Keempat, proteksi (protection) ini terkait dengan model mempertahankan gengsi dan kehormatan keluarga besar. Mereka yang berasal dari keluarga yang sama akan cenderung mampu menjaga apa yang telah dimiliki keluarga ketimbang orang lain.
Mewariskan jabatan atau kekuasaan politik secara prosedural melalui pelaksanaan pemilukada, apakah itu kursi gubernur, bupati atau walikota kepada istri, anak, menantu atau saudara yang hanya berputar di kalangan kerabat penguasa (incumbent) tidaklah melanggar hukum, karena tidak diatur dalam UU No. 32 tahun 2004 juncto UU No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur tentang pemilukada. Namun praktek ini jelas melanggar etika politik, kepatuhan, dan norma umum. Karena model ini jelas akan menyumbat regenerasi calon pemimpin politik lokal berdasar pada kompetisi yang fair yang seharusnya bertumpu pada rekam jejak keilmuan, kemampuan dan integritas moral. Jangan sampai pemilukada hanya menjadi ritual demokrasi prosedural untuk melestarikan aristokrasi yang melahirkan raja-raja kecil di ”kerajaan ” daerah.
Diperlukan Proteksi
Untuk itu perlu adanya aturan larangan secara formal, bahwa anggota keluarga, terutama istri dan anak petahana(incumbent) maju mencalonkan diri menjadi gubernur, bupati, walikota dan wakilnya dalam pemilu kada. Pelarangan ini sudah ditegaskan presiden SBY dalam konteks pilkada (jawa pos, 25/6). Pemerintah juga mengusulkan melalui RUU pilkada, tentang pembatasan bagi kerabat petahana untuk maju menjadi calon kepala daerah. Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada akan diatur tegas tentang politik dinasti atau politik kekerabatan. ” Dalam RUU Pilkada, pemerintah ingin mewujudkan suatu kompetisi pilkada yang dinamis, namun tetap mengaktualisasikan nilai-nilai kesetaraan, dimana perlu adanya pembatasan bagi seorang calon yang merupakan keturunan atau terdapat ikatan perkawinan dengan kepala daerah petahana,” Dikatakan Menteri Dalam Negeri, Gumawan Fauzi, di Jakarta, (12/6). Gumawan, mampu menjamin suatu kompetisi yang setara, dimana seorang kepala daerah tidak memobilisasi jajaran pemerintah daerah untuk kepentingan dukungan bagi calon yang memiliki darah ” atau punya hubungan perkawinan dengan yang bersangkutan ” . Sementara itu, pengamat politik Universitas Gadjah Mada (UGM), Arie Sudjito, menilai politik dinasti telah merusak regenerasi. Apalagi, bila politik dinasti itu tak mempertimbangkan kapasitas dan kapabilitas.
Penulis adalah Ex-Panwas pilkada 2008, Panwaslu Pileg & Pilpres 2009.
Kabupaten Pasuruan.
Alamat : Jl. Mawar 02 Ledug Prigen Pasuruan
Hp : 081333954053.
DINASTI KEPEMIMPINAN DALAM PEMILU KADA
Oleh : Ki Sonhaji Mutiallah, M. MPd
Pemilihan umum kepala daerah (pemilukada), telah berlangsung di beberapa daerah di Indonesia. Ada kurang lebih 244 daerah yang akan mengggelar pemilukada, Baik itu memilih Gubernur, Bupati, Walikota dan wakilnya. Beberapa problem teknis dalam pemilukada selalu saja terjadi, mulai dari pembentukan penyelenggara pemilu (Panwas dan KPU) yang tidak transparan dan di kondisikan oleh salah satu penguasa, mahalnya pendanaan pilkada, persoalan DPT, money politics, pilkada ulang, kini bertambah lagi satu permasalahan yang sangat ironis sekali di tengah-tengah bangsa Indonesia sedang membangun Demokrasi yang terbuka. Yakni munculnya kerabat penguasa(incumbent) yang ikut dalam pemilukada baik pemilu gubernur, bupati dan walikota, dengan tujuan melestarikan posisi dan kedudukan keluarga besar dari tergusurnya dinasti politik keluarga di ’kerajaan’ daerah.
