Category: Macam-macam


TAMANSISWA PRIGEN BERDUKA

Innalillahi wa inna lillahi rojiun… telah berpulang ke Rahmatulloh Guru besar Ki. Muchtar As, S.Pd Perguruan Tamansiswa Prigen pada hari jum’at 7 September 2012 pukul 12.15 WIB. Beliau merupakan guru senior yang ikut membesarkan nama Tamansiswa Prigen ini, jasa beliau mungkin takkan bisa dinilai dg apapun, karena beliau mengabdi ke Perguruan Tamansiswa Prigen dengan suka duka mulai dari nol sampai sekarang ini. Sungguh tak ada seorangpun yang mampu menandingi beliau di Perguruan Tamansiswa.

Selama perjalanan karier beliau Tamansiswa Prigen ini, beliau selalu menerapkan kedisplinan yang menurut saya sangat baik, dan beliau juga sudah mencetak generasi siswa yang boleh dibilang sukses terutama dalam bidang sepak bola, karena beliaulah tumbuh generasi bangsa yang patut dibanggakan oleh kami di Perguruan Tamansiswa Prigen. Beliau termasuk orang yang penyanyang kepada anak didiknya walau terkadang agak keras, tapi semua itu demi kebaikan sang murid tersebut. Selain itu beliau merupakan Pribadi yang punya semangat tinggi, walau sakit beliau selalu berusaha untuk ke sekolah demi untuk mendidik siswanya. Boleh saya simpulkan bahwa beliaulah sang Patriot Pendidikan Perguruan Tamansiswa Prigen.

Kini sebagai pengganti beliau di Perguruan Tamansiswa Prigen , ditunjuklah M. Saifin Nuha yang biasa dipanggil mas Novi, dia merupakan anak dari Ki. Muchtar, As, S.Pd. Tak ada lagi senyuman pak Muchtar di Perguruan Tamansiswa Prigen, Beliau sudah menghadap Allah S.W.T.  Semoga beliau berada ditempat terbaik disisi-NYA, Jasa-jasa dan perjuangan Ki. Muchtar, As, S.Pd akan kami lanjutkan, Selamat Jalan Pak Muchtar… kami akan selalu mengenang dan meneruskan perjuangan-perjuanganmu…

Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

PUASA RAMADHAN MEMBENTUK KARAKTER ANAK BANGSA

OLEH : KI. SONHAJI MUTIALLAH, M. MPd

(Diterbitkan Radar bromo, 28 Juli 2012)

Banyak pihak yang menilai bahwa proses pendidikan di Indonesia saat ini kurang memberi penekanan terhadap pembentukan karakter siswa. Pendidikan di Indonesia  masih dianggap lebih menekankan aspek kognitif semata. Munculnya berbagai peyimpangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini  ditengarai produk dari pola pendidikan yang mengabaikan pembangunan karakter peserta didik. Tentu saja penilaian ini dirasakan kurang adil karena  banyak faktor terkait dengan pembentukan karakter seorang anak. Namun demikian bagi lembaga pendidikan tentunya penilaian semacam ini dapat menjadi kritik guna melakukan  pembenahan  pola didik terhadap siswa. Kementrian Negara Pemuda dan Olahraga(kemenegpora) telah menggulirkan program pembangunan karakter. Program ini difokuskan pada pendidikan karakter bagi generasi muda di Indonesia. Bahkan kemenegpora mengucurkan anggaran sekitar 10 miliar untuk pelaksanaan program itu, baik di tingkat pusat maupun di daerah. Pemerintah merasa prihatin karena dewasa ini pendidikan karakter seringkali dilupakan. Akibatnya muncul berbagai permasalahan sosial seperti kenakalan remaja, korupsi, kasus SARA, kemiskinan dan sebagainya.

Namun, berbicara masalah karakter seperti kita manaiki tangga yang tidak berujung dengan membawa beban yang berat. Artinya, tugas untuk membangun karakter ini tidak pernah selesai melainkan harus selalu diulang, diingatkan dan dibina terus-menerus dan perlu keteladanan semua pihak, baik orangtua, guru, dan masyarakat.

Membangun karakter idealnya dimulai dari usia dini karena pada usia seperti itu pemahaman konsep dan penanaman nilai mudah diberikan dan anak belum banyak terpengaruh oleh polusi lingkungan sekitarnya.

Karakter seseorang secara umum dapat terwujud dalam perilaku cerdas, jujur, peduli, dan tangguh. Kecerdasan seorang anak akan terlihat ketika dapat mengamati perbedaan maupun fakta yang ada di sekitarnya. Intinya kecerdasan adalah kemampuan untuk mengamati dan membuat analisa dari setiap masalah yang dihadapi. Kecerdasan merupakan hasil dari olah cipta seseorang.

Aspek jujur dalam perilaku anak adalah berani berkata apa adanya dan berpikir lurus. Keteladanan orangtua sangat penting karena anak sudah terbiasa berkata dan berperilaku jujur sejak dari rumah. Aspek jujur ini merupakan hasil dari olah karsa yang dimiliki seorang anak.

Seorang anak yang memiliki sifat peduli sangat disenangi teman-temannya karena anak tersebut memiliki tingkat perhatian yang tinggi dan mau berbagi kesenangan dengan sesama. Anak harus dilatih untuk memiliki sifat empati artinya ikut merasakan apa yang orang lain rasakan. Aspek peduli ini merupakan pengembangan dari olah rasa seorang anak.

Disamping itu, anak harus dibina untuk berani mengatakan sesuatu dan tidak cengeng serta tidak terlalu banyak menuntut tapi bisa berprestasi. Aspek yang demikian memiliki ketangguhan yang merupakan hasil dari olah rasa pada diri anak. Kita percaya dengan membangun karakter yang baik sejak dini akan menumbuhkan generasi yang smart, amanah dan dapat membawa bangsa ini menuju yang lebih baik.

Bulan Ramadhan tampaknya momen yang baik bagi sekolah guna menyelenggarakan kegiatan yang dapat membangun karakter positif siswa. Salah satu kegiatan yang rutin di bulan Ramadhan adalah Pesantren kilat atau Pondok Ramadhan. Pada acara Pondok Ramadhan ini diisi dengan kegiatan keagamaan, mulai shalat , tadarus/ baca alquran, cerama agama oleh guru agama di sekolah atau mendatangkan Ustat  dari luar sekolah, lomba membuat kaligrafi, puisi, cerdas –cermat dan banyak lagi kegiatan lain yang bernuansa islami yang kreatif dan mendidik. Melalui Pesantren kilat guru dapat memasukkan nilai-nilai positif kepada siswa. Keterlibatan guru dalam kegiatan inidapat menjadi  motivasi untuk meningkatkan kompetensi kepribadian dan sosial sehingga menjadi sosok yang pantas  menjadi teladan bagi siswanya.

Di bulan Ramadhan dengan berpuasa  siswa diajak meningkatkan rasa empati dan simpati kepada sesama yang nasibnya belum beruntung. Bukankah dengan berpuasa mereka juga merasakan bagaimana rasanya hidup dalam kekurangan. Dengan demikian diharapakan tumbuh dalam diri siswa  kepekaan sosial untuk saling berbagi. Melalui puasa, siswa diajak agar mempunya kepribadian yang sabar, tahan terhadap godaan dan menjunjung tinggi kejujuran.

Penanaman sikap toleransi di bulan Ramadhan tentunya sangat diperlukan. Siswa yang tidak menjalankan ibadah puasa menghormati kepada siswa yang berpuasa. Sebaliknya siswa yang berpuasa hendaknya tidak mencela kepada siswa yang tidak berpuasa  karena alasan keyakinan atau alasan lainnya.  Di sini sikap saling menghormati , toleransi dan cinta damai selalu dibina.

Munculnya sikap-sikap merasa benar sendiri, menganggap orang yang tidak sepaham sebagai lawan yang layak diperangi  perlu diwaspadai oleh para guru. Melalui penanaman nilai-nilai agama secara benar dan kesadaran tentang adanya keberagaman dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat, siswa diajak untuk lebih toleran dan cinta damai.

Di akhir Ramadhan sekolah dapat  menyelenggarakan kegiatan pembagian zakat fitrah dengan melibatkan siswa. Melalui kegiatan ini siswa di asah kecerdasan sosialnya. Sikap kasih sayang, peduli terhadap sesama perlu ditunjukkan dengan kegiatan nyata. Dengan melibatkan siswa dalam pengumpulan dan pembagian zakat fitrah siswa belajar bagaimana mereka berinteraksi sosial terhadap lingkungan di sekitar sekolah. Dalam kegiatan ini siswa juga dilatih mengorganisasi sebuah kegiatan sosial kegamaan dan mendalami kehidupan sesama yang kurang  mampu.

Bagi sekolah tampaknya tidak sepantasnya bulan Ramadhan berlalu begitu saja tanpa kegiatan yang  yang bermanfaat. Bulan Ramamadhan merupakan momen yang tepat sekolah melakukan kegiatan-kegiatan yang mampu memperbaiaki karakter siswa.

Allah dengan sengaja mendesain ibadah puasa sebagai wadah untuk riyadhah(pelatihan); artinya melatih diri untuk dapat menghindar dari sikap, sifat dan perbuatan yang dibenci Allah. Tujuan utama dari puasa ini yaitu menjadikan insan takwa.Takwa adalah perbuatan hamba yang senantiasa menjaga dirinya dari kemarahan/azab Allah. Takwa merupakan buah keimanan yang tulus dan ikhlas kepada Allah disertai dengan amal shalih sehingga masuk kategori muflihun(orang-orang yang beruntung) bukan khasirun (kelompok yang merugi).

Karakteristik orang bertakwa disebutkan lagi dengan rinci dalam firman-Nya QS. Al-Baqarah:177. ” bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” Bahwa yang dikatakan takwa kepada Allah itu tidak cukup dengan sekedar melaksanakan shalat, namun diiringi dengan perbuatan baik atau kebajikan seperti bunyi ayat di atas. Yang demikianlah yang disebut dengan orang yang memiliki karakter Qurani.

Mudah-mudahan dengan Puasa Ramadhan akan tumbuh  anak bangsa yang berkarakter positif dan berkarakter Qurani yang nantinya diharapkan mampu membawa bangsa ini kepada bangsa yang bermartabat. Bangsa yang menjunjung tinggi kejujuran, toleransi, anti korupsi dan cinta damai.

 

Penulis

Kepala sekolah SMP Taman Dewasa Prigen

Hp: 081333954053

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DINASTI KEPEMIMPINAN DALAM PEMILU KADA

Oleh : Ki Sonhaji Mutiallah, M. MPd

Pemilihan umum kepala daerah (pemilukada), telah berlangsung di beberapa daerah di Indonesia. Ada kurang lebih 244 daerah yang akan mengggelar pemilukada, Baik itu memilih Gubernur, Bupati, Walikota dan wakilnya. Beberapa problem teknis dalam pemilukada selalu saja terjadi, mulai dari pembentukan penyelenggara pemilu (Panwas dan KPU) yang tidak transparan  dan di kondisikan oleh salah satu penguasa, mahalnya pendanaan pilkada, persoalan DPT, money politics, pilkada ulang, kini bertambah lagi satu permasalahan yang sangat ironis sekali di tengah-tengah bangsa Indonesia sedang membangun Demokrasi yang terbuka. Yakni munculnya kerabat penguasa(incumbent) yang ikut dalam pemilukada baik pemilu gubernur, bupati dan walikota, dengan tujuan       melestarikan posisi dan kedudukan keluarga besar dari tergusurnya dinasti politik keluarga di ’kerajaan’ daerah.

Munculnya calon-calon kepala daerah yang berasal dari ikatan satu darah atau keluarga dengan pejabat incumbent, tentu akan membawa dampak bagi keberlangsungan pelaksanaan pemilukada di daerah. Lihat faktanya, di Bali Eka Wiryastuti (anak Bupati Tabanan Bali Adi Wiryatama) berkompetisi dalam pemilukada menggantikan bapaknya. Di Lampung Rycko Menoza(anak Gubernur Lampung Sjachroedin) menjadi calon Bupati Lampung Selatan. Di Kabupaten Way Kanan ( putra Bupati Way Kanan Agung Ilmu Mangku negara) mencalonkan diri menggantikan ayahnya. Kemudian Arisandi Dharmawan(anak Bupati Tulang Bawang ) mencalonkan diri menjadi bupati Pesawaran. Di Kota Bandar Lampung Heru Sambodo, (anak Ketua Golkar Lampung Alzier Dianis Tabrani ) membidik kursi wali kota. Di Kepulauan Riau, Aida Nasution (istri Gubernur Ismeth Abdullah) mencalonkan diri menggantikan kursi suaminya. Di Yogyakarta Sri Suryawidati(Istri Bupati Bantul Idham Samawi) tak mau kalah ketinggalan maju menjadi calon bupati meneruskan kursi suami. Di Kalimantan Timur, Awang Ferdian Hidayat, putra gubernur Awang Farouk, mencalonkan diri jadi Bupati Kutai Kartanegara (Kukar), bersaing dengan Rita Widyasari anak mantan Bupati Kukar Syaukani, yang pernah dipenjara karena kasus korupsi yang kemudian dibebaskan karena dianggap mengidap sakit permanen. Pembebasan ini kemudian menuai kontroversi.

Di Propinsi Jawa timur juga terjadi calon kepala daerah yang juga berasal dari ikatan keluarga dengan pejabat penguasa., misalnya di Sidoarjo, mantan Bupati Win Hendarso yang sebelumnya menyiapkan orang dekatnya , Bambang Julianto ( Kepala Dinas PU dan Bina Marga Sidoarjo) maju menjadi cabub menggantikan dirinya. Tapi , Win kelimpungan ketika Bambang meninggal. Akhirnya Win memunculkan nama istrinya sebagai calon yang di jagokan, meskipun istrinya tidak kredibel dan tidak pernah terjun ke politik, akhirnya masyarakat Sidoarjo tidak menjatuhkan pilihan pada istri Bupati, maka gagalah istri bupati memegang tahta kepemimpinan di kabupaten Sidoarjo.

Di kabupaten Kediri ada dua istri (istri tua vs istri muda) yang berebut kursi bupati menggantikan suaminya. Mereka adalah Haryanti dan Nurlaila. Haryanti adalah istri sah dari Bupati Kediri Sutrisno. Dengan statusnya ini Haryati lebih beruntung dari pada Nurlaila, karena lebih banyak dukungan dari suami. Keduanya memang bersaing untuk mencari perhatian sang suami, kalau dulu persaingan dalam merebutkan kasur sedang dalam pemilukada  yang direbutkan adalah  jabatan bupati. Dalam persaingan kasur tentu bupati lebih memilih Nurlaila karena lebih mudah dan masih kinyis-kinyis, tapi dalam persaingan politik untuk menduduki tahta di Kabupaten Kediri sang suami tidak main-main beliau lebih memilih yang berpengalaman dan kredibel yaitu Istri tuanya, akhirnya  Haryantilah yang jadi pemenang pemegang tahta kepemimpinan di Kabupaten kediri.

Di Kabupaten tetangga kita Probolinggo ,sedang berlangsung Pemilukada  yang diikuti oleh Istri dari Hasan Aminuddin, Bupati Probolinggo periode 2007 -20012. Hasan memunculkan istrinya , Puput Tantriana Sari atau sering dikenal dengan Tantri Hasan Aminuddin sebagai bakal calon (balon) bupati, begitu juga kakak kandungnya Hafidz Aminuddin ketua DPC PKB Probolinggo maju sebagai balon bupati, sehingga masyarakat Probolinggo menjuluki ”Dinasti Aminuddin”. Majunya istri dan kakak kandung Hasan Aminuddin menjadi perhatian publik di Probolinggo. Dari pengamatan saya munculnya dua candidat bacabup Probolinggo, Istri Hasan Aminuddin dan kakak kandungnya Hafidz Aminuddin akan menguntungkan dan melanggengkan ”Dinasti Aminuddin”, karena bisa memecah suara pemilih di Probolinggo, dan ini adalah bagian dari strategi politik. Tapi, kalau keduanya sama –sama berambisi untuk menjadi yang terkuat, Istri bupati, Tantri Hasan Aminuddin masih yang lebih unggul bila dibandingkan dengan Kakak iparnya. Sebab istri bupati sudah punya dua  poin diatas kakak iparnya. karena sudah banyak dikenal di seluruh wilayah probolinggo, selain menjadi ketua Tim penggerak Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga  (PKK) Kabupaten Probolinggo,  kemanapun suaminya pergi beliaunya selalu mengikuti sehingga penampakan wajahnya sudah tidak asing bagi masyarakat di Probolinggo inilah Promosi “gratis” ini poin pertama. Selain itu trek rekord sang suami sudah tidak di ragukan lagi . Dua kali putaran memimpin Kabupaten Probolinggo dan membawa kemajuan yang cukup pesat bagi Kabupaten Probolinggo. Masyarakat kita masih berpandangan bahwa kesuksesan suami ”Hasan Aminuddin” tidak lepas dari pendampingan sang Istri, inilah poin kedua, yang di kantongi oleh Tantri Hasan Aminudin . Dibandingkan dengan sang Kakak ipar yang masih di bilang pendatang baru, walupun menjadi ketua DPC PKB Probolinggo. Tapi, Hasan Aminuddin harus belajar dari Pemilu kada Kabupaten Pasuruan periode 2008-2013, dimana kuda hitam pasangan Dade Angga –Edy Paripurna (DAdi), yang di dukung oleh Partai PDIP dan partai gurem atau dalam barisan PERISAI yang memenangkan pemilu. Mengalahkan Dua Pasangan, Jusbakir-Joko Cahyono (JUJUR) dan pasangan Muzammil – Jubaidi (JA-DI) . Perlu diketahui bahwa,  Jusbakir, Joko, Muzammil, dan Jubaidi adalah tokok sentral di partai PKB, akibatnya dalam Pemilukada 2008-20013, suara PKB pecah jadi dua, maka menanglah si kuda hitam Pasangan Dade Angga- Edy Paripurna. Apakah kasus di pasuruan akan terulang di Kabupaten Probolinggo?. Masyarakat Probolinggo masih mengakui,  “Hasan Aminuddin” sebagai  Tokoh dari Partai PKB Kabupaten Probolinggo, dan dua kali menjadi bupati Kabupaten Probolinggo juga di berangkatkan dari partai PKB. Walaupun sekarang sudah menjadi ketua NASDEM Propinsi Jawa Timur, beliaunya masih tetap di tokoh kan oleh orang-orang PKB di sana. Tapi,  sekarang belianya memunculkan dua orang dekatnya, maka bingunglah masyarakat pemilih yang dulu menggap Hasan Aminuddin itu orang PKB. Mau pilih Kakaknya Hafidz yang merupakan Ketua DPC PKB atau memilih  istrinya . Jelas suara masyarakat yang fanatik dengan Bupati Hasan Aminuddin akan terbelah menjadi dua, maka yang di untungkan adalah kuda hitam, yaitu cabub lain.

JABATAN TURUNAN

                        Fenomena majunya calon kepala daerah yang mempunyai hubungan keluarga dengan pejabat sebelumnya atau incumbent sebenarnya sangat ironis. Hal ini menandakan bahwa kursi kepala daerah adalah jabatan yang menguntungkan, membawa berkah dan bisa dijadikan sarana untuk mengeruk kekayaan serta melanggengkan kekuasaan untuk diturunkan kepada istri, saudara hingga anak-cucu. Karena strategi  ini cukup ampuh untuk mempertahankan kekuasaan, sebab bupati yang sudah menjabat dua periode tidak bisa mencalonkan diri lagi karena dibatasi oleh aturan. Maka, jauh-jauh hari sebelum dirinya lengser harus menyiapkan ”penggantinya”. Sebenarnya tidak ada larangan keluarga pejabat incumbent yang ikut dalam bursa pencalonan Gubernur, bupati, walikota, asal kredibel dan kualified . Tapi yang dikhawatirkan adanya penyalahgunaan wewenang dan fasilitas negara untuk tujuan sang calon yang notabene mempunyai hubungan yang sangat erat dengan pejabat incumbent.

Pemilukada saat ini penuh misteri. Di satu sisi , rakyat kian apatis dan tidak peduli sehingga tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilukada cenderung turun. Apatisme masyarakat ini justru dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu meraih jabatan dan kekayaan. Mereka adalah orang-orang yang ingin melanggengkan kekayaan dan kekuasaan agar tetap jatuh kepada garis keluarganya. Ini merupakan problem teknik pemilukada  selain, problem transparansi pembentukan penyelenggara pemilu, persoalan DPT, money politik, pilkada ulang dan juga pendanaan dalam pemilu kada. Persaingan antara aristokrat (kerabat penguasa) dalam melestarikan posisi dan kedudukan keluarga besar dari tergusurnya dinasti  politik keluarga incumbent.

Regenerasi kepemimpinan politik lokal yang berbasis pada kekerabatan ini lambat tapi pasti akan menggeser isu demokrasi ke aristokrasi. Wacana politik akan kian elitis karena tak ada lagi kompetisi yang seimbang dan fair antara calon orang biasa dan ” orang luar biasa”. Calon yang mempunyai hubungan keluarga dengan incumbent pasti akan lebih diuntungkan ketimbang calon lain.

Menurut Eisenstadt dan Roniger (1984) dalam bukunya Patrons, Clients and Friends: Interpersonal Relations and the structure of trust in Society, ada empat alasan utama mengapa politik kekerabatan lebih disukai elite-elite politik di suatu negara.

Pertama, kepercayaan (trusty) ini lebih disebabkan karena kerabat lebih dipercaya dan tak mungkin berkhianat seperti lazim dilakukan politikus pemburu kekuasaan. Kedua, loyalitas (loyality) kerabat akan jauh memiliki loyalitas tinggi dalam konteks menjalankan semua tugas politik terutama dalam hal menjaga wibawa dan kehormatan kerabat besar ketimbang orang lain. Ketiga, solidaritas (solidarity) kerabat dipastikan jauh memiliki tingkat solidaritas yang tangguh  terutama dalam menolong keluarga besar dari kebangkrutan kekuasaan dan kekayaan ketimbang mereka yang bukan dari kalangan kerabat. Keempat, proteksi (protection) ini terkait dengan model mempertahankan gengsi dan kehormatan keluarga besar. Mereka yang berasal dari keluarga yang sama akan cenderung mampu menjaga apa yang telah dimiliki keluarga ketimbang orang lain.

Mewariskan jabatan atau kekuasaan politik secara prosedural melalui pelaksanaan pemilukada, apakah itu kursi gubernur, bupati atau walikota kepada istri, anak, menantu atau saudara yang hanya berputar di kalangan kerabat penguasa (incumbent) tidaklah melanggar hukum, karena tidak diatur dalam UU No. 32 tahun 2004 juncto UU No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur tentang pemilukada. Namun praktek ini jelas melanggar etika politik, kepatuhan, dan norma umum. Karena model ini jelas akan menyumbat regenerasi calon pemimpin politik lokal berdasar pada kompetisi yang fair yang seharusnya bertumpu pada rekam jejak keilmuan, kemampuan dan integritas moral. Jangan sampai pemilukada hanya menjadi ritual demokrasi prosedural untuk melestarikan aristokrasi yang melahirkan raja-raja kecil di ”kerajaan ” daerah.

Diperlukan Proteksi

Untuk itu perlu adanya aturan larangan secara formal, bahwa anggota keluarga, terutama istri dan anak petahana(incumbent) maju mencalonkan diri menjadi gubernur, bupati, walikota dan wakilnya dalam pemilu kada. Pelarangan ini sudah ditegaskan presiden SBY dalam konteks pilkada (jawa pos, 25/6). Pemerintah juga mengusulkan melalui RUU pilkada, tentang pembatasan bagi kerabat petahana untuk maju menjadi calon kepala daerah. Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada akan diatur tegas tentang politik dinasti atau politik kekerabatan. ” Dalam RUU Pilkada, pemerintah ingin mewujudkan suatu kompetisi pilkada yang dinamis, namun tetap mengaktualisasikan nilai-nilai kesetaraan, dimana perlu adanya pembatasan bagi seorang calon yang merupakan keturunan atau terdapat ikatan perkawinan dengan kepala daerah  petahana,” Dikatakan Menteri Dalam Negeri, Gumawan Fauzi, di Jakarta, (12/6). Gumawan, mampu menjamin suatu kompetisi yang setara, dimana seorang kepala daerah tidak memobilisasi jajaran pemerintah daerah untuk kepentingan dukungan bagi calon yang memiliki darah ” atau punya hubungan perkawinan dengan yang bersangkutan ” . Sementara itu, pengamat politik Universitas Gadjah Mada (UGM), Arie Sudjito, menilai politik dinasti telah merusak regenerasi. Apalagi, bila politik dinasti itu tak mempertimbangkan kapasitas dan kapabilitas.

Penulis adalah Ex-Panwas pilkada 2008, Panwaslu Pileg & Pilpres 2009.

Kabupaten Pasuruan.

Alamat : Jl. Mawar 02 Ledug Prigen Pasuruan

Hp : 081333954053.

DINASTI KEPEMIMPINAN DALAM PEMILU KADA

Oleh : Ki Sonhaji Mutiallah, M. MPd

Pemilihan umum kepala daerah (pemilukada), telah berlangsung di beberapa daerah di Indonesia. Ada kurang lebih 244 daerah yang akan mengggelar pemilukada, Baik itu memilih Gubernur, Bupati, Walikota dan wakilnya. Beberapa problem teknis dalam pemilukada selalu saja terjadi, mulai dari pembentukan penyelenggara pemilu (Panwas dan KPU) yang tidak transparan  dan di kondisikan oleh salah satu penguasa, mahalnya pendanaan pilkada, persoalan DPT, money politics, pilkada ulang, kini bertambah lagi satu permasalahan yang sangat ironis sekali di tengah-tengah bangsa Indonesia sedang membangun Demokrasi yang terbuka. Yakni munculnya kerabat penguasa(incumbent) yang ikut dalam pemilukada baik pemilu gubernur, bupati dan walikota, dengan tujuan       melestarikan posisi dan kedudukan keluarga besar dari tergusurnya dinasti politik keluarga di ’kerajaan’ daerah.

Munculnya calon-calon kepala daerah yang berasal dari ikatan satu darah atau keluarga dengan pejabat incumbent, tentu akan membawa dampak bagi keberlangsungan pelaksanaan pemilukada di daerah. Lihat faktanya, di Bali Eka Wiryastuti (anak Bupati Tabanan Bali Adi Wiryatama) berkompetisi dalam pemilukada menggantikan bapaknya. Di Lampung Rycko Menoza(anak Gubernur Lampung Sjachroedin) menjadi calon Bupati Lampung Selatan. Di Kabupaten Way Kanan ( putra Bupati Way Kanan Agung Ilmu Mangku negara) mencalonkan diri menggantikan ayahnya. Kemudian Arisandi Dharmawan(anak Bupati Tulang Bawang ) mencalonkan diri menjadi bupati Pesawaran. Di Kota Bandar Lampung Heru Sambodo, (anak Ketua Golkar Lampung Alzier Dianis Tabrani ) membidik kursi wali kota. Di Kepulauan Riau, Aida Nasution (istri Gubernur Ismeth Abdullah) mencalonkan diri menggantikan kursi suaminya. Di Yogyakarta Sri Suryawidati(Istri Bupati Bantul Idham Samawi) tak mau kalah ketinggalan maju menjadi calon bupati meneruskan kursi suami. Di Kalimantan Timur, Awang Ferdian Hidayat, putra gubernur Awang Farouk, mencalonkan diri jadi Bupati Kutai Kartanegara (Kukar), bersaing dengan Rita Widyasari anak mantan Bupati Kukar Syaukani, yang pernah dipenjara karena kasus korupsi yang kemudian dibebaskan karena dianggap mengidap sakit permanen. Pembebasan ini kemudian menuai kontroversi.

Di Propinsi Jawa timur juga terjadi calon kepala daerah yang juga berasal dari ikatan keluarga dengan pejabat penguasa., misalnya di Sidoarjo, mantan Bupati Win Hendarso yang sebelumnya menyiapkan orang dekatnya , Bambang Julianto ( Kepala Dinas PU dan Bina Marga Sidoarjo) maju menjadi cabub menggantikan dirinya. Tapi , Win kelimpungan ketika Bambang meninggal. Akhirnya Win memunculkan nama istrinya sebagai calon yang di jagokan, meskipun istrinya tidak kredibel dan tidak pernah terjun ke politik, akhirnya masyarakat Sidoarjo tidak menjatuhkan pilihan pada istri Bupati, maka gagalah istri bupati memegang tahta kepemimpinan di kabupaten Sidoarjo.

Di kabupaten Kediri ada dua istri (istri tua vs istri muda) yang berebut kursi bupati menggantikan suaminya. Mereka adalah Haryanti dan Nurlaila. Haryanti adalah istri sah dari Bupati Kediri Sutrisno. Dengan statusnya ini Haryati lebih beruntung dari pada Nurlaila, karena lebih banyak dukungan dari suami. Keduanya memang bersaing untuk mencari perhatian sang suami, kalau dulu persaingan dalam merebutkan kasur sedang dalam pemilukada  yang direbutkan adalah  jabatan bupati. Dalam persaingan kasur tentu bupati lebih memilih Nurlaila karena lebih mudah dan masih kinyis-kinyis, tapi dalam persaingan politik untuk menduduki tahta di Kabupaten Kediri sang suami tidak main-main beliau lebih memilih yang berpengalaman dan kredibel yaitu Istri tuanya, akhirnya  Haryantilah yang jadi pemenang pemegang tahta kepemimpinan di Kabupaten kediri.

Di Kabupaten tetangga kita Probolinggo ,sedang berlangsung Pemilukada  yang diikuti oleh Istri dari Hasan Aminuddin, Bupati Probolinggo periode 2007 -20012. Hasan memunculkan istrinya , Puput Tantriana Sari atau sering dikenal dengan Tantri Hasan Aminuddin sebagai bakal calon (balon) bupati, begitu juga kakak kandungnya Hafidz Aminuddin ketua DPC PKB Probolinggo maju sebagai balon bupati, sehingga masyarakat Probolinggo menjuluki ”Dinasti Aminuddin”. Majunya istri dan kakak kandung Hasan Aminuddin menjadi perhatian publik di Probolinggo. Dari pengamatan saya munculnya dua candidat bacabup Probolinggo, Istri Hasan Aminuddin dan kakak kandungnya Hafidz Aminuddin akan menguntungkan dan melanggengkan ”Dinasti Aminuddin”, karena bisa memecah suara pemilih di Probolinggo, dan ini adalah bagian dari strategi politik. Tapi, kalau keduanya sama –sama berambisi untuk menjadi yang terkuat, Istri bupati, Tantri Hasan Aminuddin masih yang lebih unggul bila dibandingkan dengan Kakak iparnya. Sebab istri bupati sudah punya dua  poin diatas kakak iparnya. karena sudah banyak dikenal di seluruh wilayah probolinggo, selain menjadi ketua Tim penggerak Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga  (PKK) Kabupaten Probolinggo,  kemanapun suaminya pergi beliaunya selalu mengikuti sehingga penampakan wajahnya sudah tidak asing bagi masyarakat di Probolinggo inilah Promosi “gratis” ini poin pertama. Selain itu trek rekord sang suami sudah tidak di ragukan lagi . Dua kali putaran memimpin Kabupaten Probolinggo dan membawa kemajuan yang cukup pesat bagi Kabupaten Probolinggo. Masyarakat kita masih berpandangan bahwa kesuksesan suami ”Hasan Aminuddin” tidak lepas dari pendampingan sang Istri, inilah poin kedua, yang di kantongi oleh Tantri Hasan Aminudin . Dibandingkan dengan sang Kakak ipar yang masih di bilang pendatang baru, walupun menjadi ketua DPC PKB Probolinggo. Tapi, Hasan Aminuddin harus belajar dari Pemilu kada Kabupaten Pasuruan periode 2008-2013, dimana kuda hitam pasangan Dade Angga –Edy Paripurna (DAdi), yang di dukung oleh Partai PDIP dan partai gurem atau dalam barisan PERISAI yang memenangkan pemilu. Mengalahkan Dua Pasangan, Jusbakir-Joko Cahyono (JUJUR) dan pasangan Muzammil – Jubaidi (JA-DI) . Perlu diketahui bahwa,  Jusbakir, Joko, Muzammil, dan Jubaidi adalah tokok sentral di partai PKB, akibatnya dalam Pemilukada 2008-20013, suara PKB pecah jadi dua, maka menanglah si kuda hitam Pasangan Dade Angga- Edy Paripurna. Apakah kasus di pasuruan akan terulang di Kabupaten Probolinggo?. Masyarakat Probolinggo masih mengakui,  “Hasan Aminuddin” sebagai  Tokoh dari Partai PKB Kabupaten Probolinggo, dan dua kali menjadi bupati Kabupaten Probolinggo juga di berangkatkan dari partai PKB. Walaupun sekarang sudah menjadi ketua NASDEM Propinsi Jawa Timur, beliaunya masih tetap di tokoh kan oleh orang-orang PKB di sana. Tapi,  sekarang belianya memunculkan dua orang dekatnya, maka bingunglah masyarakat pemilih yang dulu menggap Hasan Aminuddin itu orang PKB. Mau pilih Kakaknya Hafidz yang merupakan Ketua DPC PKB atau memilih  istrinya . Jelas suara masyarakat yang fanatik dengan Bupati Hasan Aminuddin akan terbelah menjadi dua, maka yang di untungkan adalah kuda hitam, yaitu cabub lain.

JABATAN TURUNAN

                        Fenomena majunya calon kepala daerah yang mempunyai hubungan keluarga dengan pejabat sebelumnya atau incumbent sebenarnya sangat ironis. Hal ini menandakan bahwa kursi kepala daerah adalah jabatan yang menguntungkan, membawa berkah dan bisa dijadikan sarana untuk mengeruk kekayaan serta melanggengkan kekuasaan untuk diturunkan kepada istri, saudara hingga anak-cucu. Karena strategi  ini cukup ampuh untuk mempertahankan kekuasaan, sebab bupati yang sudah menjabat dua periode tidak bisa mencalonkan diri lagi karena dibatasi oleh aturan. Maka, jauh-jauh hari sebelum dirinya lengser harus menyiapkan ”penggantinya”. Sebenarnya tidak ada larangan keluarga pejabat incumbent yang ikut dalam bursa pencalonan Gubernur, bupati, walikota, asal kredibel dan kualified . Tapi yang dikhawatirkan adanya penyalahgunaan wewenang dan fasilitas negara untuk tujuan sang calon yang notabene mempunyai hubungan yang sangat erat dengan pejabat incumbent.

Pemilukada saat ini penuh misteri. Di satu sisi , rakyat kian apatis dan tidak peduli sehingga tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilukada cenderung turun. Apatisme masyarakat ini justru dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu meraih jabatan dan kekayaan. Mereka adalah orang-orang yang ingin melanggengkan kekayaan dan kekuasaan agar tetap jatuh kepada garis keluarganya. Ini merupakan problem teknik pemilukada  selain, problem transparansi pembentukan penyelenggara pemilu, persoalan DPT, money politik, pilkada ulang dan juga pendanaan dalam pemilu kada. Persaingan antara aristokrat (kerabat penguasa) dalam melestarikan posisi dan kedudukan keluarga besar dari tergusurnya dinasti  politik keluarga incumbent.

Regenerasi kepemimpinan politik lokal yang berbasis pada kekerabatan ini lambat tapi pasti akan menggeser isu demokrasi ke aristokrasi. Wacana politik akan kian elitis karena tak ada lagi kompetisi yang seimbang dan fair antara calon orang biasa dan ” orang luar biasa”. Calon yang mempunyai hubungan keluarga dengan incumbent pasti akan lebih diuntungkan ketimbang calon lain.

Menurut Eisenstadt dan Roniger (1984) dalam bukunya Patrons, Clients and Friends: Interpersonal Relations and the structure of trust in Society, ada empat alasan utama mengapa politik kekerabatan lebih disukai elite-elite politik di suatu negara.

Pertama, kepercayaan (trusty) ini lebih disebabkan karena kerabat lebih dipercaya dan tak mungkin berkhianat seperti lazim dilakukan politikus pemburu kekuasaan. Kedua, loyalitas (loyality) kerabat akan jauh memiliki loyalitas tinggi dalam konteks menjalankan semua tugas politik terutama dalam hal menjaga wibawa dan kehormatan kerabat besar ketimbang orang lain. Ketiga, solidaritas (solidarity) kerabat dipastikan jauh memiliki tingkat solidaritas yang tangguh  terutama dalam menolong keluarga besar dari kebangkrutan kekuasaan dan kekayaan ketimbang mereka yang bukan dari kalangan kerabat. Keempat, proteksi (protection) ini terkait dengan model mempertahankan gengsi dan kehormatan keluarga besar. Mereka yang berasal dari keluarga yang sama akan cenderung mampu menjaga apa yang telah dimiliki keluarga ketimbang orang lain.

Mewariskan jabatan atau kekuasaan politik secara prosedural melalui pelaksanaan pemilukada, apakah itu kursi gubernur, bupati atau walikota kepada istri, anak, menantu atau saudara yang hanya berputar di kalangan kerabat penguasa (incumbent) tidaklah melanggar hukum, karena tidak diatur dalam UU No. 32 tahun 2004 juncto UU No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur tentang pemilukada. Namun praktek ini jelas melanggar etika politik, kepatuhan, dan norma umum. Karena model ini jelas akan menyumbat regenerasi calon pemimpin politik lokal berdasar pada kompetisi yang fair yang seharusnya bertumpu pada rekam jejak keilmuan, kemampuan dan integritas moral. Jangan sampai pemilukada hanya menjadi ritual demokrasi prosedural untuk melestarikan aristokrasi yang melahirkan raja-raja kecil di ”kerajaan ” daerah.

Diperlukan Proteksi

Untuk itu perlu adanya aturan larangan secara formal, bahwa anggota keluarga, terutama istri dan anak petahana(incumbent) maju mencalonkan diri menjadi gubernur, bupati, walikota dan wakilnya dalam pemilu kada. Pelarangan ini sudah ditegaskan presiden SBY dalam konteks pilkada (jawa pos, 25/6). Pemerintah juga mengusulkan melalui RUU pilkada, tentang pembatasan bagi kerabat petahana untuk maju menjadi calon kepala daerah. Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada akan diatur tegas tentang politik dinasti atau politik kekerabatan. ” Dalam RUU Pilkada, pemerintah ingin mewujudkan suatu kompetisi pilkada yang dinamis, namun tetap mengaktualisasikan nilai-nilai kesetaraan, dimana perlu adanya pembatasan bagi seorang calon yang merupakan keturunan atau terdapat ikatan perkawinan dengan kepala daerah  petahana,” Dikatakan Menteri Dalam Negeri, Gumawan Fauzi, di Jakarta, (12/6). Gumawan, mampu menjamin suatu kompetisi yang setara, dimana seorang kepala daerah tidak memobilisasi jajaran pemerintah daerah untuk kepentingan dukungan bagi calon yang memiliki darah ” atau punya hubungan perkawinan dengan yang bersangkutan ” . Sementara itu, pengamat politik Universitas Gadjah Mada (UGM), Arie Sudjito, menilai politik dinasti telah merusak regenerasi. Apalagi, bila politik dinasti itu tak mempertimbangkan kapasitas dan kapabilitas.

Penulis adalah Ex-Panwas pilkada 2008, Panwaslu Pileg & Pilpres 2009.

Kabupaten Pasuruan.

Alamat : Jl. Mawar 02 Ledug Prigen Pasuruan

Hp : 081333954053.

DINASTI KEPEMIMPINAN DALAM PEMILU KADA

Oleh : Ki Sonhaji Mutiallah, M. MPd

Pemilihan umum kepala daerah (pemilukada), telah berlangsung di beberapa daerah di Indonesia. Ada kurang lebih 244 daerah yang akan mengggelar pemilukada, Baik itu memilih Gubernur, Bupati, Walikota dan wakilnya. Beberapa problem teknis dalam pemilukada selalu saja terjadi, mulai dari pembentukan penyelenggara pemilu (Panwas dan KPU) yang tidak transparan  dan di kondisikan oleh salah satu penguasa, mahalnya pendanaan pilkada, persoalan DPT, money politics, pilkada ulang, kini bertambah lagi satu permasalahan yang sangat ironis sekali di tengah-tengah bangsa Indonesia sedang membangun Demokrasi yang terbuka. Yakni munculnya kerabat penguasa(incumbent) yang ikut dalam pemilukada baik pemilu gubernur, bupati dan walikota, dengan tujuan       melestarikan posisi dan kedudukan keluarga besar dari tergusurnya dinasti politik keluarga di ’kerajaan’ daerah.