Munculnya calon-calon kepala daerah yang berasal dari ikatan satu darah atau keluarga dengan pejabat incumbent, tentu akan membawa dampak bagi keberlangsungan pelaksanaan pemilukada di daerah. Lihat faktanya, di Bali Eka Wiryastuti (anak Bupati Tabanan Bali Adi Wiryatama) berkompetisi dalam pemilukada menggantikan bapaknya. Di Lampung Rycko Menoza(anak Gubernur Lampung Sjachroedin) menjadi calon Bupati Lampung Selatan. Di Kabupaten Way Kanan ( putra Bupati Way Kanan Agung Ilmu Mangku negara) mencalonkan diri menggantikan ayahnya. Kemudian Arisandi Dharmawan(anak Bupati Tulang Bawang ) mencalonkan diri menjadi bupati Pesawaran. Di Kota Bandar Lampung Heru Sambodo, (anak Ketua Golkar Lampung Alzier Dianis Tabrani ) membidik kursi wali kota. Di Kepulauan Riau, Aida Nasution (istri Gubernur Ismeth Abdullah) mencalonkan diri menggantikan kursi suaminya. Di Yogyakarta Sri Suryawidati(Istri Bupati Bantul Idham Samawi) tak mau kalah ketinggalan maju menjadi calon bupati meneruskan kursi suami. Di Kalimantan Timur, Awang Ferdian Hidayat, putra gubernur Awang Farouk, mencalonkan diri jadi Bupati Kutai Kartanegara (Kukar), bersaing dengan Rita Widyasari anak mantan Bupati Kukar Syaukani, yang pernah dipenjara karena kasus korupsi yang kemudian dibebaskan karena dianggap mengidap sakit permanen. Pembebasan ini kemudian menuai kontroversi.
Di Propinsi Jawa timur juga terjadi calon kepala daerah yang juga berasal dari ikatan keluarga dengan pejabat penguasa., misalnya di Sidoarjo, mantan Bupati Win Hendarso yang sebelumnya menyiapkan orang dekatnya , Bambang Julianto ( Kepala Dinas PU dan Bina Marga Sidoarjo) maju menjadi cabub menggantikan dirinya. Tapi , Win kelimpungan ketika Bambang meninggal. Akhirnya Win memunculkan nama istrinya sebagai calon yang di jagokan, meskipun istrinya tidak kredibel dan tidak pernah terjun ke politik, akhirnya masyarakat Sidoarjo tidak menjatuhkan pilihan pada istri Bupati, maka gagalah istri bupati memegang tahta kepemimpinan di kabupaten Sidoarjo.
Di kabupaten Kediri ada dua istri (istri tua vs istri muda) yang berebut kursi bupati menggantikan suaminya. Mereka adalah Haryanti dan Nurlaila. Haryanti adalah istri sah dari Bupati Kediri Sutrisno. Dengan statusnya ini Haryati lebih beruntung dari pada Nurlaila, karena lebih banyak dukungan dari suami. Keduanya memang bersaing untuk mencari perhatian sang suami, kalau dulu persaingan dalam merebutkan kasur sedang dalam pemilukada yang direbutkan adalah jabatan bupati. Dalam persaingan kasur tentu bupati lebih memilih Nurlaila karena lebih mudah dan masih kinyis-kinyis, tapi dalam persaingan politik untuk menduduki tahta di Kabupaten Kediri sang suami tidak main-main beliau lebih memilih yang berpengalaman dan kredibel yaitu Istri tuanya, akhirnya Haryantilah yang jadi pemenang pemegang tahta kepemimpinan di Kabupaten kediri.