Munculnya calon-calon kepala daerah yang berasal dari ikatan satu darah atau keluarga dengan pejabat incumbent, tentu akan membawa dampak bagi keberlangsungan pelaksanaan pemilukada di daerah. Lihat faktanya, di Bali Eka Wiryastuti (anak Bupati Tabanan Bali Adi Wiryatama) berkompetisi dalam pemilukada menggantikan bapaknya. Di Lampung Rycko Menoza(anak Gubernur Lampung Sjachroedin) menjadi calon Bupati Lampung Selatan. Di Kabupaten Way Kanan ( putra Bupati Way Kanan Agung Ilmu Mangku negara) mencalonkan diri menggantikan ayahnya. Kemudian Arisandi Dharmawan(anak Bupati Tulang Bawang ) mencalonkan diri menjadi bupati Pesawaran. Di Kota Bandar Lampung Heru Sambodo, (anak Ketua Golkar Lampung Alzier Dianis Tabrani ) membidik kursi wali kota. Di Kepulauan Riau, Aida Nasution (istri Gubernur Ismeth Abdullah) mencalonkan diri menggantikan kursi suaminya. Di Yogyakarta Sri Suryawidati(Istri Bupati Bantul Idham Samawi) tak mau kalah ketinggalan maju menjadi calon bupati meneruskan kursi suami. Di Kalimantan Timur, Awang Ferdian Hidayat, putra gubernur Awang Farouk, mencalonkan diri jadi Bupati Kutai Kartanegara (Kukar), bersaing dengan Rita Widyasari anak mantan Bupati Kukar Syaukani, yang pernah dipenjara karena kasus korupsi yang kemudian dibebaskan karena dianggap mengidap sakit permanen. Pembebasan ini kemudian menuai kontroversi.

Di Propinsi Jawa timur juga terjadi calon kepala daerah yang juga berasal dari ikatan keluarga dengan pejabat penguasa., misalnya di Sidoarjo, mantan Bupati Win Hendarso yang sebelumnya menyiapkan orang dekatnya , Bambang Julianto ( Kepala Dinas PU dan Bina Marga Sidoarjo) maju menjadi cabub menggantikan dirinya. Tapi , Win kelimpungan ketika Bambang meninggal. Akhirnya Win memunculkan nama istrinya sebagai calon yang di jagokan, meskipun istrinya tidak kredibel dan tidak pernah terjun ke politik, akhirnya masyarakat Sidoarjo tidak menjatuhkan pilihan pada istri Bupati, maka gagalah istri bupati memegang tahta kepemimpinan di kabupaten Sidoarjo.

Di kabupaten Kediri ada dua istri (istri tua vs istri muda) yang berebut kursi bupati menggantikan suaminya. Mereka adalah Haryanti dan Nurlaila. Haryanti adalah istri sah dari Bupati Kediri Sutrisno. Dengan statusnya ini Haryati lebih beruntung dari pada Nurlaila, karena lebih banyak dukungan dari suami. Keduanya memang bersaing untuk mencari perhatian sang suami, kalau dulu persaingan dalam merebutkan kasur sedang dalam pemilukada  yang direbutkan adalah  jabatan bupati. Dalam persaingan kasur tentu bupati lebih memilih Nurlaila karena lebih mudah dan masih kinyis-kinyis, tapi dalam persaingan politik untuk menduduki tahta di Kabupaten Kediri sang suami tidak main-main beliau lebih memilih yang berpengalaman dan kredibel yaitu Istri tuanya, akhirnya  Haryantilah yang jadi pemenang pemegang tahta kepemimpinan di Kabupaten kediri.

Di Kabupaten tetangga kita Probolinggo ,sedang berlangsung Pemilukada  yang diikuti oleh Istri dari Hasan Aminuddin, Bupati Probolinggo periode 2007 -20012. Hasan memunculkan istrinya , Puput Tantriana Sari atau sering dikenal dengan Tantri Hasan Aminuddin sebagai bakal calon (balon) bupati, begitu juga kakak kandungnya Hafidz Aminuddin ketua DPC PKB Probolinggo maju sebagai balon bupati, sehingga masyarakat Probolinggo menjuluki ”Dinasti Aminuddin”. Majunya istri dan kakak kandung Hasan Aminuddin menjadi perhatian publik di Probolinggo. Dari pengamatan saya munculnya dua candidat bacabup Probolinggo, Istri Hasan Aminuddin dan kakak kandungnya Hafidz Aminuddin akan menguntungkan dan melanggengkan ”Dinasti Aminuddin”, karena bisa memecah suara pemilih di Probolinggo, dan ini adalah bagian dari strategi politik. Tapi, kalau keduanya sama –sama berambisi untuk menjadi yang terkuat, Istri bupati, Tantri Hasan Aminuddin masih yang lebih unggul bila dibandingkan dengan Kakak iparnya. Sebab istri bupati sudah punya dua  poin diatas kakak iparnya. karena sudah banyak dikenal di seluruh wilayah probolinggo, selain menjadi ketua Tim penggerak Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga  (PKK) Kabupaten Probolinggo,  kemanapun suaminya pergi beliaunya selalu mengikuti sehingga penampakan wajahnya sudah tidak asing bagi masyarakat di Probolinggo inilah Promosi “gratis” ini poin pertama. Selain itu trek rekord sang suami sudah tidak di ragukan lagi . Dua kali putaran memimpin Kabupaten Probolinggo dan membawa kemajuan yang cukup pesat bagi Kabupaten Probolinggo. Masyarakat kita masih berpandangan bahwa kesuksesan suami ”Hasan Aminuddin” tidak lepas dari pendampingan sang Istri, inilah poin kedua, yang di kantongi oleh Tantri Hasan Aminudin . Dibandingkan dengan sang Kakak ipar yang masih di bilang pendatang baru, walupun menjadi ketua DPC PKB Probolinggo. Tapi, Hasan Aminuddin harus belajar dari Pemilu kada Kabupaten Pasuruan periode 2008-2013, dimana kuda hitam pasangan Dade Angga –Edy Paripurna (DAdi), yang di dukung oleh Partai PDIP dan partai gurem atau dalam barisan PERISAI yang memenangkan pemilu. Mengalahkan Dua Pasangan, Jusbakir-Joko Cahyono (JUJUR) dan pasangan Muzammil – Jubaidi (JA-DI) . Perlu diketahui bahwa,  Jusbakir, Joko, Muzammil, dan Jubaidi adalah tokok sentral di partai PKB, akibatnya dalam Pemilukada 2008-20013, suara PKB pecah jadi dua, maka menanglah si kuda hitam Pasangan Dade Angga- Edy Paripurna. Apakah kasus di pasuruan akan terulang di Kabupaten Probolinggo?. Masyarakat Probolinggo masih mengakui,  “Hasan Aminuddin” sebagai  Tokoh dari Partai PKB Kabupaten Probolinggo, dan dua kali menjadi bupati Kabupaten Probolinggo juga di berangkatkan dari partai PKB. Walaupun sekarang sudah menjadi ketua NASDEM Propinsi Jawa Timur, beliaunya masih tetap di tokoh kan oleh orang-orang PKB di sana. Tapi,  sekarang belianya memunculkan dua orang dekatnya, maka bingunglah masyarakat pemilih yang dulu menggap Hasan Aminuddin itu orang PKB. Mau pilih Kakaknya Hafidz yang merupakan Ketua DPC PKB atau memilih  istrinya . Jelas suara masyarakat yang fanatik dengan Bupati Hasan Aminuddin akan terbelah menjadi dua, maka yang di untungkan adalah kuda hitam, yaitu cabub lain.

JABATAN TURUNAN

                        Fenomena majunya calon kepala daerah yang mempunyai hubungan keluarga dengan pejabat sebelumnya atau incumbent sebenarnya sangat ironis. Hal ini menandakan bahwa kursi kepala daerah adalah jabatan yang menguntungkan, membawa berkah dan bisa dijadikan sarana untuk mengeruk kekayaan serta melanggengkan kekuasaan untuk diturunkan kepada istri, saudara hingga anak-cucu. Karena strategi  ini cukup ampuh untuk mempertahankan kekuasaan, sebab bupati yang sudah menjabat dua periode tidak bisa mencalonkan diri lagi karena dibatasi oleh aturan. Maka, jauh-jauh hari sebelum dirinya lengser harus menyiapkan ”penggantinya”. Sebenarnya tidak ada larangan keluarga pejabat incumbent yang ikut dalam bursa pencalonan Gubernur, bupati, walikota, asal kredibel dan kualified . Tapi yang dikhawatirkan adanya penyalahgunaan wewenang dan fasilitas negara untuk tujuan sang calon yang notabene mempunyai hubungan yang sangat erat dengan pejabat incumbent.

Pemilukada saat ini penuh misteri. Di satu sisi , rakyat kian apatis dan tidak peduli sehingga tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilukada cenderung turun. Apatisme masyarakat ini justru dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu meraih jabatan dan kekayaan. Mereka adalah orang-orang yang ingin melanggengkan kekayaan dan kekuasaan agar tetap jatuh kepada garis keluarganya. Ini merupakan problem teknik pemilukada  selain, problem transparansi pembentukan penyelenggara pemilu, persoalan DPT, money politik, pilkada ulang dan juga pendanaan dalam pemilu kada. Persaingan antara aristokrat (kerabat penguasa) dalam melestarikan posisi dan kedudukan keluarga besar dari tergusurnya dinasti  politik keluarga incumbent.

Regenerasi kepemimpinan politik lokal yang berbasis pada kekerabatan ini lambat tapi pasti akan menggeser isu demokrasi ke aristokrasi. Wacana politik akan kian elitis karena tak ada lagi kompetisi yang seimbang dan fair antara calon orang biasa dan ” orang luar biasa”. Calon yang mempunyai hubungan keluarga dengan incumbent pasti akan lebih diuntungkan ketimbang calon lain.

Menurut Eisenstadt dan Roniger (1984) dalam bukunya Patrons, Clients and Friends: Interpersonal Relations and the structure of trust in Society, ada empat alasan utama mengapa politik kekerabatan lebih disukai elite-elite politik di suatu negara.

Pertama, kepercayaan (trusty) ini lebih disebabkan karena kerabat lebih dipercaya dan tak mungkin berkhianat seperti lazim dilakukan politikus pemburu kekuasaan. Kedua, loyalitas (loyality) kerabat akan jauh memiliki loyalitas tinggi dalam konteks menjalankan semua tugas politik terutama dalam hal menjaga wibawa dan kehormatan kerabat besar ketimbang orang lain. Ketiga, solidaritas (solidarity) kerabat dipastikan jauh memiliki tingkat solidaritas yang tangguh  terutama dalam menolong keluarga besar dari kebangkrutan kekuasaan dan kekayaan ketimbang mereka yang bukan dari kalangan kerabat. Keempat, proteksi (protection) ini terkait dengan model mempertahankan gengsi dan kehormatan keluarga besar. Mereka yang berasal dari keluarga yang sama akan cenderung mampu menjaga apa yang telah dimiliki keluarga ketimbang orang lain.

Mewariskan jabatan atau kekuasaan politik secara prosedural melalui pelaksanaan pemilukada, apakah itu kursi gubernur, bupati atau walikota kepada istri, anak, menantu atau saudara yang hanya berputar di kalangan kerabat penguasa (incumbent) tidaklah melanggar hukum, karena tidak diatur dalam UU No. 32 tahun 2004 juncto UU No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur tentang pemilukada. Namun praktek ini jelas melanggar etika politik, kepatuhan, dan norma umum. Karena model ini jelas akan menyumbat regenerasi calon pemimpin politik lokal berdasar pada kompetisi yang fair yang seharusnya bertumpu pada rekam jejak keilmuan, kemampuan dan integritas moral. Jangan sampai pemilukada hanya menjadi ritual demokrasi prosedural untuk melestarikan aristokrasi yang melahirkan raja-raja kecil di ”kerajaan ” daerah.

Diperlukan Proteksi

Untuk itu perlu adanya aturan larangan secara formal, bahwa anggota keluarga, terutama istri dan anak petahana(incumbent) maju mencalonkan diri menjadi gubernur, bupati, walikota dan wakilnya dalam pemilu kada. Pelarangan ini sudah ditegaskan presiden SBY dalam konteks pilkada (jawa pos, 25/6). Pemerintah juga mengusulkan melalui RUU pilkada, tentang pembatasan bagi kerabat petahana untuk maju menjadi calon kepala daerah. Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada akan diatur tegas tentang politik dinasti atau politik kekerabatan. ” Dalam RUU Pilkada, pemerintah ingin mewujudkan suatu kompetisi pilkada yang dinamis, namun tetap mengaktualisasikan nilai-nilai kesetaraan, dimana perlu adanya pembatasan bagi seorang calon yang merupakan keturunan atau terdapat ikatan perkawinan dengan kepala daerah  petahana,” Dikatakan Menteri Dalam Negeri, Gumawan Fauzi, di Jakarta, (12/6). Gumawan, mampu menjamin suatu kompetisi yang setara, dimana seorang kepala daerah tidak memobilisasi jajaran pemerintah daerah untuk kepentingan dukungan bagi calon yang memiliki darah ” atau punya hubungan perkawinan dengan yang bersangkutan ” . Sementara itu, pengamat politik Universitas Gadjah Mada (UGM), Arie Sudjito, menilai politik dinasti telah merusak regenerasi. Apalagi, bila politik dinasti itu tak mempertimbangkan kapasitas dan kapabilitas.

Penulis adalah Ex-Panwas pilkada 2008, Panwaslu Pileg & Pilpres 2009.

Kabupaten Pasuruan.

Alamat : Jl. Mawar 02 Ledug Prigen Pasuruan

Hp : 081333954053.

DINASTI KEPEMIMPINAN DALAM PEMILU KADA

Oleh : Ki Sonhaji Mutiallah, M. MPd

Pemilihan umum kepala daerah (pemilukada), telah berlangsung di beberapa daerah di Indonesia. Ada kurang lebih 244 daerah yang akan mengggelar pemilukada, Baik itu memilih Gubernur, Bupati, Walikota dan wakilnya. Beberapa problem teknis dalam pemilukada selalu saja terjadi, mulai dari pembentukan penyelenggara pemilu (Panwas dan KPU) yang tidak transparan  dan di kondisikan oleh salah satu penguasa, mahalnya pendanaan pilkada, persoalan DPT, money politics, pilkada ulang, kini bertambah lagi satu permasalahan yang sangat ironis sekali di tengah-tengah bangsa Indonesia sedang membangun Demokrasi yang terbuka. Yakni munculnya kerabat penguasa(incumbent) yang ikut dalam pemilukada baik pemilu gubernur, bupati dan walikota, dengan tujuan       melestarikan posisi dan kedudukan keluarga besar dari tergusurnya dinasti politik keluarga di ’kerajaan’ daerah.

Munculnya calon-calon kepala daerah yang berasal dari ikatan satu darah atau keluarga dengan pejabat incumbent, tentu akan membawa dampak bagi keberlangsungan pelaksanaan pemilukada di daerah. Lihat faktanya, di Bali Eka Wiryastuti (anak Bupati Tabanan Bali Adi Wiryatama) berkompetisi dalam pemilukada menggantikan bapaknya. Di Lampung Rycko Menoza(anak Gubernur Lampung Sjachroedin) menjadi calon Bupati Lampung Selatan. Di Kabupaten Way Kanan ( putra Bupati Way Kanan Agung Ilmu Mangku negara) mencalonkan diri menggantikan ayahnya. Kemudian Arisandi Dharmawan(anak Bupati Tulang Bawang ) mencalonkan diri menjadi bupati Pesawaran. Di Kota Bandar Lampung Heru Sambodo, (anak Ketua Golkar Lampung Alzier Dianis Tabrani ) membidik kursi wali kota. Di Kepulauan Riau, Aida Nasution (istri Gubernur Ismeth Abdullah) mencalonkan diri menggantikan kursi suaminya. Di Yogyakarta Sri Suryawidati(Istri Bupati Bantul Idham Samawi) tak mau kalah ketinggalan maju menjadi calon bupati meneruskan kursi suami. Di Kalimantan Timur, Awang Ferdian Hidayat, putra gubernur Awang Farouk, mencalonkan diri jadi Bupati Kutai Kartanegara (Kukar), bersaing dengan Rita Widyasari anak mantan Bupati Kukar Syaukani, yang pernah dipenjara karena kasus korupsi yang kemudian dibebaskan karena dianggap mengidap sakit permanen. Pembebasan ini kemudian menuai kontroversi.

Di Propinsi Jawa timur juga terjadi calon kepala daerah yang juga berasal dari ikatan keluarga dengan pejabat penguasa., misalnya di Sidoarjo, mantan Bupati Win Hendarso yang sebelumnya menyiapkan orang dekatnya , Bambang Julianto ( Kepala Dinas PU dan Bina Marga Sidoarjo) maju menjadi cabub menggantikan dirinya. Tapi , Win kelimpungan ketika Bambang meninggal. Akhirnya Win memunculkan nama istrinya sebagai calon yang di jagokan, meskipun istrinya tidak kredibel dan tidak pernah terjun ke politik, akhirnya masyarakat Sidoarjo tidak menjatuhkan pilihan pada istri Bupati, maka gagalah istri bupati memegang tahta kepemimpinan di kabupaten Sidoarjo.

Di kabupaten Kediri ada dua istri (istri tua vs istri muda) yang berebut kursi bupati menggantikan suaminya. Mereka adalah Haryanti dan Nurlaila. Haryanti adalah istri sah dari Bupati Kediri Sutrisno. Dengan statusnya ini Haryati lebih beruntung dari pada Nurlaila, karena lebih banyak dukungan dari suami. Keduanya memang bersaing untuk mencari perhatian sang suami, kalau dulu persaingan dalam merebutkan kasur sedang dalam pemilukada  yang direbutkan adalah  jabatan bupati. Dalam persaingan kasur tentu bupati lebih memilih Nurlaila karena lebih mudah dan masih kinyis-kinyis, tapi dalam persaingan politik untuk menduduki tahta di Kabupaten Kediri sang suami tidak main-main beliau lebih memilih yang berpengalaman dan kredibel yaitu Istri tuanya, akhirnya  Haryantilah yang jadi pemenang pemegang tahta kepemimpinan di Kabupaten kediri.

Di Kabupaten tetangga kita Probolinggo ,sedang berlangsung Pemilukada  yang diikuti oleh Istri dari Hasan Aminuddin, Bupati Probolinggo periode 2007 -20012. Hasan memunculkan istrinya , Puput Tantriana Sari atau sering dikenal dengan Tantri Hasan Aminuddin sebagai bakal calon (balon) bupati, begitu juga kakak kandungnya Hafidz Aminuddin ketua DPC PKB Probolinggo maju sebagai balon bupati, sehingga masyarakat Probolinggo menjuluki ”Dinasti Aminuddin”. Majunya istri dan kakak kandung Hasan Aminuddin menjadi perhatian publik di Probolinggo. Dari pengamatan saya munculnya dua candidat bacabup Probolinggo, Istri Hasan Aminuddin dan kakak kandungnya Hafidz Aminuddin akan menguntungkan dan melanggengkan ”Dinasti Aminuddin”, karena bisa memecah suara pemilih di Probolinggo, dan ini adalah bagian dari strategi politik. Tapi, kalau keduanya sama –sama berambisi untuk menjadi yang terkuat, Istri bupati, Tantri Hasan Aminuddin masih yang lebih unggul bila dibandingkan dengan Kakak iparnya. Sebab istri bupati sudah punya dua  poin diatas kakak iparnya. karena sudah banyak dikenal di seluruh wilayah probolinggo, selain menjadi ketua Tim penggerak Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga  (PKK) Kabupaten Probolinggo,  kemanapun suaminya pergi beliaunya selalu mengikuti sehingga penampakan wajahnya sudah tidak asing bagi masyarakat di Probolinggo inilah Promosi “gratis” ini poin pertama. Selain itu trek rekord sang suami sudah tidak di ragukan lagi . Dua kali putaran memimpin Kabupaten Probolinggo dan membawa kemajuan yang cukup pesat bagi Kabupaten Probolinggo. Masyarakat kita masih berpandangan bahwa kesuksesan suami ”Hasan Aminuddin” tidak lepas dari pendampingan sang Istri, inilah poin kedua, yang di kantongi oleh Tantri Hasan Aminudin . Dibandingkan dengan sang Kakak ipar yang masih di bilang pendatang baru, walupun menjadi ketua DPC PKB Probolinggo. Tapi, Hasan Aminuddin harus belajar dari Pemilu kada Kabupaten Pasuruan periode 2008-2013, dimana kuda hitam pasangan Dade Angga –Edy Paripurna (DAdi), yang di dukung oleh Partai PDIP dan partai gurem atau dalam barisan PERISAI yang memenangkan pemilu. Mengalahkan Dua Pasangan, Jusbakir-Joko Cahyono (JUJUR) dan pasangan Muzammil – Jubaidi (JA-DI) . Perlu diketahui bahwa,  Jusbakir, Joko, Muzammil, dan Jubaidi adalah tokok sentral di partai PKB, akibatnya dalam Pemilukada 2008-20013, suara PKB pecah jadi dua, maka menanglah si kuda hitam Pasangan Dade Angga- Edy Paripurna. Apakah kasus di pasuruan akan terulang di Kabupaten Probolinggo?. Masyarakat Probolinggo masih mengakui,  “Hasan Aminuddin” sebagai  Tokoh dari Partai PKB Kabupaten Probolinggo, dan dua kali menjadi bupati Kabupaten Probolinggo juga di berangkatkan dari partai PKB. Walaupun sekarang sudah menjadi ketua NASDEM Propinsi Jawa Timur, beliaunya masih tetap di tokoh kan oleh orang-orang PKB di sana. Tapi,  sekarang belianya memunculkan dua orang dekatnya, maka bingunglah masyarakat pemilih yang dulu menggap Hasan Aminuddin itu orang PKB. Mau pilih Kakaknya Hafidz yang merupakan Ketua DPC PKB atau memilih  istrinya . Jelas suara masyarakat yang fanatik dengan Bupati Hasan Aminuddin akan terbelah menjadi dua, maka yang di untungkan adalah kuda hitam, yaitu cabub lain.