Di Kabupaten tetangga kita Probolinggo ,sedang berlangsung Pemilukada yang diikuti oleh Istri dari Hasan Aminuddin, Bupati Probolinggo periode 2007 -20012. Hasan memunculkan istrinya , Puput Tantriana Sari atau sering dikenal dengan Tantri Hasan Aminuddin sebagai bakal calon (balon) bupati, begitu juga kakak kandungnya Hafidz Aminuddin ketua DPC PKB Probolinggo maju sebagai balon bupati, sehingga masyarakat Probolinggo menjuluki ”Dinasti Aminuddin”. Majunya istri dan kakak kandung Hasan Aminuddin menjadi perhatian publik di Probolinggo. Dari pengamatan saya munculnya dua candidat bacabup Probolinggo, Istri Hasan Aminuddin dan kakak kandungnya Hafidz Aminuddin akan menguntungkan dan melanggengkan ”Dinasti Aminuddin”, karena bisa memecah suara pemilih di Probolinggo, dan ini adalah bagian dari strategi politik. Tapi, kalau keduanya sama –sama berambisi untuk menjadi yang terkuat, Istri bupati, Tantri Hasan Aminuddin masih yang lebih unggul bila dibandingkan dengan Kakak iparnya. Sebab istri bupati sudah punya dua poin diatas kakak iparnya. karena sudah banyak dikenal di seluruh wilayah probolinggo, selain menjadi ketua Tim penggerak Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Kabupaten Probolinggo, kemanapun suaminya pergi beliaunya selalu mengikuti sehingga penampakan wajahnya sudah tidak asing bagi masyarakat di Probolinggo inilah Promosi “gratis” ini poin pertama. Selain itu trek rekord sang suami sudah tidak di ragukan lagi . Dua kali putaran memimpin Kabupaten Probolinggo dan membawa kemajuan yang cukup pesat bagi Kabupaten Probolinggo. Masyarakat kita masih berpandangan bahwa kesuksesan suami ”Hasan Aminuddin” tidak lepas dari pendampingan sang Istri, inilah poin kedua, yang di kantongi oleh Tantri Hasan Aminudin . Dibandingkan dengan sang Kakak ipar yang masih di bilang pendatang baru, walupun menjadi ketua DPC PKB Probolinggo. Tapi, Hasan Aminuddin harus belajar dari Pemilu kada Kabupaten Pasuruan periode 2008-2013, dimana kuda hitam pasangan Dade Angga –Edy Paripurna (DAdi), yang di dukung oleh Partai PDIP dan partai gurem atau dalam barisan PERISAI yang memenangkan pemilu. Mengalahkan Dua Pasangan, Jusbakir-Joko Cahyono (JUJUR) dan pasangan Muzammil – Jubaidi (JA-DI) . Perlu diketahui bahwa, Jusbakir, Joko, Muzammil, dan Jubaidi adalah tokok sentral di partai PKB, akibatnya dalam Pemilukada 2008-20013, suara PKB pecah jadi dua, maka menanglah si kuda hitam Pasangan Dade Angga- Edy Paripurna. Apakah kasus di pasuruan akan terulang di Kabupaten Probolinggo?. Masyarakat Probolinggo masih mengakui, “Hasan Aminuddin” sebagai Tokoh dari Partai PKB Kabupaten Probolinggo, dan dua kali menjadi bupati Kabupaten Probolinggo juga di berangkatkan dari partai PKB. Walaupun sekarang sudah menjadi ketua NASDEM Propinsi Jawa Timur, beliaunya masih tetap di tokoh kan oleh orang-orang PKB di sana. Tapi, sekarang belianya memunculkan dua orang dekatnya, maka bingunglah masyarakat pemilih yang dulu menggap Hasan Aminuddin itu orang PKB. Mau pilih Kakaknya Hafidz yang merupakan Ketua DPC PKB atau memilih istrinya . Jelas suara masyarakat yang fanatik dengan Bupati Hasan Aminuddin akan terbelah menjadi dua, maka yang di untungkan adalah kuda hitam, yaitu cabub lain.
JABATAN TURUNAN
Fenomena majunya calon kepala daerah yang mempunyai hubungan keluarga dengan pejabat sebelumnya atau incumbent sebenarnya sangat ironis. Hal ini menandakan bahwa kursi kepala daerah adalah jabatan yang menguntungkan, membawa berkah dan bisa dijadikan sarana untuk mengeruk kekayaan serta melanggengkan kekuasaan untuk diturunkan kepada istri, saudara hingga anak-cucu. Karena strategi ini cukup ampuh untuk mempertahankan kekuasaan, sebab bupati yang sudah menjabat dua periode tidak bisa mencalonkan diri lagi karena dibatasi oleh aturan. Maka, jauh-jauh hari sebelum dirinya lengser harus menyiapkan ”penggantinya”. Sebenarnya tidak ada larangan keluarga pejabat incumbent yang ikut dalam bursa pencalonan Gubernur, bupati, walikota, asal kredibel dan kualified . Tapi yang dikhawatirkan adanya penyalahgunaan wewenang dan fasilitas negara untuk tujuan sang calon yang notabene mempunyai hubungan yang sangat erat dengan pejabat incumbent.
Pemilukada saat ini penuh misteri. Di satu sisi , rakyat kian apatis dan tidak peduli sehingga tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilukada cenderung turun. Apatisme masyarakat ini justru dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu meraih jabatan dan kekayaan. Mereka adalah orang-orang yang ingin melanggengkan kekayaan dan kekuasaan agar tetap jatuh kepada garis keluarganya. Ini merupakan problem teknik pemilukada selain, problem transparansi pembentukan penyelenggara pemilu, persoalan DPT, money politik, pilkada ulang dan juga pendanaan dalam pemilu kada. Persaingan antara aristokrat (kerabat penguasa) dalam melestarikan posisi dan kedudukan keluarga besar dari tergusurnya dinasti politik keluarga incumbent.
Regenerasi kepemimpinan politik lokal yang berbasis pada kekerabatan ini lambat tapi pasti akan menggeser isu demokrasi ke aristokrasi. Wacana politik akan kian elitis karena tak ada lagi kompetisi yang seimbang dan fair antara calon orang biasa dan ” orang luar biasa”. Calon yang mempunyai hubungan keluarga dengan incumbent pasti akan lebih diuntungkan ketimbang calon lain.
Menurut Eisenstadt dan Roniger (1984) dalam bukunya Patrons, Clients and Friends: Interpersonal Relations and the structure of trust in Society, ada empat alasan utama mengapa politik kekerabatan lebih disukai elite-elite politik di suatu negara.
Pertama, kepercayaan (trusty) ini lebih disebabkan karena kerabat lebih dipercaya dan tak mungkin berkhianat seperti lazim dilakukan politikus pemburu kekuasaan. Kedua, loyalitas (loyality) kerabat akan jauh memiliki loyalitas tinggi dalam konteks menjalankan semua tugas politik terutama dalam hal menjaga wibawa dan kehormatan kerabat besar ketimbang orang lain. Ketiga, solidaritas (solidarity) kerabat dipastikan jauh memiliki tingkat solidaritas yang tangguh terutama dalam menolong keluarga besar dari kebangkrutan kekuasaan dan kekayaan ketimbang mereka yang bukan dari kalangan kerabat. Keempat, proteksi (protection) ini terkait dengan model mempertahankan gengsi dan kehormatan keluarga besar. Mereka yang berasal dari keluarga yang sama akan cenderung mampu menjaga apa yang telah dimiliki keluarga ketimbang orang lain.
Mewariskan jabatan atau kekuasaan politik secara prosedural melalui pelaksanaan pemilukada, apakah itu kursi gubernur, bupati atau walikota kepada istri, anak, menantu atau saudara yang hanya berputar di kalangan kerabat penguasa (incumbent) tidaklah melanggar hukum, karena tidak diatur dalam UU No. 32 tahun 2004 juncto UU No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur tentang pemilukada. Namun praktek ini jelas melanggar etika politik, kepatuhan, dan norma umum. Karena model ini jelas akan menyumbat regenerasi calon pemimpin politik lokal berdasar pada kompetisi yang fair yang seharusnya bertumpu pada rekam jejak keilmuan, kemampuan dan integritas moral. Jangan sampai pemilukada hanya menjadi ritual demokrasi prosedural untuk melestarikan aristokrasi yang melahirkan raja-raja kecil di ”kerajaan ” daerah.