JABATAN TURUNAN

                        Fenomena majunya calon kepala daerah yang mempunyai hubungan keluarga dengan pejabat sebelumnya atau incumbent sebenarnya sangat ironis. Hal ini menandakan bahwa kursi kepala daerah adalah jabatan yang menguntungkan, membawa berkah dan bisa dijadikan sarana untuk mengeruk kekayaan serta melanggengkan kekuasaan untuk diturunkan kepada istri, saudara hingga anak-cucu. Karena strategi  ini cukup ampuh untuk mempertahankan kekuasaan, sebab bupati yang sudah menjabat dua periode tidak bisa mencalonkan diri lagi karena dibatasi oleh aturan. Maka, jauh-jauh hari sebelum dirinya lengser harus menyiapkan ”penggantinya”. Sebenarnya tidak ada larangan keluarga pejabat incumbent yang ikut dalam bursa pencalonan Gubernur, bupati, walikota, asal kredibel dan kualified . Tapi yang dikhawatirkan adanya penyalahgunaan wewenang dan fasilitas negara untuk tujuan sang calon yang notabene mempunyai hubungan yang sangat erat dengan pejabat incumbent.

Pemilukada saat ini penuh misteri. Di satu sisi , rakyat kian apatis dan tidak peduli sehingga tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilukada cenderung turun. Apatisme masyarakat ini justru dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu meraih jabatan dan kekayaan. Mereka adalah orang-orang yang ingin melanggengkan kekayaan dan kekuasaan agar tetap jatuh kepada garis keluarganya. Ini merupakan problem teknik pemilukada  selain, problem transparansi pembentukan penyelenggara pemilu, persoalan DPT, money politik, pilkada ulang dan juga pendanaan dalam pemilu kada. Persaingan antara aristokrat (kerabat penguasa) dalam melestarikan posisi dan kedudukan keluarga besar dari tergusurnya dinasti  politik keluarga incumbent.

Regenerasi kepemimpinan politik lokal yang berbasis pada kekerabatan ini lambat tapi pasti akan menggeser isu demokrasi ke aristokrasi. Wacana politik akan kian elitis karena tak ada lagi kompetisi yang seimbang dan fair antara calon orang biasa dan ” orang luar biasa”. Calon yang mempunyai hubungan keluarga dengan incumbent pasti akan lebih diuntungkan ketimbang calon lain.

Menurut Eisenstadt dan Roniger (1984) dalam bukunya Patrons, Clients and Friends: Interpersonal Relations and the structure of trust in Society, ada empat alasan utama mengapa politik kekerabatan lebih disukai elite-elite politik di suatu negara.

Pertama, kepercayaan (trusty) ini lebih disebabkan karena kerabat lebih dipercaya dan tak mungkin berkhianat seperti lazim dilakukan politikus pemburu kekuasaan. Kedua, loyalitas (loyality) kerabat akan jauh memiliki loyalitas tinggi dalam konteks menjalankan semua tugas politik terutama dalam hal menjaga wibawa dan kehormatan kerabat besar ketimbang orang lain. Ketiga, solidaritas (solidarity) kerabat dipastikan jauh memiliki tingkat solidaritas yang tangguh  terutama dalam menolong keluarga besar dari kebangkrutan kekuasaan dan kekayaan ketimbang mereka yang bukan dari kalangan kerabat. Keempat, proteksi (protection) ini terkait dengan model mempertahankan gengsi dan kehormatan keluarga besar. Mereka yang berasal dari keluarga yang sama akan cenderung mampu menjaga apa yang telah dimiliki keluarga ketimbang orang lain.

Mewariskan jabatan atau kekuasaan politik secara prosedural melalui pelaksanaan pemilukada, apakah itu kursi gubernur, bupati atau walikota kepada istri, anak, menantu atau saudara yang hanya berputar di kalangan kerabat penguasa (incumbent) tidaklah melanggar hukum, karena tidak diatur dalam UU No. 32 tahun 2004 juncto UU No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur tentang pemilukada. Namun praktek ini jelas melanggar etika politik, kepatuhan, dan norma umum. Karena model ini jelas akan menyumbat regenerasi calon pemimpin politik lokal berdasar pada kompetisi yang fair yang seharusnya bertumpu pada rekam jejak keilmuan, kemampuan dan integritas moral. Jangan sampai pemilukada hanya menjadi ritual demokrasi prosedural untuk melestarikan aristokrasi yang melahirkan raja-raja kecil di ”kerajaan ” daerah.

Diperlukan Proteksi

Untuk itu perlu adanya aturan larangan secara formal, bahwa anggota keluarga, terutama istri dan anak petahana(incumbent) maju mencalonkan diri menjadi gubernur, bupati, walikota dan wakilnya dalam pemilu kada. Pelarangan ini sudah ditegaskan presiden SBY dalam konteks pilkada (jawa pos, 25/6). Pemerintah juga mengusulkan melalui RUU pilkada, tentang pembatasan bagi kerabat petahana untuk maju menjadi calon kepala daerah. Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada akan diatur tegas tentang politik dinasti atau politik kekerabatan. ” Dalam RUU Pilkada, pemerintah ingin mewujudkan suatu kompetisi pilkada yang dinamis, namun tetap mengaktualisasikan nilai-nilai kesetaraan, dimana perlu adanya pembatasan bagi seorang calon yang merupakan keturunan atau terdapat ikatan perkawinan dengan kepala daerah  petahana,” Dikatakan Menteri Dalam Negeri, Gumawan Fauzi, di Jakarta, (12/6). Gumawan, mampu menjamin suatu kompetisi yang setara, dimana seorang kepala daerah tidak memobilisasi jajaran pemerintah daerah untuk kepentingan dukungan bagi calon yang memiliki darah ” atau punya hubungan perkawinan dengan yang bersangkutan ” . Sementara itu, pengamat politik Universitas Gadjah Mada (UGM), Arie Sudjito, menilai politik dinasti telah merusak regenerasi. Apalagi, bila politik dinasti itu tak mempertimbangkan kapasitas dan kapabilitas.

Penulis adalah Ex-Panwas pilkada 2008, Panwaslu Pileg & Pilpres 2009.

Kabupaten Pasuruan.

Alamat : Jl. Mawar 02 Ledug Prigen Pasuruan

Hp : 081333954053.

DINASTI KEPEMIMPINAN DALAM PEMILU KADA

Oleh : Ki Sonhaji Mutiallah, M. MPd

Pemilihan umum kepala daerah (pemilukada), telah berlangsung di beberapa daerah di Indonesia. Ada kurang lebih 244 daerah yang akan mengggelar pemilukada, Baik itu memilih Gubernur, Bupati, Walikota dan wakilnya. Beberapa problem teknis dalam pemilukada selalu saja terjadi, mulai dari pembentukan penyelenggara pemilu (Panwas dan KPU) yang tidak transparan  dan di kondisikan oleh salah satu penguasa, mahalnya pendanaan pilkada, persoalan DPT, money politics, pilkada ulang, kini bertambah lagi satu permasalahan yang sangat ironis sekali di tengah-tengah bangsa Indonesia sedang membangun Demokrasi yang terbuka. Yakni munculnya kerabat penguasa(incumbent) yang ikut dalam pemilukada baik pemilu gubernur, bupati dan walikota, dengan tujuan       melestarikan posisi dan kedudukan keluarga besar dari tergusurnya dinasti politik keluarga di ’kerajaan’ daerah.

Munculnya calon-calon kepala daerah yang berasal dari ikatan satu darah atau keluarga dengan pejabat incumbent, tentu akan membawa dampak bagi keberlangsungan pelaksanaan pemilukada di daerah. Lihat faktanya, di Bali Eka Wiryastuti (anak Bupati Tabanan Bali Adi Wiryatama) berkompetisi dalam pemilukada menggantikan bapaknya. Di Lampung Rycko Menoza(anak Gubernur Lampung Sjachroedin) menjadi calon Bupati Lampung Selatan. Di Kabupaten Way Kanan ( putra Bupati Way Kanan Agung Ilmu Mangku negara) mencalonkan diri menggantikan ayahnya. Kemudian Arisandi Dharmawan(anak Bupati Tulang Bawang ) mencalonkan diri menjadi bupati Pesawaran. Di Kota Bandar Lampung Heru Sambodo, (anak Ketua Golkar Lampung Alzier Dianis Tabrani ) membidik kursi wali kota. Di Kepulauan Riau, Aida Nasution (istri Gubernur Ismeth Abdullah) mencalonkan diri menggantikan kursi suaminya. Di Yogyakarta Sri Suryawidati(Istri Bupati Bantul Idham Samawi) tak mau kalah ketinggalan maju menjadi calon bupati meneruskan kursi suami. Di Kalimantan Timur, Awang Ferdian Hidayat, putra gubernur Awang Farouk, mencalonkan diri jadi Bupati Kutai Kartanegara (Kukar), bersaing dengan Rita Widyasari anak mantan Bupati Kukar Syaukani, yang pernah dipenjara karena kasus korupsi yang kemudian dibebaskan karena dianggap mengidap sakit permanen. Pembebasan ini kemudian menuai kontroversi.

Di Propinsi Jawa timur juga terjadi calon kepala daerah yang juga berasal dari ikatan keluarga dengan pejabat penguasa., misalnya di Sidoarjo, mantan Bupati Win Hendarso yang sebelumnya menyiapkan orang dekatnya , Bambang Julianto ( Kepala Dinas PU dan Bina Marga Sidoarjo) maju menjadi cabub menggantikan dirinya. Tapi , Win kelimpungan ketika Bambang meninggal. Akhirnya Win memunculkan nama istrinya sebagai calon yang di jagokan, meskipun istrinya tidak kredibel dan tidak pernah terjun ke politik, akhirnya masyarakat Sidoarjo tidak menjatuhkan pilihan pada istri Bupati, maka gagalah istri bupati memegang tahta kepemimpinan di kabupaten Sidoarjo.

Di kabupaten Kediri ada dua istri (istri tua vs istri muda) yang berebut kursi bupati menggantikan suaminya. Mereka adalah Haryanti dan Nurlaila. Haryanti adalah istri sah dari Bupati Kediri Sutrisno. Dengan statusnya ini Haryati lebih beruntung dari pada Nurlaila, karena lebih banyak dukungan dari suami. Keduanya memang bersaing untuk mencari perhatian sang suami, kalau dulu persaingan dalam merebutkan kasur sedang dalam pemilukada  yang direbutkan adalah  jabatan bupati. Dalam persaingan kasur tentu bupati lebih memilih Nurlaila karena lebih mudah dan masih kinyis-kinyis, tapi dalam persaingan politik untuk menduduki tahta di Kabupaten Kediri sang suami tidak main-main beliau lebih memilih yang berpengalaman dan kredibel yaitu Istri tuanya, akhirnya  Haryantilah yang jadi pemenang pemegang tahta kepemimpinan di Kabupaten kediri.

Di Kabupaten tetangga kita Probolinggo ,sedang berlangsung Pemilukada  yang diikuti oleh Istri dari Hasan Aminuddin, Bupati Probolinggo periode 2007 -20012. Hasan memunculkan istrinya , Puput Tantriana Sari atau sering dikenal dengan Tantri Hasan Aminuddin sebagai bakal calon (balon) bupati, begitu juga kakak kandungnya Hafidz Aminuddin ketua DPC PKB Probolinggo maju sebagai balon bupati, sehingga masyarakat Probolinggo menjuluki ”Dinasti Aminuddin”. Majunya istri dan kakak kandung Hasan Aminuddin menjadi perhatian publik di Probolinggo. Dari pengamatan saya munculnya dua candidat bacabup Probolinggo, Istri Hasan Aminuddin dan kakak kandungnya Hafidz Aminuddin akan menguntungkan dan melanggengkan ”Dinasti Aminuddin”, karena bisa memecah suara pemilih di Probolinggo, dan ini adalah bagian dari strategi politik. Tapi, kalau keduanya sama –sama berambisi untuk menjadi yang terkuat, Istri bupati, Tantri Hasan Aminuddin masih yang lebih unggul bila dibandingkan dengan Kakak iparnya. Sebab istri bupati sudah punya dua  poin diatas kakak iparnya. karena sudah banyak dikenal di seluruh wilayah probolinggo, selain menjadi ketua Tim penggerak Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga  (PKK) Kabupaten Probolinggo,  kemanapun suaminya pergi beliaunya selalu mengikuti sehingga penampakan wajahnya sudah tidak asing bagi masyarakat di Probolinggo inilah Promosi “gratis” ini poin pertama. Selain itu trek rekord sang suami sudah tidak di ragukan lagi . Dua kali putaran memimpin Kabupaten Probolinggo dan membawa kemajuan yang cukup pesat bagi Kabupaten Probolinggo. Masyarakat kita masih berpandangan bahwa kesuksesan suami ”Hasan Aminuddin” tidak lepas dari pendampingan sang Istri, inilah poin kedua, yang di kantongi oleh Tantri Hasan Aminudin . Dibandingkan dengan sang Kakak ipar yang masih di bilang pendatang baru, walupun menjadi ketua DPC PKB Probolinggo. Tapi, Hasan Aminuddin harus belajar dari Pemilu kada Kabupaten Pasuruan periode 2008-2013, dimana kuda hitam pasangan Dade Angga –Edy Paripurna (DAdi), yang di dukung oleh Partai PDIP dan partai gurem atau dalam barisan PERISAI yang memenangkan pemilu. Mengalahkan Dua Pasangan, Jusbakir-Joko Cahyono (JUJUR) dan pasangan Muzammil – Jubaidi (JA-DI) . Perlu diketahui bahwa,  Jusbakir, Joko, Muzammil, dan Jubaidi adalah tokok sentral di partai PKB, akibatnya dalam Pemilukada 2008-20013, suara PKB pecah jadi dua, maka menanglah si kuda hitam Pasangan Dade Angga- Edy Paripurna. Apakah kasus di pasuruan akan terulang di Kabupaten Probolinggo?. Masyarakat Probolinggo masih mengakui,  “Hasan Aminuddin” sebagai  Tokoh dari Partai PKB Kabupaten Probolinggo, dan dua kali menjadi bupati Kabupaten Probolinggo juga di berangkatkan dari partai PKB. Walaupun sekarang sudah menjadi ketua NASDEM Propinsi Jawa Timur, beliaunya masih tetap di tokoh kan oleh orang-orang PKB di sana. Tapi,  sekarang belianya memunculkan dua orang dekatnya, maka bingunglah masyarakat pemilih yang dulu menggap Hasan Aminuddin itu orang PKB. Mau pilih Kakaknya Hafidz yang merupakan Ketua DPC PKB atau memilih  istrinya . Jelas suara masyarakat yang fanatik dengan Bupati Hasan Aminuddin akan terbelah menjadi dua, maka yang di untungkan adalah kuda hitam, yaitu cabub lain.

JABATAN TURUNAN

                        Fenomena majunya calon kepala daerah yang mempunyai hubungan keluarga dengan pejabat sebelumnya atau incumbent sebenarnya sangat ironis. Hal ini menandakan bahwa kursi kepala daerah adalah jabatan yang menguntungkan, membawa berkah dan bisa dijadikan sarana untuk mengeruk kekayaan serta melanggengkan kekuasaan untuk diturunkan kepada istri, saudara hingga anak-cucu. Karena strategi  ini cukup ampuh untuk mempertahankan kekuasaan, sebab bupati yang sudah menjabat dua periode tidak bisa mencalonkan diri lagi karena dibatasi oleh aturan. Maka, jauh-jauh hari sebelum dirinya lengser harus menyiapkan ”penggantinya”. Sebenarnya tidak ada larangan keluarga pejabat incumbent yang ikut dalam bursa pencalonan Gubernur, bupati, walikota, asal kredibel dan kualified . Tapi yang dikhawatirkan adanya penyalahgunaan wewenang dan fasilitas negara untuk tujuan sang calon yang notabene mempunyai hubungan yang sangat erat dengan pejabat incumbent.

Pemilukada saat ini penuh misteri. Di satu sisi , rakyat kian apatis dan tidak peduli sehingga tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilukada cenderung turun. Apatisme masyarakat ini justru dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu meraih jabatan dan kekayaan. Mereka adalah orang-orang yang ingin melanggengkan kekayaan dan kekuasaan agar tetap jatuh kepada garis keluarganya. Ini merupakan problem teknik pemilukada  selain, problem transparansi pembentukan penyelenggara pemilu, persoalan DPT, money politik, pilkada ulang dan juga pendanaan dalam pemilu kada. Persaingan antara aristokrat (kerabat penguasa) dalam melestarikan posisi dan kedudukan keluarga besar dari tergusurnya dinasti  politik keluarga incumbent.

Regenerasi kepemimpinan politik lokal yang berbasis pada kekerabatan ini lambat tapi pasti akan menggeser isu demokrasi ke aristokrasi. Wacana politik akan kian elitis karena tak ada lagi kompetisi yang seimbang dan fair antara calon orang biasa dan ” orang luar biasa”. Calon yang mempunyai hubungan keluarga dengan incumbent pasti akan lebih diuntungkan ketimbang calon lain.

Menurut Eisenstadt dan Roniger (1984) dalam bukunya Patrons, Clients and Friends: Interpersonal Relations and the structure of trust in Society, ada empat alasan utama mengapa politik kekerabatan lebih disukai elite-elite politik di suatu negara.

Pertama, kepercayaan (trusty) ini lebih disebabkan karena kerabat lebih dipercaya dan tak mungkin berkhianat seperti lazim dilakukan politikus pemburu kekuasaan. Kedua, loyalitas (loyality) kerabat akan jauh memiliki loyalitas tinggi dalam konteks menjalankan semua tugas politik terutama dalam hal menjaga wibawa dan kehormatan kerabat besar ketimbang orang lain. Ketiga, solidaritas (solidarity) kerabat dipastikan jauh memiliki tingkat solidaritas yang tangguh  terutama dalam menolong keluarga besar dari kebangkrutan kekuasaan dan kekayaan ketimbang mereka yang bukan dari kalangan kerabat. Keempat, proteksi (protection) ini terkait dengan model mempertahankan gengsi dan kehormatan keluarga besar. Mereka yang berasal dari keluarga yang sama akan cenderung mampu menjaga apa yang telah dimiliki keluarga ketimbang orang lain.

Mewariskan jabatan atau kekuasaan politik secara prosedural melalui pelaksanaan pemilukada, apakah itu kursi gubernur, bupati atau walikota kepada istri, anak, menantu atau saudara yang hanya berputar di kalangan kerabat penguasa (incumbent) tidaklah melanggar hukum, karena tidak diatur dalam UU No. 32 tahun 2004 juncto UU No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur tentang pemilukada. Namun praktek ini jelas melanggar etika politik, kepatuhan, dan norma umum. Karena model ini jelas akan menyumbat regenerasi calon pemimpin politik lokal berdasar pada kompetisi yang fair yang seharusnya bertumpu pada rekam jejak keilmuan, kemampuan dan integritas moral. Jangan sampai pemilukada hanya menjadi ritual demokrasi prosedural untuk melestarikan aristokrasi yang melahirkan raja-raja kecil di ”kerajaan ” daerah.

Diperlukan Proteksi

Untuk itu perlu adanya aturan larangan secara formal, bahwa anggota keluarga, terutama istri dan anak petahana(incumbent) maju mencalonkan diri menjadi gubernur, bupati, walikota dan wakilnya dalam pemilu kada. Pelarangan ini sudah ditegaskan presiden SBY dalam konteks pilkada (jawa pos, 25/6). Pemerintah juga mengusulkan melalui RUU pilkada, tentang pembatasan bagi kerabat petahana untuk maju menjadi calon kepala daerah. Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada akan diatur tegas tentang politik dinasti atau politik kekerabatan. ” Dalam RUU Pilkada, pemerintah ingin mewujudkan suatu kompetisi pilkada yang dinamis, namun tetap mengaktualisasikan nilai-nilai kesetaraan, dimana perlu adanya pembatasan bagi seorang calon yang merupakan keturunan atau terdapat ikatan perkawinan dengan kepala daerah  petahana,” Dikatakan Menteri Dalam Negeri, Gumawan Fauzi, di Jakarta, (12/6). Gumawan, mampu menjamin suatu kompetisi yang setara, dimana seorang kepala daerah tidak memobilisasi jajaran pemerintah daerah untuk kepentingan dukungan bagi calon yang memiliki darah ” atau punya hubungan perkawinan dengan yang bersangkutan ” . Sementara itu, pengamat politik Universitas Gadjah Mada (UGM), Arie Sudjito, menilai politik dinasti telah merusak regenerasi. Apalagi, bila politik dinasti itu tak mempertimbangkan kapasitas dan kapabilitas.

Penulis adalah Ex-Panwas pilkada 2008, Panwaslu Pileg & Pilpres 2009.

Kabupaten Pasuruan.

Alamat : Jl. Mawar 02 Ledug Prigen Pasuruan

Hp : 081333954053.

DINASTI KEPEMIMPINAN DALAM PEMILU KADA

Oleh : Ki Sonhaji Mutiallah, M. MPd

Pemilihan umum kepala daerah (pemilukada), telah berlangsung di beberapa daerah di Indonesia. Ada kurang lebih 244 daerah yang akan mengggelar pemilukada, Baik itu memilih Gubernur, Bupati, Walikota dan wakilnya. Beberapa problem teknis dalam pemilukada selalu saja terjadi, mulai dari pembentukan penyelenggara pemilu (Panwas dan KPU) yang tidak transparan  dan di kondisikan oleh salah satu penguasa, mahalnya pendanaan pilkada, persoalan DPT, money politics, pilkada ulang, kini bertambah lagi satu permasalahan yang sangat ironis sekali di tengah-tengah bangsa Indonesia sedang membangun Demokrasi yang terbuka. Yakni munculnya kerabat penguasa(incumbent) yang ikut dalam pemilukada baik pemilu gubernur, bupati dan walikota, dengan tujuan       melestarikan posisi dan kedudukan keluarga besar dari tergusurnya dinasti politik keluarga di ’kerajaan’ daerah.

Munculnya calon-calon kepala daerah yang berasal dari ikatan satu darah atau keluarga dengan pejabat incumbent, tentu akan membawa dampak bagi keberlangsungan pelaksanaan pemilukada di daerah. Lihat faktanya, di Bali Eka Wiryastuti (anak Bupati Tabanan Bali Adi Wiryatama) berkompetisi dalam pemilukada menggantikan bapaknya. Di Lampung Rycko Menoza(anak Gubernur Lampung Sjachroedin) menjadi calon Bupati Lampung Selatan. Di Kabupaten Way Kanan ( putra Bupati Way Kanan Agung Ilmu Mangku negara) mencalonkan diri menggantikan ayahnya. Kemudian Arisandi Dharmawan(anak Bupati Tulang Bawang ) mencalonkan diri menjadi bupati Pesawaran. Di Kota Bandar Lampung Heru Sambodo, (anak Ketua Golkar Lampung Alzier Dianis Tabrani ) membidik kursi wali kota. Di Kepulauan Riau, Aida Nasution (istri Gubernur Ismeth Abdullah) mencalonkan diri menggantikan kursi suaminya. Di Yogyakarta Sri Suryawidati(Istri Bupati Bantul Idham Samawi) tak mau kalah ketinggalan maju menjadi calon bupati meneruskan kursi suami. Di Kalimantan Timur, Awang Ferdian Hidayat, putra gubernur Awang Farouk, mencalonkan diri jadi Bupati Kutai Kartanegara (Kukar), bersaing dengan Rita Widyasari anak mantan Bupati Kukar Syaukani, yang pernah dipenjara karena kasus korupsi yang kemudian dibebaskan karena dianggap mengidap sakit permanen. Pembebasan ini kemudian menuai kontroversi.

Di Propinsi Jawa timur juga terjadi calon kepala daerah yang juga berasal dari ikatan keluarga dengan pejabat penguasa., misalnya di Sidoarjo, mantan Bupati Win Hendarso yang sebelumnya menyiapkan orang dekatnya , Bambang Julianto ( Kepala Dinas PU dan Bina Marga Sidoarjo) maju menjadi cabub menggantikan dirinya. Tapi , Win kelimpungan ketika Bambang meninggal. Akhirnya Win memunculkan nama istrinya sebagai calon yang di jagokan, meskipun istrinya tidak kredibel dan tidak pernah terjun ke politik, akhirnya masyarakat Sidoarjo tidak menjatuhkan pilihan pada istri Bupati, maka gagalah istri bupati memegang tahta kepemimpinan di kabupaten Sidoarjo.

Di kabupaten Kediri ada dua istri (istri tua vs istri muda) yang berebut kursi bupati menggantikan suaminya. Mereka adalah Haryanti dan Nurlaila. Haryanti adalah istri sah dari Bupati Kediri Sutrisno. Dengan statusnya ini Haryati lebih beruntung dari pada Nurlaila, karena lebih banyak dukungan dari suami. Keduanya memang bersaing untuk mencari perhatian sang suami, kalau dulu persaingan dalam merebutkan kasur sedang dalam pemilukada  yang direbutkan adalah  jabatan bupati. Dalam persaingan kasur tentu bupati lebih memilih Nurlaila karena lebih mudah dan masih kinyis-kinyis, tapi dalam persaingan politik untuk menduduki tahta di Kabupaten Kediri sang suami tidak main-main beliau lebih memilih yang berpengalaman dan kredibel yaitu Istri tuanya, akhirnya  Haryantilah yang jadi pemenang pemegang tahta kepemimpinan di Kabupaten kediri.

Di Kabupaten tetangga kita Probolinggo ,sedang berlangsung Pemilukada  yang diikuti oleh Istri dari Hasan Aminuddin, Bupati Probolinggo periode 2007 -20012. Hasan memunculkan istrinya , Puput Tantriana Sari atau sering dikenal dengan Tantri Hasan Aminuddin sebagai bakal calon (balon) bupati, begitu juga kakak kandungnya Hafidz Aminuddin ketua DPC PKB Probolinggo maju sebagai balon bupati, sehingga masyarakat Probolinggo menjuluki ”Dinasti Aminuddin”. Majunya istri dan kakak kandung Hasan Aminuddin menjadi perhatian publik di Probolinggo. Dari pengamatan saya munculnya dua candidat bacabup Probolinggo, Istri Hasan Aminuddin dan kakak kandungnya Hafidz Aminuddin akan menguntungkan dan melanggengkan ”Dinasti Aminuddin”, karena bisa memecah suara pemilih di Probolinggo, dan ini adalah bagian dari strategi politik. Tapi, kalau keduanya sama –sama berambisi untuk menjadi yang terkuat, Istri bupati, Tantri Hasan Aminuddin masih yang lebih unggul bila dibandingkan dengan Kakak iparnya. Sebab istri bupati sudah punya dua  poin diatas kakak iparnya. karena sudah banyak dikenal di seluruh wilayah probolinggo, selain menjadi ketua Tim penggerak Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga  (PKK) Kabupaten Probolinggo,  kemanapun suaminya pergi beliaunya selalu mengikuti sehingga penampakan wajahnya sudah tidak asing bagi masyarakat di Probolinggo inilah Promosi “gratis” ini poin pertama. Selain itu trek rekord sang suami sudah tidak di ragukan lagi . Dua kali putaran memimpin Kabupaten Probolinggo dan membawa kemajuan yang cukup pesat bagi Kabupaten Probolinggo. Masyarakat kita masih berpandangan bahwa kesuksesan suami ”Hasan Aminuddin” tidak lepas dari pendampingan sang Istri, inilah poin kedua, yang di kantongi oleh Tantri Hasan Aminudin . Dibandingkan dengan sang Kakak ipar yang masih di bilang pendatang baru, walupun menjadi ketua DPC PKB Probolinggo. Tapi, Hasan Aminuddin harus belajar dari Pemilu kada Kabupaten Pasuruan periode 2008-2013, dimana kuda hitam pasangan Dade Angga –Edy Paripurna (DAdi), yang di dukung oleh Partai PDIP dan partai gurem atau dalam barisan PERISAI yang memenangkan pemilu. Mengalahkan Dua Pasangan, Jusbakir-Joko Cahyono (JUJUR) dan pasangan Muzammil – Jubaidi (JA-DI) . Perlu diketahui bahwa,  Jusbakir, Joko, Muzammil, dan Jubaidi adalah tokok sentral di partai PKB, akibatnya dalam Pemilukada 2008-20013, suara PKB pecah jadi dua, maka menanglah si kuda hitam Pasangan Dade Angga- Edy Paripurna. Apakah kasus di pasuruan akan terulang di Kabupaten Probolinggo?. Masyarakat Probolinggo masih mengakui,  “Hasan Aminuddin” sebagai  Tokoh dari Partai PKB Kabupaten Probolinggo, dan dua kali menjadi bupati Kabupaten Probolinggo juga di berangkatkan dari partai PKB. Walaupun sekarang sudah menjadi ketua NASDEM Propinsi Jawa Timur, beliaunya masih tetap di tokoh kan oleh orang-orang PKB di sana. Tapi,  sekarang belianya memunculkan dua orang dekatnya, maka bingunglah masyarakat pemilih yang dulu menggap Hasan Aminuddin itu orang PKB. Mau pilih Kakaknya Hafidz yang merupakan Ketua DPC PKB atau memilih  istrinya . Jelas suara masyarakat yang fanatik dengan Bupati Hasan Aminuddin akan terbelah menjadi dua, maka yang di untungkan adalah kuda hitam, yaitu cabub lain.

JABATAN TURUNAN

                        Fenomena majunya calon kepala daerah yang mempunyai hubungan keluarga dengan pejabat sebelumnya atau incumbent sebenarnya sangat ironis. Hal ini menandakan bahwa kursi kepala daerah adalah jabatan yang menguntungkan, membawa berkah dan bisa dijadikan sarana untuk mengeruk kekayaan serta melanggengkan kekuasaan untuk diturunkan kepada istri, saudara hingga anak-cucu. Karena strategi  ini cukup ampuh untuk mempertahankan kekuasaan, sebab bupati yang sudah menjabat dua periode tidak bisa mencalonkan diri lagi karena dibatasi oleh aturan. Maka, jauh-jauh hari sebelum dirinya lengser harus menyiapkan ”penggantinya”. Sebenarnya tidak ada larangan keluarga pejabat incumbent yang ikut dalam bursa pencalonan Gubernur, bupati, walikota, asal kredibel dan kualified . Tapi yang dikhawatirkan adanya penyalahgunaan wewenang dan fasilitas negara untuk tujuan sang calon yang notabene mempunyai hubungan yang sangat erat dengan pejabat incumbent.

Pemilukada saat ini penuh misteri. Di satu sisi , rakyat kian apatis dan tidak peduli sehingga tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilukada cenderung turun. Apatisme masyarakat ini justru dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu meraih jabatan dan kekayaan. Mereka adalah orang-orang yang ingin melanggengkan kekayaan dan kekuasaan agar tetap jatuh kepada garis keluarganya. Ini merupakan problem teknik pemilukada  selain, problem transparansi pembentukan penyelenggara pemilu, persoalan DPT, money politik, pilkada ulang dan juga pendanaan dalam pemilu kada. Persaingan antara aristokrat (kerabat penguasa) dalam melestarikan posisi dan kedudukan keluarga besar dari tergusurnya dinasti  politik keluarga incumbent.

Regenerasi kepemimpinan politik lokal yang berbasis pada kekerabatan ini lambat tapi pasti akan menggeser isu demokrasi ke aristokrasi. Wacana politik akan kian elitis karena tak ada lagi kompetisi yang seimbang dan fair antara calon orang biasa dan ” orang luar biasa”. Calon yang mempunyai hubungan keluarga dengan incumbent pasti akan lebih diuntungkan ketimbang calon lain.

Menurut Eisenstadt dan Roniger (1984) dalam bukunya Patrons, Clients and Friends: Interpersonal Relations and the structure of trust in Society, ada empat alasan utama mengapa politik kekerabatan lebih disukai elite-elite politik di suatu negara.

Pertama, kepercayaan (trusty) ini lebih disebabkan karena kerabat lebih dipercaya dan tak mungkin berkhianat seperti lazim dilakukan politikus pemburu kekuasaan. Kedua, loyalitas (loyality) kerabat akan jauh memiliki loyalitas tinggi dalam konteks menjalankan semua tugas politik terutama dalam hal menjaga wibawa dan kehormatan kerabat besar ketimbang orang lain. Ketiga, solidaritas (solidarity) kerabat dipastikan jauh memiliki tingkat solidaritas yang tangguh  terutama dalam menolong keluarga besar dari kebangkrutan kekuasaan dan kekayaan ketimbang mereka yang bukan dari kalangan kerabat. Keempat, proteksi (protection) ini terkait dengan model mempertahankan gengsi dan kehormatan keluarga besar. Mereka yang berasal dari keluarga yang sama akan cenderung mampu menjaga apa yang telah dimiliki keluarga ketimbang orang lain.

Mewariskan jabatan atau kekuasaan politik secara prosedural melalui pelaksanaan pemilukada, apakah itu kursi gubernur, bupati atau walikota kepada istri, anak, menantu atau saudara yang hanya berputar di kalangan kerabat penguasa (incumbent) tidaklah melanggar hukum, karena tidak diatur dalam UU No. 32 tahun 2004 juncto UU No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur tentang pemilukada. Namun praktek ini jelas melanggar etika politik, kepatuhan, dan norma umum. Karena model ini jelas akan menyumbat regenerasi calon pemimpin politik lokal berdasar pada kompetisi yang fair yang seharusnya bertumpu pada rekam jejak keilmuan, kemampuan dan integritas moral. Jangan sampai pemilukada hanya menjadi ritual demokrasi prosedural untuk melestarikan aristokrasi yang melahirkan raja-raja kecil di ”kerajaan ” daerah.

Diperlukan Proteksi

Untuk itu perlu adanya aturan larangan secara formal, bahwa anggota keluarga, terutama istri dan anak petahana(incumbent) maju mencalonkan diri menjadi gubernur, bupati, walikota dan wakilnya dalam pemilu kada. Pelarangan ini sudah ditegaskan presiden SBY dalam konteks pilkada (jawa pos, 25/6). Pemerintah juga mengusulkan melalui RUU pilkada, tentang pembatasan bagi kerabat petahana untuk maju menjadi calon kepala daerah. Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada akan diatur tegas tentang politik dinasti atau politik kekerabatan. ” Dalam RUU Pilkada, pemerintah ingin mewujudkan suatu kompetisi pilkada yang dinamis, namun tetap mengaktualisasikan nilai-nilai kesetaraan, dimana perlu adanya pembatasan bagi seorang calon yang merupakan keturunan atau terdapat ikatan perkawinan dengan kepala daerah  petahana,” Dikatakan Menteri Dalam Negeri, Gumawan Fauzi, di Jakarta, (12/6). Gumawan, mampu menjamin suatu kompetisi yang setara, dimana seorang kepala daerah tidak memobilisasi jajaran pemerintah daerah untuk kepentingan dukungan bagi calon yang memiliki darah ” atau punya hubungan perkawinan dengan yang bersangkutan ” . Sementara itu, pengamat politik Universitas Gadjah Mada (UGM), Arie Sudjito, menilai politik dinasti telah merusak regenerasi. Apalagi, bila politik dinasti itu tak mempertimbangkan kapasitas dan kapabilitas.

Penulis adalah Ex-Panwas pilkada 2008, Panwaslu Pileg & Pilpres 2009.

Kabupaten Pasuruan.

Alamat : Jl. Mawar 02 Ledug Prigen Pasuruan

Hp : 081333954053.

DINASTI KEPEMIMPINAN DALAM PEMILU KADA

Oleh : Ki Sonhaji Mutiallah, M. MPd

Pemilihan umum kepala daerah (pemilukada), telah berlangsung di beberapa daerah di Indonesia. Ada kurang lebih 244 daerah yang akan mengggelar pemilukada, Baik itu memilih Gubernur, Bupati, Walikota dan wakilnya. Beberapa problem teknis dalam pemilukada selalu saja terjadi, mulai dari pembentukan penyelenggara pemilu (Panwas dan KPU) yang tidak transparan  dan di kondisikan oleh salah satu penguasa, mahalnya pendanaan pilkada, persoalan DPT, money politics, pilkada ulang, kini bertambah lagi satu permasalahan yang sangat ironis sekali di tengah-tengah bangsa Indonesia sedang membangun Demokrasi yang terbuka. Yakni munculnya kerabat penguasa(incumbent) yang ikut dalam pemilukada baik pemilu gubernur, bupati dan walikota, dengan tujuan       melestarikan posisi dan kedudukan keluarga besar dari tergusurnya dinasti politik keluarga di ’kerajaan’ daerah.

Munculnya calon-calon kepala daerah yang berasal dari ikatan satu darah atau keluarga dengan pejabat incumbent, tentu akan membawa dampak bagi keberlangsungan pelaksanaan pemilukada di daerah. Lihat faktanya, di Bali Eka Wiryastuti (anak Bupati Tabanan Bali Adi Wiryatama) berkompetisi dalam pemilukada menggantikan bapaknya. Di Lampung Rycko Menoza(anak Gubernur Lampung Sjachroedin) menjadi calon Bupati Lampung Selatan. Di Kabupaten Way Kanan ( putra Bupati Way Kanan Agung Ilmu Mangku negara) mencalonkan diri menggantikan ayahnya. Kemudian Arisandi Dharmawan(anak Bupati Tulang Bawang ) mencalonkan diri menjadi bupati Pesawaran. Di Kota Bandar Lampung Heru Sambodo, (anak Ketua Golkar Lampung Alzier Dianis Tabrani ) membidik kursi wali kota. Di Kepulauan Riau, Aida Nasution (istri Gubernur Ismeth Abdullah) mencalonkan diri menggantikan kursi suaminya. Di Yogyakarta Sri Suryawidati(Istri Bupati Bantul Idham Samawi) tak mau kalah ketinggalan maju menjadi calon bupati meneruskan kursi suami. Di Kalimantan Timur, Awang Ferdian Hidayat, putra gubernur Awang Farouk, mencalonkan diri jadi Bupati Kutai Kartanegara (Kukar), bersaing dengan Rita Widyasari anak mantan Bupati Kukar Syaukani, yang pernah dipenjara karena kasus korupsi yang kemudian dibebaskan karena dianggap mengidap sakit permanen. Pembebasan ini kemudian menuai kontroversi.

Di Propinsi Jawa timur juga terjadi calon kepala daerah yang juga berasal dari ikatan keluarga dengan pejabat penguasa., misalnya di Sidoarjo, mantan Bupati Win Hendarso yang sebelumnya menyiapkan orang dekatnya , Bambang Julianto ( Kepala Dinas PU dan Bina Marga Sidoarjo) maju menjadi cabub menggantikan dirinya. Tapi , Win kelimpungan ketika Bambang meninggal. Akhirnya Win memunculkan nama istrinya sebagai calon yang di jagokan, meskipun istrinya tidak kredibel dan tidak pernah terjun ke politik, akhirnya masyarakat Sidoarjo tidak menjatuhkan pilihan pada istri Bupati, maka gagalah istri bupati memegang tahta kepemimpinan di kabupaten Sidoarjo.

Di kabupaten Kediri ada dua istri (istri tua vs istri muda) yang berebut kursi bupati menggantikan suaminya. Mereka adalah Haryanti dan Nurlaila. Haryanti adalah istri sah dari Bupati Kediri Sutrisno. Dengan statusnya ini Haryati lebih beruntung dari pada Nurlaila, karena lebih banyak dukungan dari suami. Keduanya memang bersaing untuk mencari perhatian sang suami, kalau dulu persaingan dalam merebutkan kasur sedang dalam pemilukada  yang direbutkan adalah  jabatan bupati. Dalam persaingan kasur tentu bupati lebih memilih Nurlaila karena lebih mudah dan masih kinyis-kinyis, tapi dalam persaingan politik untuk menduduki tahta di Kabupaten Kediri sang suami tidak main-main beliau lebih memilih yang berpengalaman dan kredibel yaitu Istri tuanya, akhirnya  Haryantilah yang jadi pemenang pemegang tahta kepemimpinan di Kabupaten kediri.