Diperlukan Proteksi
Untuk itu perlu adanya aturan larangan secara formal, bahwa anggota keluarga, terutama istri dan anak petahana(incumbent) maju mencalonkan diri menjadi gubernur, bupati, walikota dan wakilnya dalam pemilu kada. Pelarangan ini sudah ditegaskan presiden SBY dalam konteks pilkada (jawa pos, 25/6). Pemerintah juga mengusulkan melalui RUU pilkada, tentang pembatasan bagi kerabat petahana untuk maju menjadi calon kepala daerah. Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada akan diatur tegas tentang politik dinasti atau politik kekerabatan. ” Dalam RUU Pilkada, pemerintah ingin mewujudkan suatu kompetisi pilkada yang dinamis, namun tetap mengaktualisasikan nilai-nilai kesetaraan, dimana perlu adanya pembatasan bagi seorang calon yang merupakan keturunan atau terdapat ikatan perkawinan dengan kepala daerah petahana,” Dikatakan Menteri Dalam Negeri, Gumawan Fauzi, di Jakarta, (12/6). Gumawan, mampu menjamin suatu kompetisi yang setara, dimana seorang kepala daerah tidak memobilisasi jajaran pemerintah daerah untuk kepentingan dukungan bagi calon yang memiliki darah ” atau punya hubungan perkawinan dengan yang bersangkutan ” . Sementara itu, pengamat politik Universitas Gadjah Mada (UGM), Arie Sudjito, menilai politik dinasti telah merusak regenerasi. Apalagi, bila politik dinasti itu tak mempertimbangkan kapasitas dan kapabilitas.
Penulis adalah Ex-Panwas pilkada 2008, Panwaslu Pileg & Pilpres 2009.
Kabupaten Pasuruan.
Alamat : Jl. Mawar 02 Ledug Prigen Pasuruan
Hp : 081333954053.
DINASTI KEPEMIMPINAN DALAM PEMILU KADA
Oleh : Ki Sonhaji Mutiallah, M. MPd
Pemilihan umum kepala daerah (pemilukada), telah berlangsung di beberapa daerah di Indonesia. Ada kurang lebih 244 daerah yang akan mengggelar pemilukada, Baik itu memilih Gubernur, Bupati, Walikota dan wakilnya. Beberapa problem teknis dalam pemilukada selalu saja terjadi, mulai dari pembentukan penyelenggara pemilu (Panwas dan KPU) yang tidak transparan dan di kondisikan oleh salah satu penguasa, mahalnya pendanaan pilkada, persoalan DPT, money politics, pilkada ulang, kini bertambah lagi satu permasalahan yang sangat ironis sekali di tengah-tengah bangsa Indonesia sedang membangun Demokrasi yang terbuka. Yakni munculnya kerabat penguasa(incumbent) yang ikut dalam pemilukada baik pemilu gubernur, bupati dan walikota, dengan tujuan melestarikan posisi dan kedudukan keluarga besar dari tergusurnya dinasti politik keluarga di ’kerajaan’ daerah.
Munculnya calon-calon kepala daerah yang berasal dari ikatan satu darah atau keluarga dengan pejabat incumbent, tentu akan membawa dampak bagi keberlangsungan pelaksanaan pemilukada di daerah. Lihat faktanya, di Bali Eka Wiryastuti (anak Bupati Tabanan Bali Adi Wiryatama) berkompetisi dalam pemilukada menggantikan bapaknya. Di Lampung Rycko Menoza(anak Gubernur Lampung Sjachroedin) menjadi calon Bupati Lampung Selatan. Di Kabupaten Way Kanan ( putra Bupati Way Kanan Agung Ilmu Mangku negara) mencalonkan diri menggantikan ayahnya. Kemudian Arisandi Dharmawan(anak Bupati Tulang Bawang ) mencalonkan diri menjadi bupati Pesawaran. Di Kota Bandar Lampung Heru Sambodo, (anak Ketua Golkar Lampung Alzier Dianis Tabrani ) membidik kursi wali kota. Di Kepulauan Riau, Aida Nasution (istri Gubernur Ismeth Abdullah) mencalonkan diri menggantikan kursi suaminya. Di Yogyakarta Sri Suryawidati(Istri Bupati Bantul Idham Samawi) tak mau kalah ketinggalan maju menjadi calon bupati meneruskan kursi suami. Di Kalimantan Timur, Awang Ferdian Hidayat, putra gubernur Awang Farouk, mencalonkan diri jadi Bupati Kutai Kartanegara (Kukar), bersaing dengan Rita Widyasari anak mantan Bupati Kukar Syaukani, yang pernah dipenjara karena kasus korupsi yang kemudian dibebaskan karena dianggap mengidap sakit permanen. Pembebasan ini kemudian menuai kontroversi.