Di Kabupaten tetangga kita Probolinggo ,sedang berlangsung Pemilukada  yang diikuti oleh Istri dari Hasan Aminuddin, Bupati Probolinggo periode 2007 -20012. Hasan memunculkan istrinya , Puput Tantriana Sari atau sering dikenal dengan Tantri Hasan Aminuddin sebagai bakal calon (balon) bupati, begitu juga kakak kandungnya Hafidz Aminuddin ketua DPC PKB Probolinggo maju sebagai balon bupati, sehingga masyarakat Probolinggo menjuluki ”Dinasti Aminuddin”. Majunya istri dan kakak kandung Hasan Aminuddin menjadi perhatian publik di Probolinggo. Dari pengamatan saya munculnya dua candidat bacabup Probolinggo, Istri Hasan Aminuddin dan kakak kandungnya Hafidz Aminuddin akan menguntungkan dan melanggengkan ”Dinasti Aminuddin”, karena bisa memecah suara pemilih di Probolinggo, dan ini adalah bagian dari strategi politik. Tapi, kalau keduanya sama –sama berambisi untuk menjadi yang terkuat, Istri bupati, Tantri Hasan Aminuddin masih yang lebih unggul bila dibandingkan dengan Kakak iparnya. Sebab istri bupati sudah punya dua  poin diatas kakak iparnya. karena sudah banyak dikenal di seluruh wilayah probolinggo, selain menjadi ketua Tim penggerak Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga  (PKK) Kabupaten Probolinggo,  kemanapun suaminya pergi beliaunya selalu mengikuti sehingga penampakan wajahnya sudah tidak asing bagi masyarakat di Probolinggo inilah Promosi “gratis” ini poin pertama. Selain itu trek rekord sang suami sudah tidak di ragukan lagi . Dua kali putaran memimpin Kabupaten Probolinggo dan membawa kemajuan yang cukup pesat bagi Kabupaten Probolinggo. Masyarakat kita masih berpandangan bahwa kesuksesan suami ”Hasan Aminuddin” tidak lepas dari pendampingan sang Istri, inilah poin kedua, yang di kantongi oleh Tantri Hasan Aminudin . Dibandingkan dengan sang Kakak ipar yang masih di bilang pendatang baru, walupun menjadi ketua DPC PKB Probolinggo. Tapi, Hasan Aminuddin harus belajar dari Pemilu kada Kabupaten Pasuruan periode 2008-2013, dimana kuda hitam pasangan Dade Angga –Edy Paripurna (DAdi), yang di dukung oleh Partai PDIP dan partai gurem atau dalam barisan PERISAI yang memenangkan pemilu. Mengalahkan Dua Pasangan, Jusbakir-Joko Cahyono (JUJUR) dan pasangan Muzammil – Jubaidi (JA-DI) . Perlu diketahui bahwa,  Jusbakir, Joko, Muzammil, dan Jubaidi adalah tokok sentral di partai PKB, akibatnya dalam Pemilukada 2008-20013, suara PKB pecah jadi dua, maka menanglah si kuda hitam Pasangan Dade Angga- Edy Paripurna. Apakah kasus di pasuruan akan terulang di Kabupaten Probolinggo?. Masyarakat Probolinggo masih mengakui,  “Hasan Aminuddin” sebagai  Tokoh dari Partai PKB Kabupaten Probolinggo, dan dua kali menjadi bupati Kabupaten Probolinggo juga di berangkatkan dari partai PKB. Walaupun sekarang sudah menjadi ketua NASDEM Propinsi Jawa Timur, beliaunya masih tetap di tokoh kan oleh orang-orang PKB di sana. Tapi,  sekarang belianya memunculkan dua orang dekatnya, maka bingunglah masyarakat pemilih yang dulu menggap Hasan Aminuddin itu orang PKB. Mau pilih Kakaknya Hafidz yang merupakan Ketua DPC PKB atau memilih  istrinya . Jelas suara masyarakat yang fanatik dengan Bupati Hasan Aminuddin akan terbelah menjadi dua, maka yang di untungkan adalah kuda hitam, yaitu cabub lain.

JABATAN TURUNAN

                        Fenomena majunya calon kepala daerah yang mempunyai hubungan keluarga dengan pejabat sebelumnya atau incumbent sebenarnya sangat ironis. Hal ini menandakan bahwa kursi kepala daerah adalah jabatan yang menguntungkan, membawa berkah dan bisa dijadikan sarana untuk mengeruk kekayaan serta melanggengkan kekuasaan untuk diturunkan kepada istri, saudara hingga anak-cucu. Karena strategi  ini cukup ampuh untuk mempertahankan kekuasaan, sebab bupati yang sudah menjabat dua periode tidak bisa mencalonkan diri lagi karena dibatasi oleh aturan. Maka, jauh-jauh hari sebelum dirinya lengser harus menyiapkan ”penggantinya”. Sebenarnya tidak ada larangan keluarga pejabat incumbent yang ikut dalam bursa pencalonan Gubernur, bupati, walikota, asal kredibel dan kualified . Tapi yang dikhawatirkan adanya penyalahgunaan wewenang dan fasilitas negara untuk tujuan sang calon yang notabene mempunyai hubungan yang sangat erat dengan pejabat incumbent.

Pemilukada saat ini penuh misteri. Di satu sisi , rakyat kian apatis dan tidak peduli sehingga tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilukada cenderung turun. Apatisme masyarakat ini justru dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu meraih jabatan dan kekayaan. Mereka adalah orang-orang yang ingin melanggengkan kekayaan dan kekuasaan agar tetap jatuh kepada garis keluarganya. Ini merupakan problem teknik pemilukada  selain, problem transparansi pembentukan penyelenggara pemilu, persoalan DPT, money politik, pilkada ulang dan juga pendanaan dalam pemilu kada. Persaingan antara aristokrat (kerabat penguasa) dalam melestarikan posisi dan kedudukan keluarga besar dari tergusurnya dinasti  politik keluarga incumbent.

Regenerasi kepemimpinan politik lokal yang berbasis pada kekerabatan ini lambat tapi pasti akan menggeser isu demokrasi ke aristokrasi. Wacana politik akan kian elitis karena tak ada lagi kompetisi yang seimbang dan fair antara calon orang biasa dan ” orang luar biasa”. Calon yang mempunyai hubungan keluarga dengan incumbent pasti akan lebih diuntungkan ketimbang calon lain.

Menurut Eisenstadt dan Roniger (1984) dalam bukunya Patrons, Clients and Friends: Interpersonal Relations and the structure of trust in Society, ada empat alasan utama mengapa politik kekerabatan lebih disukai elite-elite politik di suatu negara.

Pertama, kepercayaan (trusty) ini lebih disebabkan karena kerabat lebih dipercaya dan tak mungkin berkhianat seperti lazim dilakukan politikus pemburu kekuasaan. Kedua, loyalitas (loyality) kerabat akan jauh memiliki loyalitas tinggi dalam konteks menjalankan semua tugas politik terutama dalam hal menjaga wibawa dan kehormatan kerabat besar ketimbang orang lain. Ketiga, solidaritas (solidarity) kerabat dipastikan jauh memiliki tingkat solidaritas yang tangguh  terutama dalam menolong keluarga besar dari kebangkrutan kekuasaan dan kekayaan ketimbang mereka yang bukan dari kalangan kerabat. Keempat, proteksi (protection) ini terkait dengan model mempertahankan gengsi dan kehormatan keluarga besar. Mereka yang berasal dari keluarga yang sama akan cenderung mampu menjaga apa yang telah dimiliki keluarga ketimbang orang lain.

Mewariskan jabatan atau kekuasaan politik secara prosedural melalui pelaksanaan pemilukada, apakah itu kursi gubernur, bupati atau walikota kepada istri, anak, menantu atau saudara yang hanya berputar di kalangan kerabat penguasa (incumbent) tidaklah melanggar hukum, karena tidak diatur dalam UU No. 32 tahun 2004 juncto UU No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur tentang pemilukada. Namun praktek ini jelas melanggar etika politik, kepatuhan, dan norma umum. Karena model ini jelas akan menyumbat regenerasi calon pemimpin politik lokal berdasar pada kompetisi yang fair yang seharusnya bertumpu pada rekam jejak keilmuan, kemampuan dan integritas moral. Jangan sampai pemilukada hanya menjadi ritual demokrasi prosedural untuk melestarikan aristokrasi yang melahirkan raja-raja kecil di ”kerajaan ” daerah.

Diperlukan Proteksi

Untuk itu perlu adanya aturan larangan secara formal, bahwa anggota keluarga, terutama istri dan anak petahana(incumbent) maju mencalonkan diri menjadi gubernur, bupati, walikota dan wakilnya dalam pemilu kada. Pelarangan ini sudah ditegaskan presiden SBY dalam konteks pilkada (jawa pos, 25/6). Pemerintah juga mengusulkan melalui RUU pilkada, tentang pembatasan bagi kerabat petahana untuk maju menjadi calon kepala daerah. Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada akan diatur tegas tentang politik dinasti atau politik kekerabatan. ” Dalam RUU Pilkada, pemerintah ingin mewujudkan suatu kompetisi pilkada yang dinamis, namun tetap mengaktualisasikan nilai-nilai kesetaraan, dimana perlu adanya pembatasan bagi seorang calon yang merupakan keturunan atau terdapat ikatan perkawinan dengan kepala daerah  petahana,” Dikatakan Menteri Dalam Negeri, Gumawan Fauzi, di Jakarta, (12/6). Gumawan, mampu menjamin suatu kompetisi yang setara, dimana seorang kepala daerah tidak memobilisasi jajaran pemerintah daerah untuk kepentingan dukungan bagi calon yang memiliki darah ” atau punya hubungan perkawinan dengan yang bersangkutan ” . Sementara itu, pengamat politik Universitas Gadjah Mada (UGM), Arie Sudjito, menilai politik dinasti telah merusak regenerasi. Apalagi, bila politik dinasti itu tak mempertimbangkan kapasitas dan kapabilitas.

Penulis adalah Ex-Panwas pilkada 2008, Panwaslu Pileg & Pilpres 2009.

Kabupaten Pasuruan.

Alamat : Jl. Mawar 02 Ledug Prigen Pasuruan

Hp : 081333954053.

DINASTI KEPEMIMPINAN DALAM PEMILU KADA

Oleh : Ki Sonhaji Mutiallah, M. MPd

Pemilihan umum kepala daerah (pemilukada), telah berlangsung di beberapa daerah di Indonesia. Ada kurang lebih 244 daerah yang akan mengggelar pemilukada, Baik itu memilih Gubernur, Bupati, Walikota dan wakilnya. Beberapa problem teknis dalam pemilukada selalu saja terjadi, mulai dari pembentukan penyelenggara pemilu (Panwas dan KPU) yang tidak transparan  dan di kondisikan oleh salah satu penguasa, mahalnya pendanaan pilkada, persoalan DPT, money politics, pilkada ulang, kini bertambah lagi satu permasalahan yang sangat ironis sekali di tengah-tengah bangsa Indonesia sedang membangun Demokrasi yang terbuka. Yakni munculnya kerabat penguasa(incumbent) yang ikut dalam pemilukada baik pemilu gubernur, bupati dan walikota, dengan tujuan       melestarikan posisi dan kedudukan keluarga besar dari tergusurnya dinasti politik keluarga di ’kerajaan’ daerah.

Munculnya calon-calon kepala daerah yang berasal dari ikatan satu darah atau keluarga dengan pejabat incumbent, tentu akan membawa dampak bagi keberlangsungan pelaksanaan pemilukada di daerah. Lihat faktanya, di Bali Eka Wiryastuti (anak Bupati Tabanan Bali Adi Wiryatama) berkompetisi dalam pemilukada menggantikan bapaknya. Di Lampung Rycko Menoza(anak Gubernur Lampung Sjachroedin) menjadi calon Bupati Lampung Selatan. Di Kabupaten Way Kanan ( putra Bupati Way Kanan Agung Ilmu Mangku negara) mencalonkan diri menggantikan ayahnya. Kemudian Arisandi Dharmawan(anak Bupati Tulang Bawang ) mencalonkan diri menjadi bupati Pesawaran. Di Kota Bandar Lampung Heru Sambodo, (anak Ketua Golkar Lampung Alzier Dianis Tabrani ) membidik kursi wali kota. Di Kepulauan Riau, Aida Nasution (istri Gubernur Ismeth Abdullah) mencalonkan diri menggantikan kursi suaminya. Di Yogyakarta Sri Suryawidati(Istri Bupati Bantul Idham Samawi) tak mau kalah ketinggalan maju menjadi calon bupati meneruskan kursi suami. Di Kalimantan Timur, Awang Ferdian Hidayat, putra gubernur Awang Farouk, mencalonkan diri jadi Bupati Kutai Kartanegara (Kukar), bersaing dengan Rita Widyasari anak mantan Bupati Kukar Syaukani, yang pernah dipenjara karena kasus korupsi yang kemudian dibebaskan karena dianggap mengidap sakit permanen. Pembebasan ini kemudian menuai kontroversi.

Di Propinsi Jawa timur juga terjadi calon kepala daerah yang juga berasal dari ikatan keluarga dengan pejabat penguasa., misalnya di Sidoarjo, mantan Bupati Win Hendarso yang sebelumnya menyiapkan orang dekatnya , Bambang Julianto ( Kepala Dinas PU dan Bina Marga Sidoarjo) maju menjadi cabub menggantikan dirinya. Tapi , Win kelimpungan ketika Bambang meninggal. Akhirnya Win memunculkan nama istrinya sebagai calon yang di jagokan, meskipun istrinya tidak kredibel dan tidak pernah terjun ke politik, akhirnya masyarakat Sidoarjo tidak menjatuhkan pilihan pada istri Bupati, maka gagalah istri bupati memegang tahta kepemimpinan di kabupaten Sidoarjo.

Di kabupaten Kediri ada dua istri (istri tua vs istri muda) yang berebut kursi bupati menggantikan suaminya. Mereka adalah Haryanti dan Nurlaila. Haryanti adalah istri sah dari Bupati Kediri Sutrisno. Dengan statusnya ini Haryati lebih beruntung dari pada Nurlaila, karena lebih banyak dukungan dari suami. Keduanya memang bersaing untuk mencari perhatian sang suami, kalau dulu persaingan dalam merebutkan kasur sedang dalam pemilukada  yang direbutkan adalah  jabatan bupati. Dalam persaingan kasur tentu bupati lebih memilih Nurlaila karena lebih mudah dan masih kinyis-kinyis, tapi dalam persaingan politik untuk menduduki tahta di Kabupaten Kediri sang suami tidak main-main beliau lebih memilih yang berpengalaman dan kredibel yaitu Istri tuanya, akhirnya  Haryantilah yang jadi pemenang pemegang tahta kepemimpinan di Kabupaten kediri.

Di Kabupaten tetangga kita Probolinggo ,sedang berlangsung Pemilukada  yang diikuti oleh Istri dari Hasan Aminuddin, Bupati Probolinggo periode 2007 -20012. Hasan memunculkan istrinya , Puput Tantriana Sari atau sering dikenal dengan Tantri Hasan Aminuddin sebagai bakal calon (balon) bupati, begitu juga kakak kandungnya Hafidz Aminuddin ketua DPC PKB Probolinggo maju sebagai balon bupati, sehingga masyarakat Probolinggo menjuluki ”Dinasti Aminuddin”. Majunya istri dan kakak kandung Hasan Aminuddin menjadi perhatian publik di Probolinggo. Dari pengamatan saya munculnya dua candidat bacabup Probolinggo, Istri Hasan Aminuddin dan kakak kandungnya Hafidz Aminuddin akan menguntungkan dan melanggengkan ”Dinasti Aminuddin”, karena bisa memecah suara pemilih di Probolinggo, dan ini adalah bagian dari strategi politik. Tapi, kalau keduanya sama –sama berambisi untuk menjadi yang terkuat, Istri bupati, Tantri Hasan Aminuddin masih yang lebih unggul bila dibandingkan dengan Kakak iparnya. Sebab istri bupati sudah punya dua  poin diatas kakak iparnya. karena sudah banyak dikenal di seluruh wilayah probolinggo, selain menjadi ketua Tim penggerak Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga  (PKK) Kabupaten Probolinggo,  kemanapun suaminya pergi beliaunya selalu mengikuti sehingga penampakan wajahnya sudah tidak asing bagi masyarakat di Probolinggo inilah Promosi “gratis” ini poin pertama. Selain itu trek rekord sang suami sudah tidak di ragukan lagi . Dua kali putaran memimpin Kabupaten Probolinggo dan membawa kemajuan yang cukup pesat bagi Kabupaten Probolinggo. Masyarakat kita masih berpandangan bahwa kesuksesan suami ”Hasan Aminuddin” tidak lepas dari pendampingan sang Istri, inilah poin kedua, yang di kantongi oleh Tantri Hasan Aminudin . Dibandingkan dengan sang Kakak ipar yang masih di bilang pendatang baru, walupun menjadi ketua DPC PKB Probolinggo. Tapi, Hasan Aminuddin harus belajar dari Pemilu kada Kabupaten Pasuruan periode 2008-2013, dimana kuda hitam pasangan Dade Angga –Edy Paripurna (DAdi), yang di dukung oleh Partai PDIP dan partai gurem atau dalam barisan PERISAI yang memenangkan pemilu. Mengalahkan Dua Pasangan, Jusbakir-Joko Cahyono (JUJUR) dan pasangan Muzammil – Jubaidi (JA-DI) . Perlu diketahui bahwa,  Jusbakir, Joko, Muzammil, dan Jubaidi adalah tokok sentral di partai PKB, akibatnya dalam Pemilukada 2008-20013, suara PKB pecah jadi dua, maka menanglah si kuda hitam Pasangan Dade Angga- Edy Paripurna. Apakah kasus di pasuruan akan terulang di Kabupaten Probolinggo?. Masyarakat Probolinggo masih mengakui,  “Hasan Aminuddin” sebagai  Tokoh dari Partai PKB Kabupaten Probolinggo, dan dua kali menjadi bupati Kabupaten Probolinggo juga di berangkatkan dari partai PKB. Walaupun sekarang sudah menjadi ketua NASDEM Propinsi Jawa Timur, beliaunya masih tetap di tokoh kan oleh orang-orang PKB di sana. Tapi,  sekarang belianya memunculkan dua orang dekatnya, maka bingunglah masyarakat pemilih yang dulu menggap Hasan Aminuddin itu orang PKB. Mau pilih Kakaknya Hafidz yang merupakan Ketua DPC PKB atau memilih  istrinya . Jelas suara masyarakat yang fanatik dengan Bupati Hasan Aminuddin akan terbelah menjadi dua, maka yang di untungkan adalah kuda hitam, yaitu cabub lain.

JABATAN TURUNAN

                        Fenomena majunya calon kepala daerah yang mempunyai hubungan keluarga dengan pejabat sebelumnya atau incumbent sebenarnya sangat ironis. Hal ini menandakan bahwa kursi kepala daerah adalah jabatan yang menguntungkan, membawa berkah dan bisa dijadikan sarana untuk mengeruk kekayaan serta melanggengkan kekuasaan untuk diturunkan kepada istri, saudara hingga anak-cucu. Karena strategi  ini cukup ampuh untuk mempertahankan kekuasaan, sebab bupati yang sudah menjabat dua periode tidak bisa mencalonkan diri lagi karena dibatasi oleh aturan. Maka, jauh-jauh hari sebelum dirinya lengser harus menyiapkan ”penggantinya”. Sebenarnya tidak ada larangan keluarga pejabat incumbent yang ikut dalam bursa pencalonan Gubernur, bupati, walikota, asal kredibel dan kualified . Tapi yang dikhawatirkan adanya penyalahgunaan wewenang dan fasilitas negara untuk tujuan sang calon yang notabene mempunyai hubungan yang sangat erat dengan pejabat incumbent.