Di Propinsi Jawa timur juga terjadi calon kepala daerah yang juga berasal dari ikatan keluarga dengan pejabat penguasa., misalnya di Sidoarjo, mantan Bupati Win Hendarso yang sebelumnya menyiapkan orang dekatnya , Bambang Julianto ( Kepala Dinas PU dan Bina Marga Sidoarjo) maju menjadi cabub menggantikan dirinya. Tapi , Win kelimpungan ketika Bambang meninggal. Akhirnya Win memunculkan nama istrinya sebagai calon yang di jagokan, meskipun istrinya tidak kredibel dan tidak pernah terjun ke politik, akhirnya masyarakat Sidoarjo tidak menjatuhkan pilihan pada istri Bupati, maka gagalah istri bupati memegang tahta kepemimpinan di kabupaten Sidoarjo.
Di kabupaten Kediri ada dua istri (istri tua vs istri muda) yang berebut kursi bupati menggantikan suaminya. Mereka adalah Haryanti dan Nurlaila. Haryanti adalah istri sah dari Bupati Kediri Sutrisno. Dengan statusnya ini Haryati lebih beruntung dari pada Nurlaila, karena lebih banyak dukungan dari suami. Keduanya memang bersaing untuk mencari perhatian sang suami, kalau dulu persaingan dalam merebutkan kasur sedang dalam pemilukada yang direbutkan adalah jabatan bupati. Dalam persaingan kasur tentu bupati lebih memilih Nurlaila karena lebih mudah dan masih kinyis-kinyis, tapi dalam persaingan politik untuk menduduki tahta di Kabupaten Kediri sang suami tidak main-main beliau lebih memilih yang berpengalaman dan kredibel yaitu Istri tuanya, akhirnya Haryantilah yang jadi pemenang pemegang tahta kepemimpinan di Kabupaten kediri.
Di Kabupaten tetangga kita Probolinggo ,sedang berlangsung Pemilukada yang diikuti oleh Istri dari Hasan Aminuddin, Bupati Probolinggo periode 2007 -20012. Hasan memunculkan istrinya , Puput Tantriana Sari atau sering dikenal dengan Tantri Hasan Aminuddin sebagai bakal calon (balon) bupati, begitu juga kakak kandungnya Hafidz Aminuddin ketua DPC PKB Probolinggo maju sebagai balon bupati, sehingga masyarakat Probolinggo menjuluki ”Dinasti Aminuddin”. Majunya istri dan kakak kandung Hasan Aminuddin menjadi perhatian publik di Probolinggo. Dari pengamatan saya munculnya dua candidat bacabup Probolinggo, Istri Hasan Aminuddin dan kakak kandungnya Hafidz Aminuddin akan menguntungkan dan melanggengkan ”Dinasti Aminuddin”, karena bisa memecah suara pemilih di Probolinggo, dan ini adalah bagian dari strategi politik. Tapi, kalau keduanya sama –sama berambisi untuk menjadi yang terkuat, Istri bupati, Tantri Hasan Aminuddin masih yang lebih unggul bila dibandingkan dengan Kakak iparnya. Sebab istri bupati sudah punya dua poin diatas kakak iparnya. karena sudah banyak dikenal di seluruh wilayah probolinggo, selain menjadi ketua Tim penggerak Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Kabupaten Probolinggo, kemanapun suaminya pergi beliaunya selalu mengikuti sehingga penampakan wajahnya sudah tidak asing bagi masyarakat di Probolinggo inilah Promosi “gratis” ini poin pertama. Selain itu trek rekord sang suami sudah tidak di ragukan lagi . Dua kali putaran memimpin Kabupaten Probolinggo dan membawa kemajuan yang cukup pesat bagi Kabupaten Probolinggo. Masyarakat kita masih berpandangan bahwa kesuksesan suami ”Hasan Aminuddin” tidak lepas dari pendampingan sang Istri, inilah poin kedua, yang di kantongi oleh Tantri Hasan Aminudin . Dibandingkan dengan sang Kakak ipar yang masih di bilang pendatang baru, walupun menjadi ketua DPC PKB Probolinggo. Tapi, Hasan Aminuddin harus