Pemilukada saat ini penuh misteri. Di satu sisi , rakyat kian apatis dan tidak peduli sehingga tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilukada cenderung turun. Apatisme masyarakat ini justru dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu meraih jabatan dan kekayaan. Mereka adalah orang-orang yang ingin melanggengkan kekayaan dan kekuasaan agar tetap jatuh kepada garis keluarganya. Ini merupakan problem teknik pemilukada  selain, problem transparansi pembentukan penyelenggara pemilu, persoalan DPT, money politik, pilkada ulang dan juga pendanaan dalam pemilu kada. Persaingan antara aristokrat (kerabat penguasa) dalam melestarikan posisi dan kedudukan keluarga besar dari tergusurnya dinasti  politik keluarga incumbent.

Regenerasi kepemimpinan politik lokal yang berbasis pada kekerabatan ini lambat tapi pasti akan menggeser isu demokrasi ke aristokrasi. Wacana politik akan kian elitis karena tak ada lagi kompetisi yang seimbang dan fair antara calon orang biasa dan ” orang luar biasa”. Calon yang mempunyai hubungan keluarga dengan incumbent pasti akan lebih diuntungkan ketimbang calon lain.

Menurut Eisenstadt dan Roniger (1984) dalam bukunya Patrons, Clients and Friends: Interpersonal Relations and the structure of trust in Society, ada empat alasan utama mengapa politik kekerabatan lebih disukai elite-elite politik di suatu negara.

Pertama, kepercayaan (trusty) ini lebih disebabkan karena kerabat lebih dipercaya dan tak mungkin berkhianat seperti lazim dilakukan politikus pemburu kekuasaan. Kedua, loyalitas (loyality) kerabat akan jauh memiliki loyalitas tinggi dalam konteks menjalankan semua tugas politik terutama dalam hal menjaga wibawa dan kehormatan kerabat besar ketimbang orang lain. Ketiga, solidaritas (solidarity) kerabat dipastikan jauh memiliki tingkat solidaritas yang tangguh  terutama dalam menolong keluarga besar dari kebangkrutan kekuasaan dan kekayaan ketimbang mereka yang bukan dari kalangan kerabat. Keempat, proteksi (protection) ini terkait dengan model mempertahankan gengsi dan kehormatan keluarga besar. Mereka yang berasal dari keluarga yang sama akan cenderung mampu menjaga apa yang telah dimiliki keluarga ketimbang orang lain.

Mewariskan jabatan atau kekuasaan politik secara prosedural melalui pelaksanaan pemilukada, apakah itu kursi gubernur, bupati atau walikota kepada istri, anak, menantu atau saudara yang hanya berputar di kalangan kerabat penguasa (incumbent) tidaklah melanggar hukum, karena tidak diatur dalam UU No. 32 tahun 2004 juncto UU No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur tentang pemilukada. Namun praktek ini jelas melanggar etika politik, kepatuhan, dan norma umum. Karena model ini jelas akan menyumbat regenerasi calon pemimpin politik lokal berdasar pada kompetisi yang fair yang seharusnya bertumpu pada rekam jejak keilmuan, kemampuan dan integritas moral. Jangan sampai pemilukada hanya menjadi ritual demokrasi prosedural untuk melestarikan aristokrasi yang melahirkan raja-raja kecil di ”kerajaan ” daerah.

Diperlukan Proteksi

Untuk itu perlu adanya aturan larangan secara formal, bahwa anggota keluarga, terutama istri dan anak petahana(incumbent) maju mencalonkan diri menjadi gubernur, bupati, walikota dan wakilnya dalam pemilu kada. Pelarangan ini sudah ditegaskan presiden SBY dalam konteks pilkada (jawa pos, 25/6). Pemerintah juga mengusulkan melalui RUU pilkada, tentang pembatasan bagi kerabat petahana untuk maju menjadi calon kepala daerah. Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada akan diatur tegas tentang politik dinasti atau politik kekerabatan. ” Dalam RUU Pilkada, pemerintah ingin mewujudkan suatu kompetisi pilkada yang dinamis, namun tetap mengaktualisasikan nilai-nilai kesetaraan, dimana perlu adanya pembatasan bagi seorang calon yang merupakan keturunan atau terdapat ikatan perkawinan dengan kepala daerah  petahana,” Dikatakan Menteri Dalam Negeri, Gumawan Fauzi, di Jakarta, (12/6). Gumawan, mampu menjamin suatu kompetisi yang setara, dimana seorang kepala daerah tidak memobilisasi jajaran pemerintah daerah untuk kepentingan dukungan bagi calon yang memiliki darah ” atau punya hubungan perkawinan dengan yang bersangkutan ” . Sementara itu, pengamat politik Universitas Gadjah Mada (UGM), Arie Sudjito, menilai politik dinasti telah merusak regenerasi. Apalagi, bila politik dinasti itu tak mempertimbangkan kapasitas dan kapabilitas.

Penulis adalah Ex-Panwas pilkada 2008, Panwaslu Pileg & Pilpres 2009.

Kabupaten Pasuruan.

Alamat : Jl. Mawar 02 Ledug Prigen Pasuruan

Hp : 081333954053.

DINASTI KEPEMIMPINAN DALAM PEMILU KADA

Oleh : Ki Sonhaji Mutiallah, M. MPd

Pemilihan umum kepala daerah (pemilukada), telah berlangsung di beberapa daerah di Indonesia. Ada kurang lebih 244 daerah yang akan mengggelar pemilukada, Baik itu memilih Gubernur, Bupati, Walikota dan wakilnya. Beberapa problem teknis dalam pemilukada selalu saja terjadi, mulai dari pembentukan penyelenggara pemilu (Panwas dan KPU) yang tidak transparan  dan di kondisikan oleh salah satu penguasa, mahalnya pendanaan pilkada, persoalan DPT, money politics, pilkada ulang, kini bertambah lagi satu permasalahan yang sangat ironis sekali di tengah-tengah bangsa Indonesia sedang membangun Demokrasi yang terbuka. Yakni munculnya kerabat penguasa(incumbent) yang ikut dalam pemilukada baik pemilu gubernur, bupati dan walikota, dengan tujuan       melestarikan posisi dan kedudukan keluarga besar dari tergusurnya dinasti politik keluarga di ’kerajaan’ daerah.

Munculnya calon-calon kepala daerah yang berasal dari ikatan satu darah atau keluarga dengan pejabat incumbent, tentu akan membawa dampak bagi keberlangsungan pelaksanaan pemilukada di daerah. Lihat faktanya, di Bali Eka Wiryastuti (anak Bupati Tabanan Bali Adi Wiryatama) berkompetisi dalam pemilukada menggantikan bapaknya. Di Lampung Rycko Menoza(anak Gubernur Lampung Sjachroedin) menjadi calon Bupati Lampung Selatan. Di Kabupaten Way Kanan ( putra Bupati Way Kanan Agung Ilmu Mangku negara) mencalonkan diri menggantikan ayahnya. Kemudian Arisandi Dharmawan(anak Bupati Tulang Bawang ) mencalonkan diri menjadi bupati Pesawaran. Di Kota Bandar Lampung Heru Sambodo, (anak Ketua Golkar Lampung Alzier Dianis Tabrani ) membidik kursi wali kota. Di Kepulauan Riau, Aida Nasution (istri Gubernur Ismeth Abdullah) mencalonkan diri menggantikan kursi suaminya. Di Yogyakarta Sri Suryawidati(Istri Bupati Bantul Idham Samawi) tak mau kalah ketinggalan maju menjadi calon bupati meneruskan kursi suami. Di Kalimantan Timur, Awang Ferdian Hidayat, putra gubernur Awang Farouk, mencalonkan diri jadi Bupati Kutai Kartanegara (Kukar), bersaing dengan Rita Widyasari anak mantan Bupati Kukar Syaukani, yang pernah dipenjara karena kasus korupsi yang kemudian dibebaskan karena dianggap mengidap sakit permanen. Pembebasan ini kemudian menuai kontroversi.

Di Propinsi Jawa timur juga terjadi calon kepala daerah yang juga berasal dari ikatan keluarga dengan pejabat penguasa., misalnya di Sidoarjo, mantan Bupati Win Hendarso yang sebelumnya menyiapkan orang dekatnya , Bambang Julianto ( Kepala Dinas PU dan Bina Marga Sidoarjo) maju menjadi cabub menggantikan dirinya. Tapi , Win kelimpungan ketika Bambang meninggal. Akhirnya Win memunculkan nama istrinya sebagai calon yang di jagokan, meskipun istrinya tidak kredibel dan tidak pernah terjun ke politik, akhirnya masyarakat Sidoarjo tidak menjatuhkan pilihan pada istri Bupati, maka gagalah istri bupati memegang tahta kepemimpinan di kabupaten Sidoarjo.

Di kabupaten Kediri ada dua istri (istri tua vs istri muda) yang berebut kursi bupati menggantikan suaminya. Mereka adalah Haryanti dan Nurlaila. Haryanti adalah istri sah dari Bupati Kediri Sutrisno. Dengan statusnya ini Haryati lebih beruntung dari pada Nurlaila, karena lebih banyak dukungan dari suami. Keduanya memang bersaing untuk mencari perhatian sang suami, kalau dulu persaingan dalam merebutkan kasur sedang dalam pemilukada  yang direbutkan adalah  jabatan bupati. Dalam persaingan kasur tentu bupati lebih memilih Nurlaila karena lebih mudah dan masih kinyis-kinyis, tapi dalam persaingan politik untuk menduduki tahta di Kabupaten Kediri sang suami tidak main-main beliau lebih memilih yang berpengalaman dan kredibel yaitu Istri tuanya, akhirnya  Haryantilah yang jadi pemenang pemegang tahta kepemimpinan di Kabupaten kediri.

Di Kabupaten tetangga kita Probolinggo ,sedang berlangsung Pemilukada  yang diikuti oleh Istri dari Hasan Aminuddin, Bupati Probolinggo periode 2007 -20012. Hasan memunculkan istrinya , Puput Tantriana Sari atau sering dikenal dengan Tantri Hasan Aminuddin sebagai bakal calon (balon) bupati, begitu juga kakak kandungnya Hafidz Aminuddin ketua DPC PKB Probolinggo maju sebagai balon bupati, sehingga masyarakat Probolinggo menjuluki ”Dinasti Aminuddin”. Majunya istri dan kakak kandung Hasan Aminuddin menjadi perhatian publik di Probolinggo. Dari pengamatan saya munculnya dua candidat bacabup Probolinggo, Istri Hasan Aminuddin dan kakak kandungnya Hafidz Aminuddin akan menguntungkan dan melanggengkan ”Dinasti Aminuddin”, karena bisa memecah suara pemilih di Probolinggo, dan ini adalah bagian dari strategi politik. Tapi, kalau keduanya sama –sama berambisi untuk menjadi yang terkuat, Istri bupati, Tantri Hasan Aminuddin masih yang lebih unggul bila dibandingkan dengan Kakak iparnya. Sebab istri bupati sudah punya dua  poin diatas kakak iparnya. karena sudah banyak dikenal di seluruh wilayah probolinggo, selain menjadi ketua Tim penggerak Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga  (PKK) Kabupaten Probolinggo,  kemanapun suaminya pergi beliaunya selalu mengikuti sehingga penampakan wajahnya sudah tidak asing bagi masyarakat di Probolinggo inilah Promosi “gratis” ini poin pertama. Selain itu trek rekord sang suami sudah tidak di ragukan lagi . Dua kali putaran memimpin Kabupaten Probolinggo dan membawa kemajuan yang cukup pesat bagi Kabupaten Probolinggo. Masyarakat kita masih berpandangan bahwa kesuksesan suami ”Hasan Aminuddin” tidak lepas dari pendampingan sang Istri, inilah poin kedua, yang di kantongi oleh Tantri Hasan Aminudin . Dibandingkan dengan sang Kakak ipar yang masih di bilang pendatang baru, walupun menjadi ketua DPC PKB Probolinggo. Tapi, Hasan Aminuddin harus belajar dari Pemilu kada Kabupaten Pasuruan periode 2008-2013, dimana kuda hitam pasangan Dade Angga –Edy Paripurna (DAdi), yang di dukung oleh Partai PDIP dan partai gurem atau dalam barisan PERISAI yang memenangkan pemilu. Mengalahkan Dua Pasangan, Jusbakir-Joko Cahyono (JUJUR) dan pasangan Muzammil – Jubaidi (JA-DI) . Perlu diketahui bahwa,  Jusbakir, Joko, Muzammil, dan Jubaidi adalah tokok sentral di partai PKB, akibatnya dalam Pemilukada 2008-20013, suara PKB pecah jadi dua, maka menanglah si kuda hitam Pasangan Dade Angga- Edy Paripurna. Apakah kasus di pasuruan akan terulang di Kabupaten Probolinggo?. Masyarakat Probolinggo masih mengakui,  “Hasan Aminuddin” sebagai  Tokoh dari Partai PKB Kabupaten Probolinggo, dan dua kali menjadi bupati Kabupaten Probolinggo juga di berangkatkan dari partai PKB. Walaupun sekarang sudah menjadi ketua NASDEM Propinsi Jawa Timur, beliaunya masih tetap di tokoh kan oleh orang-orang PKB di sana. Tapi,  sekarang belianya memunculkan dua orang dekatnya, maka bingunglah masyarakat pemilih yang dulu menggap Hasan Aminuddin itu orang PKB. Mau pilih Kakaknya Hafidz yang merupakan Ketua DPC PKB atau memilih  istrinya . Jelas suara masyarakat yang fanatik dengan Bupati Hasan Aminuddin akan terbelah menjadi dua, maka yang di untungkan adalah kuda hitam, yaitu cabub lain.

JABATAN TURUNAN

                        Fenomena majunya calon kepala daerah yang mempunyai hubungan keluarga dengan pejabat sebelumnya atau incumbent sebenarnya sangat ironis. Hal ini menandakan bahwa kursi kepala daerah adalah jabatan yang menguntungkan, membawa berkah dan bisa dijadikan sarana untuk mengeruk kekayaan serta melanggengkan kekuasaan untuk diturunkan kepada istri, saudara hingga anak-cucu. Karena strategi  ini cukup ampuh untuk mempertahankan kekuasaan, sebab bupati yang sudah menjabat dua periode tidak bisa mencalonkan diri lagi karena dibatasi oleh aturan. Maka, jauh-jauh hari sebelum dirinya lengser harus menyiapkan ”penggantinya”. Sebenarnya tidak ada larangan keluarga pejabat incumbent yang ikut dalam bursa pencalonan Gubernur, bupati, walikota, asal kredibel dan kualified . Tapi yang dikhawatirkan adanya penyalahgunaan wewenang dan fasilitas negara untuk tujuan sang calon yang notabene mempunyai hubungan yang sangat erat dengan pejabat incumbent.

Pemilukada saat ini penuh misteri. Di satu sisi , rakyat kian apatis dan tidak peduli sehingga tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilukada cenderung turun. Apatisme masyarakat ini justru dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu meraih jabatan dan kekayaan. Mereka adalah orang-orang yang ingin melanggengkan kekayaan dan kekuasaan agar tetap jatuh kepada garis keluarganya. Ini merupakan problem teknik pemilukada  selain, problem transparansi pembentukan penyelenggara pemilu, persoalan DPT, money politik, pilkada ulang dan juga pendanaan dalam pemilu kada. Persaingan antara aristokrat (kerabat penguasa) dalam melestarikan posisi dan kedudukan keluarga besar dari tergusurnya dinasti  politik keluarga incumbent.

Regenerasi kepemimpinan politik lokal yang berbasis pada kekerabatan ini lambat tapi pasti akan menggeser isu demokrasi ke aristokrasi. Wacana politik akan kian elitis karena tak ada lagi kompetisi yang seimbang dan fair antara calon orang biasa dan ” orang luar biasa”. Calon yang mempunyai hubungan keluarga dengan incumbent pasti akan lebih diuntungkan ketimbang calon lain.

Menurut Eisenstadt dan Roniger (1984) dalam bukunya Patrons, Clients and Friends: Interpersonal Relations and the structure of trust in Society, ada empat alasan utama mengapa politik kekerabatan lebih disukai elite-elite politik di suatu negara.

Pertama, kepercayaan (trusty) ini lebih disebabkan karena kerabat lebih dipercaya dan tak mungkin berkhianat seperti lazim dilakukan politikus pemburu kekuasaan. Kedua, loyalitas (loyality) kerabat akan jauh memiliki loyalitas tinggi dalam konteks menjalankan semua tugas politik terutama dalam hal menjaga wibawa dan kehormatan kerabat besar ketimbang orang lain. Ketiga, solidaritas (solidarity) kerabat dipastikan jauh memiliki tingkat solidaritas yang tangguh  terutama dalam menolong keluarga besar dari kebangkrutan kekuasaan dan kekayaan ketimbang mereka yang bukan dari kalangan kerabat. Keempat, proteksi (protection) ini terkait dengan model mempertahankan gengsi dan kehormatan keluarga besar. Mereka yang berasal dari keluarga yang sama akan cenderung mampu menjaga apa yang telah dimiliki keluarga ketimbang orang lain.

Mewariskan jabatan atau kekuasaan politik secara prosedural melalui pelaksanaan pemilukada, apakah itu kursi gubernur, bupati atau walikota kepada istri, anak, menantu atau saudara yang hanya berputar di kalangan kerabat penguasa (incumbent) tidaklah melanggar hukum, karena tidak diatur dalam UU No. 32 tahun 2004 juncto UU No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur tentang pemilukada. Namun praktek ini jelas melanggar etika politik, kepatuhan, dan norma umum. Karena model ini jelas akan menyumbat regenerasi calon pemimpin politik lokal berdasar pada kompetisi yang fair yang seharusnya bertumpu pada rekam jejak keilmuan, kemampuan dan integritas moral. Jangan sampai pemilukada hanya menjadi ritual demokrasi prosedural untuk melestarikan aristokrasi yang melahirkan raja-raja kecil di ”kerajaan ” daerah.

Diperlukan Proteksi

Untuk itu perlu adanya aturan larangan secara formal, bahwa anggota keluarga, terutama istri dan anak petahana(incumbent) maju mencalonkan diri menjadi gubernur, bupati, walikota dan wakilnya dalam pemilu kada. Pelarangan ini sudah ditegaskan presiden SBY dalam konteks pilkada (jawa pos, 25/6). Pemerintah juga mengusulkan melalui RUU pilkada, tentang pembatasan bagi kerabat petahana untuk maju menjadi calon kepala daerah. Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada akan diatur tegas tentang politik dinasti atau politik kekerabatan. ” Dalam RUU Pilkada, pemerintah ingin mewujudkan suatu kompetisi pilkada yang dinamis, namun tetap mengaktualisasikan nilai-nilai kesetaraan, dimana perlu adanya pembatasan bagi seorang calon yang merupakan keturunan atau terdapat ikatan perkawinan dengan kepala daerah  petahana,” Dikatakan Menteri Dalam Negeri, Gumawan Fauzi, di Jakarta, (12/6). Gumawan, mampu menjamin suatu kompetisi yang setara, dimana seorang kepala daerah tidak memobilisasi jajaran pemerintah daerah untuk kepentingan dukungan bagi calon yang memiliki darah ” atau punya hubungan perkawinan dengan yang bersangkutan ” . Sementara itu, pengamat politik Universitas Gadjah Mada (UGM), Arie Sudjito, menilai politik dinasti telah merusak regenerasi. Apalagi, bila politik dinasti itu tak mempertimbangkan kapasitas dan kapabilitas.

Penulis adalah Ex-Panwas pilkada 2008, Panwaslu Pileg & Pilpres 2009.

Kabupaten Pasuruan.

Alamat : Jl. Mawar 02 Ledug Prigen Pasuruan

Hp : 081333954053.

DINASTI KEPEMIMPINAN DALAM PEMILU KADA

Oleh : Ki Sonhaji Mutiallah, M. MPd

Pemilihan umum kepala daerah (pemilukada), telah berlangsung di beberapa daerah di Indonesia. Ada kurang lebih 244 daerah yang akan mengggelar pemilukada, Baik itu memilih Gubernur, Bupati, Walikota dan wakilnya. Beberapa problem teknis dalam pemilukada selalu saja terjadi, mulai dari pembentukan penyelenggara pemilu (Panwas dan KPU) yang tidak transparan dan di kondisikan oleh salah satu penguasa, mahalnya pendanaan pilkada, persoalan DPT, money politics, pilkada ulang, kini bertambah lagi satu permasalahan yang sangat ironis sekali di tengah-tengah bangsa Indonesia sedang membangun Demokrasi yang terbuka. Yakni munculnya kerabat penguasa(incumbent) yang ikut dalam pemilukada baik pemilu gubernur, bupati dan walikota, dengan tujuan melestarikan posisi dan kedudukan keluarga besar dari tergusurnya dinasti politik keluarga di ’kerajaan’ daerah. Munculnya calon-calon kepala daerah yang berasal dari ikatan satu darah atau keluarga dengan pejabat incumbent, tentu akan membawa dampak bagi keberlangsungan pelaksanaan pemilukada di daerah. Lihat faktanya, di Bali Eka Wiryastuti (anak Bupati Tabanan Bali Adi Wiryatama) berkompetisi dalam pemilukada menggantikan bapaknya. Di Lampung Rycko Menoza(anak Gubernur Lampung Sjachroedin) menjadi calon Bupati Lampung Selatan. Di Kabupaten Way Kanan ( putra Bupati Way Kanan Agung Ilmu Mangku negara) mencalonkan diri menggantikan ayahnya. Kemudian Arisandi Dharmawan(anak Bupati Tulang Bawang ) mencalonkan diri menjadi bupati Pesawaran. Di Kota Bandar Lampung Heru Sambodo, (anak Ketua Golkar Lampung Alzier Dianis Tabrani ) membidik kursi wali kota. Di Kepulauan Riau, Aida Nasution (istri Gubernur Ismeth Abdullah) mencalonkan diri menggantikan kursi suaminya. Di Yogyakarta Sri Suryawidati(Istri Bupati Bantul Idham Samawi) tak mau kalah ketinggalan maju menjadi calon bupati meneruskan kursi suami. Di Kalimantan Timur, Awang Ferdian Hidayat, putra gubernur Awang Farouk, mencalonkan diri jadi Bupati Kutai Kartanegara (Kukar), bersaing dengan Rita Widyasari anak mantan Bupati Kukar Syaukani, yang pernah dipenjara karena kasus korupsi yang kemudian dibebaskan karena dianggap mengidap sakit permanen. Pembebasan ini kemudian menuai kontroversi. Di Propinsi Jawa timur juga terjadi calon kepala daerah yang juga berasal dari ikatan keluarga dengan pejabat penguasa., misalnya di Sidoarjo, mantan Bupati Win Hendarso yang sebelumnya menyiapkan orang dekatnya , Bambang Julianto ( Kepala Dinas PU dan Bina Marga Sidoarjo) maju menjadi cabub menggantikan dirinya. Tapi , Win kelimpungan ketika Bambang meninggal. Akhirnya Win memunculkan nama istrinya sebagai calon yang di jagokan, meskipun istrinya tidak kredibel dan tidak pernah terjun ke politik, akhirnya masyarakat Sidoarjo tidak menjatuhkan pilihan pada istri Bupati, maka gagalah istri bupati memegang tahta kepemimpinan di kabupaten Sidoarjo.

Di kabupaten Kediri ada dua istri (istri tua vs istri muda) yang berebut kursi bupati menggantikan suaminya. Mereka adalah Haryanti dan Nurlaila. Haryanti adalah istri sah dari Bupati Kediri Sutrisno. Dengan statusnya ini Haryati lebih beruntung dari pada Nurlaila, karena lebih banyak dukungan dari suami. Keduanya memang bersaing untuk mencari perhatian sang suami, kalau dulu persaingan dalam merebutkan kasur sedang dalam pemilukada yang direbutkan adalah jabatan bupati. Dalam persaingan kasur tentu bupati lebih memilih Nurlaila karena lebih mudah dan masih kinyis-kinyis, tapi dalam persaingan politik untuk menduduki tahta di Kabupaten Kediri sang suami tidak main-main beliau lebih memilih yang berpengalaman dan kredibel yaitu Istri tuanya, akhirnya Haryantilah yang jadi pemenang pemegang tahta kepemimpinan di Kabupaten kediri.

Di Kabupaten tetangga kita Probolinggo ,sedang berlangsung Pemilukada yang diikuti oleh Istri dari Hasan Aminuddin, Bupati Probolinggo periode 2007 -20012. Hasan memunculkan istrinya , Puput Tantriana Sari atau sering dikenal dengan Tantri Hasan Aminuddin sebagai bakal calon (balon) bupati, begitu juga kakak kandungnya Hafidz Aminuddin ketua DPC PKB Probolinggo maju sebagai balon bupati, sehingga masyarakat Probolinggo menjuluki ”Dinasti Aminuddin”. Majunya istri dan kakak kandung Hasan Aminuddin menjadi perhatian publik di Probolinggo. Dari pengamatan saya munculnya dua candidat bacabup Probolinggo, Istri Hasan Aminuddin dan kakak kandungnya Hafidz Aminuddin akan menguntungkan dan melanggengkan ”Dinasti Aminuddin”, karena bisa memecah suara pemilih di Probolinggo, dan ini adalah bagian dari strategi politik. Tapi, kalau keduanya sama –sama berambisi untuk menjadi yang terkuat, Istri bupati, Tantri Hasan Aminuddin masih yang lebih unggul bila dibandingkan dengan Kakak iparnya. Sebab istri bupati sudah punya dua poin diatas kakak iparnya. karena sudah banyak dikenal di seluruh wilayah probolinggo, selain menjadi ketua Tim penggerak Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Kabupaten Probolinggo, kemanapun suaminya pergi beliaunya selalu mengikuti sehingga penampakan wajahnya sudah tidak asing bagi masyarakat di Probolinggo inilah Promosi “gratis” ini poin pertama. Selain itu trek rekord sang suami sudah tidak di ragukan lagi . Dua kali putaran memimpin Kabupaten Probolinggo dan membawa kemajuan yang cukup pesat bagi Kabupaten Probolinggo. Masyarakat kita masih berpandangan bahwa kesuksesan suami ”Hasan Aminuddin” tidak lepas dari pendampingan sang Istri, inilah poin kedua, yang di kantongi oleh Tantri Hasan Aminudin . Dibandingkan dengan sang Kakak ipar yang masih di bilang pendatang baru, walupun menjadi ketua DPC PKB Probolinggo. Tapi, Hasan Aminuddin harus belajar dari Pemilu kada Kabupaten Pasuruan periode 2008-2013, dimana kuda hitam pasangan Dade Angga –Edy Paripurna (DAdi), yang di dukung oleh Partai PDIP dan partai gurem atau dalam barisan PERISAI yang memenangkan pemilu. Mengalahkan Dua Pasangan, Jusbakir-Joko Cahyono (JUJUR) dan pasangan Muzammil – Jubaidi (JA-DI) . Perlu diketahui bahwa, Jusbakir, Joko, Muzammil, dan Jubaidi adalah tokok sentral di partai PKB, akibatnya dalam Pemilukada 2008-20013, suara PKB pecah jadi dua, maka menanglah si kuda hitam Pasangan Dade Angga- Edy Paripurna. Apakah kasus di pasuruan akan terulang di Kabupaten Probolinggo?. Masyarakat Probolinggo masih mengakui, “Hasan Aminuddin” sebagai Tokoh dari Partai PKB Kabupaten Probolinggo, dan dua kali menjadi bupati Kabupaten Probolinggo juga di berangkatkan dari partai PKB. Walaupun sekarang sudah menjadi ketua NASDEM Propinsi Jawa Timur, beliaunya masih tetap di tokoh kan oleh orang-orang PKB di sana. Tapi, sekarang belianya memunculkan dua orang dekatnya, maka bingunglah masyarakat pemilih yang dulu menggap Hasan Aminuddin itu orang PKB. Mau pilih Kakaknya Hafidz yang merupakan Ketua DPC PKB atau memilih istrinya . Jelas suara masyarakat yang fanatik dengan Bupati Hasan Aminuddin akan terbelah menjadi dua, maka yang di untungkan adalah kuda hitam, yaitu cabub lain.

JABATAN TURUNAN

Fenomena majunya calon kepala daerah yang mempunyai hubungan keluarga dengan pejabat sebelumnya atau incumbent sebenarnya sangat ironis. Hal ini menandakan bahwa kursi kepala daerah adalah jabatan yang menguntungkan, membawa berkah dan bisa dijadikan sarana untuk mengeruk kekayaan serta melanggengkan kekuasaan untuk diturunkan kepada istri, saudara hingga anak-cucu. Karena strategi ini cukup ampuh untuk mempertahankan kekuasaan, sebab bupati yang sudah menjabat dua periode tidak bisa mencalonkan diri lagi karena dibatasi oleh aturan. Maka, jauh-jauh hari sebelum dirinya lengser harus menyiapkan ”penggantinya”. Sebenarnya tidak ada larangan keluarga pejabat incumbent yang ikut dalam bursa pencalonan Gubernur, bupati, walikota, asal kredibel dan kualified . Tapi yang dikhawatirkan adanya penyalahgunaan wewenang dan fasilitas negara untuk tujuan sang calon yang notabene mempunyai hubungan yang sangat erat dengan pejabat incumbent. Pemilukada saat ini penuh misteri. Di satu sisi , rakyat kian apatis dan tidak peduli sehingga tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilukada cenderung turun. Apatisme masyarakat ini justru dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu meraih jabatan dan kekayaan. Mereka adalah orang-orang yang ingin melanggengkan kekayaan dan kekuasaan agar tetap jatuh kepada garis keluarganya. Ini merupakan problem teknik pemilukada selain, problem transparansi pembentukan penyelenggara pemilu, persoalan DPT, money politik, pilkada ulang dan juga pendanaan dalam pemilu kada. Persaingan antara aristokrat (kerabat penguasa) dalam melestarikan posisi dan kedudukan keluarga besar dari tergusurnya dinasti politik keluarga incumbent. Regenerasi kepemimpinan politik lokal yang berbasis pada kekerabatan ini lambat tapi pasti akan menggeser isu demokrasi ke aristokrasi. Wacana politik akan kian elitis karena tak ada lagi kompetisi yang seimbang dan fair antara calon orang biasa dan ” orang luar biasa”. Calon yang mempunyai hubungan keluarga dengan incumbent pasti akan lebih diuntungkan ketimbang calon lain. Menurut Eisenstadt dan Roniger (1984) dalam bukunya Patrons, Clients and Friends: Interpersonal Relations and the structure of trust in Society, ada empat alasan utama mengapa politik kekerabatan lebih disukai elite-elite politik di suatu negara. Pertama, kepercayaan (trusty) ini lebih disebabkan karena kerabat lebih dipercaya dan tak mungkin berkhianat seperti lazim dilakukan politikus pemburu kekuasaan. Kedua, loyalitas (loyality) kerabat akan jauh memiliki loyalitas tinggi dalam konteks menjalankan semua tugas politik terutama dalam hal menjaga wibawa dan kehormatan kerabat besar ketimbang orang lain. Ketiga, solidaritas (solidarity) kerabat dipastikan jauh memiliki tingkat solidaritas yang tangguh terutama dalam menolong keluarga besar dari kebangkrutan kekuasaan dan kekayaan ketimbang mereka yang bukan dari kalangan kerabat. Keempat, proteksi (protection) ini terkait dengan model mempertahankan gengsi dan kehormatan keluarga besar. Mereka yang berasal dari keluarga yang sama akan cenderung mampu menjaga apa yang telah dimiliki keluarga ketimbang orang lain. Mewariskan jabatan atau kekuasaan politik secara prosedural melalui pelaksanaan pemilukada, apakah itu kursi gubernur, bupati atau walikota kepada istri, anak, menantu atau saudara yang hanya berputar di kalangan kerabat penguasa (incumbent) tidaklah melanggar hukum, karena tidak diatur dalam UU No. 32 tahun 2004 juncto UU No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur tentang pemilukada. Namun praktek ini jelas melanggar etika politik, kepatuhan, dan norma umum. Karena model ini jelas akan menyumbat regenerasi calon pemimpin politik lokal berdasar pada kompetisi yang fair yang seharusnya bertumpu pada rekam jejak keilmuan, kemampuan dan integritas moral. Jangan sampai pemilukada hanya menjadi ritual demokrasi prosedural untuk melestarikan aristokrasi yang melahirkan raja-raja kecil di ”kerajaan ” daerah.

Diperlukan Proteksi Untuk itu perlu adanya aturan larangan secara formal, bahwa anggota keluarga, terutama istri dan anak petahana(incumbent) maju mencalonkan diri menjadi gubernur, bupati, walikota dan wakilnya dalam pemilu kada. Pelarangan ini sudah ditegaskan presiden SBY dalam konteks pilkada (jawa pos, 25/6). Pemerintah juga mengusulkan melalui RUU pilkada, tentang pembatasan bagi kerabat petahana untuk maju menjadi calon kepala daerah. Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada akan diatur tegas tentang politik dinasti atau politik kekerabatan. ” Dalam RUU Pilkada, pemerintah ingin mewujudkan suatu kompetisi pilkada yang dinamis, namun tetap mengaktualisasikan nilai-nilai kesetaraan, dimana perlu adanya pembatasan bagi seorang calon yang merupakan keturunan atau terdapat ikatan perkawinan dengan kepala daerah petahana,” Dikatakan Menteri Dalam Negeri, Gumawan Fauzi, di Jakarta, (12/6). Gumawan, mampu menjamin suatu kompetisi yang setara, dimana seorang kepala daerah tidak memobilisasi jajaran pemerintah daerah untuk kepentingan dukungan bagi calon yang memiliki darah ” atau punya hubungan perkawinan dengan yang bersangkutan ” . Sementara itu, pengamat politik Universitas Gadjah Mada (UGM), Arie Sudjito, menilai politik dinasti telah merusak regenerasi. Apalagi, bila politik dinasti itu tak mempertimbangkan kapasitas dan kapabilitas. Penulis adalah Ex-Panwas pilkada 2008, Panwaslu Pileg & Pilpres 2009. Kabupaten Pasuruan. Alamat : Jl. Mawar 02 Ledug Prigen Pasuruan Hp : 081333954053.

REFLEKSI HARDIKNAS
2 MEI
OLEH : Ki. Sonhaji Mutiallah, S. Pd, M. MPd.
Pendidikan merupakan jembatan emas bagi kebangkitan dan kemajuan sebuah bangsa.Tanpa pendidikan maka bangsa akan tertinggal dengan bangsa lain, karena pendidikan  adalah dasar dari segala kehidupan.Kalau kita ngomong pendidikan, tidak lepas dari leluhur peletak dasar pendidikan di Indonesia  Yaitu , Ki Hajar Dewantara. Beliau juga pendiri Tamansiswa, Tamansiswa adalah Pendidikan Nasional, dan hal tersebut, terbukti antara lain tanggal 2 mei yang merupakan hari kelahiran Ki Hajar Dewantara ( Pendiri Tamansiswa), diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Jasa pengabdian Tamansiswa terhadap dunia pendidikan nasional juga sudah tidak diragukan lagi, dan sudah tidak terhitung alumninya menduduki jabatan posisi penting baik di pemerintahan maupun sektor swasta.
Hari ini 2 mei segenap bangsa Indonesia dimanpun berada, terlebih lagi keluarga besar  Tamansiswa, dalam memperingati Hari Lahirnya, juga perlu mengenang Ki Hajar Dewantara terutama perjalanan hidupnya yang diwarnai perjuangan dan pengabdian demi meningkatkan kualitas SDM dan harkat serta martabat bangsa Indonesai di Indonesai.
Nilai-nilai semangat perjuangan Ki  Hajar Dewantara melalui Tamansiswa, harus tetap hidup. Warisan buah pemikirannya tentang tujuan pendidikan harus terus digelorakan yaitu ” memajukan bangsa secara keseluruhan, tanpa membedakan agama, etnis, suku, budaya, adat, kebiasaan, status ekonomi, status sosial, dan didasarkan kepada nilai-nilai kemerdekaan yang asasi”
Definisi Pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan adalah usaha kebudayaan yang bermaksud memberi bimbingan dalam hidup dan tumbuh kembangnya jiwa raga anak didik, agar dalam menjalani garis kodrat pribadinya serta dalam menghadapi pengaruh lingkungannya, anak didik mendapat kemajuan lahir batin
Sebagai usaha kebudayaan, pendidikan merupakan proses pelestarian dan pengembangan buah budi dan daya manusia, yaitu proses pelestarian dan pengembangan buah fikiran yang berupa ilmu pengetahuan dan tehnologi, buah perasaan yang berupa religiusitas, etika dan estetika/seni, buah kemauan yang berupa kreativitas, dan buah daya yang berupa karya karya manusia. Untuk melestarikan dan mengembangkan kebudayaan itu Ki Hajar Dewantara menggunakan teori Trikon, yaitu :
Kontinyu, secara terus menerus dan berkesinambungan
Konvergen, memadukan budaya nasional dengan budaya asing yang dipandang
                  perlu untuk memajukan kebudayaan bangsa secara selektif dan adaptif.
Konsentris, menuju kearah kesatuan budaya dunia dengan tetap mempunyai sifat
                  kepribadian kemanusiaan.
Dari refleksi hari pendidikan kali ini kita bisa mengambil makna yang mendalam bahwa setiap warga Indonesia mempunyai hak dan kemerdekaan dalam mendapatkan pendidikan. Artinya semua warga indonesia berhak untuk memilih dan mendapatkan pendidikan. Sekarang  apa yang didapat ? pendidikan semakin mahal dan berpihak bada masyarakat yang berduit, ini jelas menyalahi konsep dari founding father pendidikan di Indonesia yaitu memajukan pendidikan secara keseluruhan, tanpa memebedakan apapaun. Semoga lembaga Tamansiswa yang merupakan salah satu warisan dari Ki Hajar Dewantara akan menjalankan konsep beliau yang sekarang mulai di tinggalkan oleh lembaga-lembaga lain. Semoga..

Ujian nasional SMP akan dilaksanakan pada 23 – 26 April 2012, dengan begitu masa tahun pelajaran 2011-2012 akan berakhir dan berganti dengan tahun pelajaran 2012-2013. Review pelajaran telah diadakan disekolah-sekolah tidak terkecuali SMP Taman Dewasa Prigen. Kami mempersiapkan dengan serius UN kali ini seperti biasanya. karena UN kali ini merupakan tolak ukur Siswa belajar selama 3 tahun terakhir. Di SMP Taman Dewasa Prigen segala persiapannya sudah dilakukan seperti melaksanakan PIB, Try Out Sekolah Maupun Try Out Dinas. Semoga SMP Taman Dewasa Prigen lulus semua .. AMIN YA ROBBAL ALLAMIN..

🙂

Study Tour Ke Purwodadi 2012

Kita tahu sarana belajar yang paling baik adalah disekolah, akan tetapi bila disekolah terus untuk belajar bisa saja menimbulkan kebosanan bagi para siswa. hal itu yang akhirnya membuat SMP Taman Dewasa Prigen Memutuskan untuk mengadakan acara Study Tour. Pada awalnya kegiatan ini akan dilakukan di Trawas, akan tetapi karena di Trawas baru saja terjadi banjir … maka sesuai kesepakatan para Pamong (Guru) hal ini diselenggarakan di Kebun Raya Purwodadi. Kebun Raya Purwodadi dipilih karena disana merupakan tempat berbagai tumbuhan dan hal ini cocok sekali dalam pelajaran Biologi.  Dan lagi disana seluruh siswa bisa mengenal berbagai tumbuhan dengan nama latinnya. Rabu tanggal 15 Februari 2012 dipilih untuk melakukan kegiatan Study Tour ini dikarenakan pada tanggal 13-14 Februari 2012 siswa kelas IX sedang melakukan Try Out Sekolah. Sehingga pada Tanggal 15 Februari 2012 mereka (siswa kelas IX SMP Taman Dewasa Prigen) bisa sama – sama ikut acara ini  sambil liburan setelah Try Out Sekolah.

Dalam Acara ini SMP Taman Dewasa Prigen berangkat dengan 8 Mobil dan tiba disana sekitar jam 8 pagi dan langsung di briffing  sama para pamong yang ikut rombongan setelah itu baru ada para pemandu yang menjelaskan tentang sejarah Kebun Raya Purwodadi dan jenis – jenis  tumbuhan disana dan para siswa Taman Dewasa mendengarkan sekaligus mencatat apa yang dijelaskan Pemandu… selanjutnya dalam robongan siswa dibagi tiga regu yang masing – masing regu dipimpin seorang pemandu untuk mengelilingi area kebun raya sambil memperkenalkan tumbuhan disana beserta khasiat tumbuhan tersebut . Setelah itu mereka kembali lagi ketempat semula untuk istirahat dan makan siang, dan dilanjutkan bertamasya… selain bertamasya di kebun raya para siswa dan pamong yang membawa bola , baik itu bola sepak dan bola voli bisa bermain diarea sana … hal ini tidak disia-siakan oleh para siswa SMP Taman Dewasa , karena dengan antusias mereka memanfaatkannya. dan pada Pukul 12 Siang mereka berkumpul untuk didata dan Pulang…^_^

Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

sekalian juga.. Lihat Videonya di Youtube… :