belajar dari Pemilu kada Kabupaten Pasuruan periode 2008-2013, dimana kuda hitam pasangan Dade Angga –Edy Paripurna (DAdi), yang di dukung oleh Partai PDIP dan partai gurem atau dalam barisan PERISAI yang memenangkan pemilu. Mengalahkan Dua Pasangan, Jusbakir-Joko Cahyono (JUJUR) dan pasangan Muzammil – Jubaidi (JA-DI) . Perlu diketahui bahwa, Jusbakir, Joko, Muzammil, dan Jubaidi adalah tokok sentral di partai PKB, akibatnya dalam Pemilukada 2008-20013, suara PKB pecah jadi dua, maka menanglah si kuda hitam Pasangan Dade Angga- Edy Paripurna. Apakah kasus di pasuruan akan terulang di Kabupaten Probolinggo?. Masyarakat Probolinggo masih mengakui, “Hasan Aminuddin” sebagai Tokoh dari Partai PKB Kabupaten Probolinggo, dan dua kali menjadi bupati Kabupaten Probolinggo juga di berangkatkan dari partai PKB. Walaupun sekarang sudah menjadi ketua NASDEM Propinsi Jawa Timur, beliaunya masih tetap di tokoh kan oleh orang-orang PKB di sana. Tapi, sekarang belianya memunculkan dua orang dekatnya, maka bingunglah masyarakat pemilih yang dulu menggap Hasan Aminuddin itu orang PKB. Mau pilih Kakaknya Hafidz yang merupakan Ketua DPC PKB atau memilih istrinya . Jelas suara masyarakat yang fanatik dengan Bupati Hasan Aminuddin akan terbelah menjadi dua, maka yang di untungkan adalah kuda hitam, yaitu cabub lain.
JABATAN TURUNAN
Fenomena majunya calon kepala daerah yang mempunyai hubungan keluarga dengan pejabat sebelumnya atau incumbent sebenarnya sangat ironis. Hal ini menandakan bahwa kursi kepala daerah adalah jabatan yang menguntungkan, membawa berkah dan bisa dijadikan sarana untuk mengeruk kekayaan serta melanggengkan kekuasaan untuk diturunkan kepada istri, saudara hingga anak-cucu. Karena strategi ini cukup ampuh untuk mempertahankan kekuasaan, sebab bupati yang sudah menjabat dua periode tidak bisa mencalonkan diri lagi karena dibatasi oleh aturan. Maka, jauh-jauh hari sebelum dirinya lengser harus menyiapkan ”penggantinya”. Sebenarnya tidak ada larangan keluarga pejabat incumbent yang ikut dalam bursa pencalonan Gubernur, bupati, walikota, asal kredibel dan kualified . Tapi yang dikhawatirkan adanya penyalahgunaan wewenang dan fasilitas negara untuk tujuan sang calon yang notabene mempunyai hubungan yang sangat erat dengan pejabat incumbent.
Pemilukada saat ini penuh misteri. Di satu sisi , rakyat kian apatis dan tidak peduli sehingga tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilukada cenderung turun. Apatisme masyarakat ini justru dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu meraih jabatan dan kekayaan. Mereka adalah orang-orang yang ingin melanggengkan kekayaan dan kekuasaan agar tetap jatuh kepada garis keluarganya. Ini merupakan problem teknik pemilukada selain, problem transparansi pembentukan penyelenggara pemilu, persoalan DPT, money politik, pilkada ulang dan juga pendanaan dalam pemilu kada. Persaingan antara aristokrat (kerabat penguasa) dalam melestarikan posisi dan kedudukan keluarga besar dari tergusurnya dinasti politik keluarga incumbent.
Regenerasi kepemimpinan politik lokal yang berbasis pada kekerabatan ini lambat tapi pasti akan menggeser isu demokrasi ke aristokrasi. Wacana politik akan kian elitis karena tak ada lagi kompetisi yang seimbang dan fair antara calon orang biasa dan ” orang luar biasa”. Calon yang mempunyai hubungan keluarga dengan incumbent pasti akan lebih diuntungkan ketimbang calon lain.
Menurut Eisenstadt dan Roniger (1984) dalam bukunya Patrons, Clients and Friends: Interpersonal Relations and the structure of trust in Society, ada empat alasan utama mengapa politik kekerabatan lebih disukai elite-elite politik di suatu negara.
Pertama, kepercayaan (trusty) ini lebih disebabkan karena kerabat lebih dipercaya dan tak mungkin berkhianat seperti lazim dilakukan politikus pemburu kekuasaan. Kedua, loyalitas (loyality) kerabat akan jauh memiliki loyalitas tinggi dalam konteks menjalankan semua tugas politik terutama dalam hal menjaga wibawa dan kehormatan kerabat besar ketimbang orang lain. Ketiga, solidaritas (solidarity) kerabat dipastikan jauh memiliki tingkat solidaritas yang tangguh terutama dalam menolong keluarga besar dari kebangkrutan kekuasaan dan kekayaan ketimbang mereka yang bukan dari kalangan kerabat. Keempat, proteksi (protection) ini terkait dengan model mempertahankan gengsi dan kehormatan keluarga besar. Mereka yang berasal dari keluarga yang sama akan cenderung mampu menjaga apa yang telah dimiliki keluarga ketimbang orang lain.
Mewariskan jabatan atau kekuasaan politik secara prosedural melalui pelaksanaan pemilukada, apakah itu kursi gubernur, bupati atau walikota kepada istri, anak, menantu atau saudara yang hanya berputar di kalangan kerabat penguasa (incumbent) tidaklah melanggar hukum, karena tidak diatur dalam UU No. 32 tahun 2004 juncto UU No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur tentang pemilukada. Namun praktek ini jelas melanggar etika politik, kepatuhan, dan norma umum. Karena model ini jelas akan menyumbat regenerasi calon pemimpin politik lokal berdasar pada kompetisi yang fair yang seharusnya bertumpu pada rekam jejak keilmuan, kemampuan dan integritas moral. Jangan sampai pemilukada hanya menjadi ritual demokrasi prosedural untuk melestarikan aristokrasi yang melahirkan raja-raja kecil di ”kerajaan ” daerah.
Diperlukan Proteksi
Untuk itu perlu adanya aturan larangan secara formal, bahwa anggota keluarga, terutama istri dan anak petahana(incumbent) maju mencalonkan diri menjadi gubernur, bupati, walikota dan wakilnya dalam pemilu kada. Pelarangan ini sudah ditegaskan presiden SBY dalam konteks pilkada (jawa pos, 25/6). Pemerintah juga mengusulkan melalui RUU pilkada, tentang pembatasan bagi kerabat petahana untuk maju menjadi calon kepala daerah. Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada akan diatur tegas tentang politik dinasti atau politik kekerabatan. ” Dalam RUU Pilkada, pemerintah ingin mewujudkan suatu kompetisi pilkada yang dinamis, namun tetap mengaktualisasikan nilai-nilai kesetaraan, dimana perlu adanya pembatasan bagi seorang calon yang merupakan keturunan atau terdapat ikatan perkawinan dengan kepala daerah petahana,” Dikatakan Menteri Dalam Negeri, Gumawan Fauzi, di Jakarta, (12/6). Gumawan, mampu menjamin suatu kompetisi yang setara, dimana seorang kepala daerah tidak memobilisasi jajaran pemerintah daerah untuk kepentingan dukungan bagi calon yang memiliki darah ” atau punya hubungan perkawinan dengan yang bersangkutan ” . Sementara itu, pengamat politik Universitas Gadjah Mada (UGM), Arie Sudjito, menilai politik dinasti telah merusak regenerasi. Apalagi, bila politik dinasti itu tak mempertimbangkan kapasitas dan kapabilitas.
Penulis adalah Ex-Panwas pilkada 2008, Panwaslu Pileg & Pilpres 2009.
Kabupaten Pasuruan.
Alamat : Jl. Mawar 02 Ledug Prigen Pasuruan
Hp : 081333954053.